1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Assad Umumkan Pemilu Parlemen

13 Maret 2012

Presiden Suriah Bashar al Assad mengumumkan digelarnya pemilu parlemen bulan Mei mendatang, ditengah situasi mirip perang saudara di negara itu.

https://p.dw.com/p/14KB6
Foto: picture-alliance/dpa

Presiden Suriah, Bashar al Assad secara mengejutkan mengumumkan akan menggelar pemilu parlemen baru. Kantor berita resmi SANA mengutip Assad, menyebutkan jadwal pemilu tanggal 7 Mei. Pemilihan parlemen baru itu disebutkan sesuai dengan hasil referendum bulan Februari lalu, yang mengizinkan pemilu multi partai serta diakhirinya kekuasaan tunggal partai Baath.

Pihak oposisi menyatakan akan memboikot pemilihan umum itu. Sebab pemilu tidak akan mengancam posisi dan kekuasaan Assad. "Yang kami inginkan adalah perubahan yang sebenarnya, dengan pemilu presiden yang nyata, dimana Assad pasti kalah", kata Melhem al-Droubi, anggota kelompok oposisi Dewan Nasional Suriah yang dihubungi kantor berita Reuters lewat telefon.

Para pengamat juga meragukan pemilihan parlemen baru dapat digelar secara fair dan bersih, menimbang situasi mirip perang saudara dan iklim penuh ketakutan di sebagian wailayah Suriah.

Amerika Serikat bereaksi, dengan menyebut pemilu itu hanyalah lelucon. "ini pemilu untuk memilih parlemen yang hanya bisa mengatakan setuju", kata jurubicara kementrian luar negeri AS, Victoria Nuland kepada kantor berita AFP.

Pengumuman pemilu itu dilansir, sehari setelah utusan khusus Liga Arab untuk Suriah, Koffi Annan meninggalkan Damaskus. Annan menyatakan masih menunggu reaksi Damaskus terkait usulannya untuk mengakhiri aksi kekerasan hari Selasa (13/3). "Jika jawabannya sudah ada, kita tahu, bagaimana kita harus bereaksi", kata Annan yang sedang berada di Turki. Mantan sekjen PBB itu juga menggelar pertemuan dengan ketua kelompok oposisi Dewan Nasional Suriah, Burhan Ghaliun di Ankara.

Aksi kekerasan berlanjut

Syrien Kämpfe in Idlib
Pertempuran masih berkobar di Idlib.Foto: dapd

Terlepas dari pengumuman akan digelarnya pemilu, aksi kekerasan di Suriah terus berlanjut. Kelompok monitoring hak asasi manusia Suriah di London melaporkan, sedikitnya 40 orang tewas dalam aksi kekerasan hari Selasa (13/3).

Harian yang pro-Rezim Al-Watan melaporkan, tentara pemerintah berhasil merebut kota Idlib, yang merupakan kubu pertahanan pemberontak. Tapi kelompok perlawanan menyebutkan pertempuran di sekitar Idlib masih terus berkobar.

Dilaporkan arus pengungsi terus mengalir meninggalkan Suriah. Aktivis oposisi melaporkan, puluhan pengungsi dari kota Homs berhasil mencapai kota pelabuhan Tripoli di Libanon hari Senin malam (12/3).

"Warga mengalami trauma dan ketakutan. Mereka menyaksikan apa yang terjadi pada warga lainnya di Homs, dan memutuskan untuk melarikan diri guna melindungi diri dan keluarganya", kata Abu Imad, aktivis oposisi kepada kantor berita DPA.

Ranjau di kawasan perbatasan

Organisasi pembela hak asasi "Human Rights Watch" yang bermarkas di New York, sesuai laporan saksi mata serta petugas penyapu ranjau Suriah melaporkan Selasa (13/3), militer pro-rezim menyebar ranjau darat di sepanjang rute yang biasa dilalui pengungsi di perbatasan ke Turki dan Libanon. Sedikitnya seorang pengungsi cedera akibat menginjak ranjau.

A family escapes from
Pengungsi Suriah dihambat ranjau darat.Foto: dapd

Tim penyapu ranjau dari kelompok oposisi Suriah menambahkan, ratusan ranjau darat anti-personal dan anti kendaraan yang disebar di sepanjang perbatasan itu hampir semuanya buatan Rusia.

Di provinsi rusuh Idlib, ranjau darat itu terutama dipasang di rute yang biasa digunakan pengungsi untuk memasuki Turki. "Di desa Hasaniyeh, militer pro-Damaskus bulan Februari lalu memasang ranjau dalam formasi dua jajaran, sekitar tiga meter dari perbatasan sepanjang sekitar 500 meter", kata saksi mata.

Warga desa tidak diberi informasi mengenai hal itu. Mereka hanya diberitahu, tidak boleh memasuki kawasan itu tanpa izin militer.

Sementara pemasangan ranjau di sekitar perbatasan ke Libanon dilaporkan sudah dilakukan sejak November tahun lalu. Human Rights Watch menuntut rezim di Damaskus untuk segera menghentikan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional itu. Suriah merupakan salah satu negara yang tidak meratifikasi traktat Ottawa mengenai pelarangan ranjau anti-personal.

Agus Setiawan (dpa,afp,rtr)