1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Jokowi Ingin Selamatkan KTT G20?

29 Juni 2022

Presiden Joko Widodo mengawali misi pelik di Eropa untuk menyelamatkan KTT G20 di Bali. Niat damainya mengundang Rusia terbentur realita perang. Seberapa besar rintangan yang dihadapi Jokowi dalam lawatannya di Eropa?

https://p.dw.com/p/4DOEb
Presiden Joko Widodo
Presiden Joko WidodoFoto: Kris/Biro Pers Sekretariat President

Kemesraan berlangsung singkat pada sesi kedua KTT G7 dan negara mitra di Istana Elmau, Jerman, Senin (27/6). Di luar, sebanyak 18.000 polisi bersenjata lengkap menyesaki lembah sempit di kaki pegunungan Alpen itu. 

Hari kedua KTT sejatinya menjadi ajang bagi negara mitra untuk melakukan pertemuan bilateral dengan pemimpin G7 dan membahas kerja sama ekonomi. Tahun ini, Jerman mengundang Indonesia, India, Senegal, Afrika Selatan dan Argentina. 

Tapi betapapun besarnya minat melanjutkan proyek investasi dari era prainvasi, perhatian tetap terarah pada perang yang berkecamuk di timur Ukraina. Hal ini terutama berlaku bagi Presiden Joko Widodo. 

Di Istana Elmau, Jokowi diberi kesempatan meyakinkan pemimpin G7 untuk mau menghadiri KTT G20 di Bali bulan November mendatang. 

Kehadiran mereka belum sepenuhnya dipastikan lantaran undangan Indonesia terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang secara demonstratif disanggupi oleh Kremlin di hari kedua KTT G7. Sebagai reaksi, Kanselir Jerman Olaf Scholz kembali menegaskan belum bisa memutuskan kehadirannya pada KTT G20. 

Krisis eksistensial 

Pertemuan di Bali seyogyanya menjadi titik tolak pemulihan ekonomi pascapandemi dan transisi menuju ekonomi ramah iklim. Namun sebelum bisa banyak berharap, G20 yang menggabungkan adidaya ekonomi dunia dan negara industri baru, harus lebih dulu menghadapi krisis eksistensial. 

Di tengah musim panen, Program Pangan Dunia (WFP) justru melaporkan sebanyak 323 juta penduduk Bumi menghadapi kerawanan pangan akut. Penyebabnya antara lain adalah terhentinya ekspor pupuk dan gandum dari Rusia dan Ukraina. 

Bagi Jokowi, Indonesia harus ikut membantu memecah kebuntuan di Laut Hitam untuk mencegah bencana kelaparan, dan sedikit meredakan ketegangan antara Rusia dan Barat jelang pertemuan di Bali. 

Presiden Joko Widodo menekankan bahwa waktu kita tidak panjang untuk menanggulangi krisis pangan,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam sebuah keterangan pers, Senin (27/6) malam.  

Menurut Retno, terhentinya ekspor gandum Ukraina dan pupuk Rusia merupakan isu yang selalu muncul di sembilan pertemuan bilateral antara Jokowi dan sejumlah pemimpin dunia. 

Setelah dijamu Kanselir Olaf Scholz, presiden melakukan pembicaraan bilateral dengan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, PM India, Narendra Modi, PM Kanada Justin Trudeau dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron.  

Dia juga untuk pertama kalinya bertemu dengan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, sejak terpilih 2021 silam. “Presiden menyatakan bahwa banyak rakyat di negara berkembang yang terancam kelaparan dan jatuh ke jurang kemiskinan esktem,” kata Retno lagi.  

Blokade Laut Hitam 

Inisiatif damai Jokowi bertolak dari rencana PBB untuk membuka koridor pangan di Laut Hitam. 

Posisi militer Rusia di timur Ukraina
Posisi militer Rusia di timur Ukraina

Saat ini, Turki sedang giat memediasi antara Rusia dan Ukraina. Perundingan antara lain membahas pembukaan blokade dan pembersihan ranjau laut di dua pelabuhan terbesar Ukraina, Odesa dan Mariupol. Rencana itu diharapkan bisa membuka keran ekspor gandum dari Ukraina. 

Hal ini diyakini turut dibahas oleh Menlu Retno Marsudi saat bertemu dengan Menlu Turki, Mevlut Cavusoglu, di sela-sela KTT G7.

