1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Air Bersih Jadi Barang Mewah?

Zaky Yamani
Zaky Yamani
16 November 2019

Sumiyati adalah buruh bergaji Rp Rp 750 ribu per bulan, yang disisihkannya Rp 150 ribu untuk beli air. Andai saja pemerintah mau lebih keras berusaha untuk meluaskan akses air bersih bagi warganya, ia tak menderita.

https://p.dw.com/p/3RV8j
USA Hitzewelle und Trockenheit Navajo Nation
Foto: AFP/Getty Images/S. Platt

Untuk meningkatkan kesejahteraan, biasanya kita berpikir tentang kenaikan gaji atau pendapatan. Jarang sekali kita berpikir, peningkatan kesejahteraan bisa diraih jika negara mengambil peran yang seharusnya: memberikan pelayanan publik secara cuma-cuma, agar warga tidak perlu mengeluarkan uang untuk hajat hidup yang mendasar.

Kita terlalu lama dipaksa berpikir bahwa kita harus membayar langsung apa pun yang kita peroleh, termasuk kebutuhan dasar. Padahal, kebutuhan dasar seperti air, pendidikan, kesehatan adalah hak warga negara dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Karena kita harus membayar untuk hal yang seharusnya disediakan negara, beban anggaran rumah tangga warga negara pun jadi berat.

Mari kita ambil contoh dalam penyediaan air bersih

Di kota-kota negara-negara maju air bersih siap minum bahkan disediakan di ruang-ruang publik. Di Indonesia, bahkan untuk air yang tak siap minum pun kita harus membayar mahal. Mereka harus membeli air yang mahal kepada pihak-pihak swasta, karena cakupan pelayanan PDAM di kota-kota di Indonesia biasanya hanya 20-60 persen saja.

Harga air dari PDAM sebenarnya cukup murah. Di kota yang tidak terlalu besar seperti Kota Bandung, tarif air untuk rumah tangga berkisar antara Rp1.000 sampai Rp2.000 per meter kubik (1.000 liter) atau Rp1 per liter. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan minum 2 liter per hari, satu orang pelanggan PDAM cukup membayar Rp 2 per hari atau Rp 60 per bulan. Namun, harga yang murah itu hanya bisa dinikmati maksimal oleh 50 persen populasi. Sedangkan sisanya harus membayar sangat mahal.

Zaky Yamani:Jurnalis dan novelis
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Orang yang tidak mendapatkan akses air dari PDAM terpaksa harus membeli air ke pihak swasta. Keluarga-keluarga miskin biasanya membeli air ke penjual air keliling, yang membawa air bersih dengan gerobak ke pemukiman-pemukiman padat. Air bersih itu bisa dibeli per ember (sekitar 10 liter) dengan harga Rp1.000. Artinya, harga per liter air Rp100 atau 100 kali lipat lebih mahal dari tarif air PDAM. Dengan demikian, jika pelanggan PDAM cukup membayar Rp 2 untuk kebutuhan air minum ideal setiap hari, seorang warga miskin harus membayar Rp 200 untuk jumlah yang sama.

Untuk warga yang pendapatannya agak lumayan, mereka bisa membeli air minum isi ulang yang harganya lebih mahal lagi. Untuk 19 liter air minum isi ulang, seorang pelanggan harus membayar Rp 9.000 atau Rp 474 per liter. Jadi untuk kebutuhan minum 2 liter air per hari, warga ini harus membayar Rp948, hampir 1.000 kali dari harga yang harus dibayar seorang pelanggan PDAM.

Perhitungan di atas adalah biaya minum per hari yang pasti harus dibayar karena manusia tidak mungkin hidup tanpa minum air.Jika dihitung per bulan maka harga minum air setiap orang akan seperti ini: pelanggan PDAM Rp 60, warga miskin Rp 6.000, dan pembeli air minum isi ulang Rp 28.440.

Warga sering tidak menyadari perbedaan beban biaya antara mereka yang mendapatkan pelayanan negara dan mereka yang tidak dilayani negara. Contoh nyatanya seperti ini:

Seorang warga bernama Sumiyati adalah buruh kontrak perusahaan konfeksi, gajinya Rp 600 ribu per bulan ditambah uang transportasi Rp 5 ribu per hari. Jadi penghasilan bulanannya Rp 750 ribu. Dia memiliki suami yang sama sekali tak berpenghasilan dan seorang anak perempuan. Biaya rutin yang harus dia keluarkan untuk air (termasuk minum, masak, mandi dan mencuci) rata-rata Rp 150 ribu (1.500 liter/bulan) dan biaya listrik Rp 90 ribu. Dengan dua kebutuhan itu saja, gaji bulanannya sudah habis 32 persen, dan tinggal tersisa Rp 510 ribu, yang harus dia bagi dengan sangat hati-hati untuk membeli kebutuhan makan, membayar uang kontrakan rumah, membayar biaya sekolah anaknya, dan lain-lain. Bahkan demi menghemat anggaran, dia memilih jalan kaki ke tempat kerjanya sejauh 6 kilometer, dan tidak menggunakan uang Rp 5 ribu untuk transportasi.

Sumiyati bukan satu-satu warga miskin kota Bandung, dan bukan pula yang paling miskin

Ada banyak sekali warga yang nasibnya lebih sulit dari Sumiyati. Penduduk miskin kota Bandung sekitar 89.380 orang (berdasarkan data BPS yang menghitung garis kemiskinan adalah orang dengan pengeluaran Rp448.902 per bulan). Sedangkan jumlah orang miskin di Indonesia adalah 25,95 juta jiwa atau 9,82 persen dari total populasi.

Andai saja pemerintah Indonesia dan pemerintah-pemerintah daerahnya mau lebih keras berusaha untuk meluaskan akses air bersih bagi warganya, apalagi jika ditambah dengan akses kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, beban hidup warga akan berkurang—dan itu berarti tingkat kesejahteraan warga naik tanpa menaikkan penghasilan warga.

Kita ambil contoh kasus Sumiyati lagi. Jika dia mendapatkan akses air PDAM, kebutuhan minimal 1.500 liter air bersih/bulan bagi keluarganya, bisa ditekan dari Rp 150 ribu jadi Rp 1.500 saja, sehingga dia bisa menyisihkan uang Rp 148.500 dari anggaran air bersihnya untuk hal lain, misalnya memenuhi kebutuhan anaknya, atau meningkatkan kualitas makanannya. Apalagi jika pemerintah juga memberikan akses pendidikan dan kesehatan yang benar-benar gratis, hidup orang-orang seperti Sumiyati bisa benar-benar tertolong.

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.