Namun begitu, militer Ukraina menolak gagasan pembersihan ranjau karena khawatir nantinya lebih mudah diserang Rusia. Sebaliknya, Moskow menyaratkan kelonggaran sanksi untuk memudahkan pembeli internasional melakukan transaksi dengan Rusia. 

Siasat lewat jalan darat 

Untuk menyiasati kebuntuan di Laut Hitam, Polandia, Uni Eropa dan AS berupaya membuka koridor darat untuk mengekspor gandum Ukraina, termasuk pembangunan pabrik pengolahan gandum di perbatasan dengan Eropa. 

Namun, tingginya tingkat kesulitan logistik untuk mengangkut gandum Ukraina melalui jalan darat menuntut ketersediaan waktu yang tidak dimiliki Kyiv. Karena musim panen gandum di Ukraina akan berakhir Agustus nanti. 

Sebabnya di Jerman, Presiden Joko Widodo mendesak negara-negara G7 agar “mau memfasilitasi ekspor gandum Ukraina agar bisa segera berjalan, dan pentingnya mengkomunikasikan kepada dunia bahwa pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi,” kata Menlu Retno Marsudi. 

Inflasi didorong dinamika industri 

Tapi bahkan jika terjalin kesepakatan sekali pun, biaya untuk mengasuransikan kapal di Laut Hitam dipastikan tidak akan murah. Saat ini saja, perang di Ukraina dan gangguan pasokan bahan bakar sudah menyebabkan lonjakan biaya operasi kapal. 

Menurut Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), antara Februari dan Mei 2022, ongkos transportasi muatan curah seperti gandum naik hampir 60 persen. 

Sebab itu kata Jokowi, “komunikasi yang intensif juga perlu dilakukan kepada pihak terkait seperti bank, asuransi, perkapalan dll,” tutur Retno soal seruan presiden kepada pemimpin G7. 

Sikap nonkooperasi G7 

Kerumitan tersebut menjadi lebih sulit karena perbedaan sikap antara G7 dan Rusia. Walaupun ikut mendukung seruan Indonesia kepada Moskow untuk “segera membuka koridor aman bagi pengiriman bahan pangan di Laut Hitam,” dan mengucurkan dana bantuan bagi negara yang terdampak kelangkaan pangan, negara-negara G7 tidak sedang mengendurkan sikap terhadap Moskow. 

Pada hari pertama KTT di Elmau, para pemimpin G7 menegaskan tekad untuk menciptakan “kerugian ekonomi yang besar” terhadap Rusia, terutama menyangkut perdagangan minyak Bumi dan gas. 

Saat ini, prospek perundingan antara Barat dan Rusia banyak bergantung pada kesediaan Ukraina. Dalam hal ini, Presiden Volodomyr Zelenskyy menegaskan bahwa “sekarang bukan saatnya untuk negosiasi,” kata dia kepada pemimpin G7 melalui sambungan video, Senin (27/6) 

Zelenskyy sempat mengkhawatirkan kendurnya dukungan Barat di bulan kelima invasi Rusia. Dia mengajak G7 membantu Ukraina mengupayakan kemenangan atas Rusia sebelum musim dingin, ketika situasi di medan perang akan semakin sulit bagi Ukraina. 

“Kami akan terus menekan Putin,” janji Kanselir Jerman, Olaf Scholz. “Perang ini harus diakhiri,” imbuhnya. 

Putin tidak datang 

Kebulatan sikap pemimpin G7 terhadap Rusia itu menyulitkan Indonesia yang berkepentingan menghadirkan kedua pihak di KTT G20. 

Hal ini akan menjadi agenda utama kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia pekan ini.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi enggan menjawab bagaimana Indonesia mau mencegah prahara diplomasi antara Putin dan pemimpin NATO di Bali. Jawaban justru datang dari Perdana Menteri Italia, Mario Draghi. 

Jokowi, kata dia dalam jumpa pers, Selasa (28/6), akan berusaha meyakinkan Putin untuk tidak datang ke Bali. “Dia tidak datang. Presiden Jokowi sudah memastikannya,” tuturnya. 

Namun pernyataannya itu dibantah Yuri Ushakov, penasehat dekat Putin. “Bukan Draghi yang berhak memutuskan hal itu,” kata dia seperti dilansir AP. “Kami menerima undangan dan akan merespons secara positif,” imbuhnya. 

(dpa, ap, rtr, bpmk)