1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Asia Tenggara dalam Kerawanan Bencana Alam

24 Agustus 2007

Banjir, gempa bumi, tanah longsor, menjadi berita buruk yang membawa kepedihan. Belum lagi usai bencana di satu wilayah, di wilayah lain sudah menyusul bencana lainnya. Asia Tenggara, yang banyak memiliki banyak gunung api, seolah menjadi langganan gempa. Untuk itu, waspada saja tidak cukup, melainkan antisipasi. Di samping itu, faktor ulah manusia diduga punya peran dalam memperparah bencana alam.

https://p.dw.com/p/CTA5
Korban longsoran di Leyte, Filipina
Korban longsoran di Leyte, FilipinaFoto: picture alliance / dpa

Di sebuah sekolah dasar di Pulau Jawa, anak-anak sedang turun main. Sebagian bermain bola, sebagian lagi duduk-duduk di bawah pohon sambil bergurau. Bangunan sekolah mereka masih baru. Dibangun sekitar setengah tahun setelah banjir bandang dan tanah longsor yang menerpa Desa Sijeruk, Banjarnegara, Jawa Tengah, Januari 2006 silam. Sekitar seratus orang meninggal dunia saat itu. Sehari sebelumnya hujan memang turun dengan sangat lebat. Lokasi longsor di Sijeruk itu berbatu-batu dan tidak stabil. Sayangnya tidak ada informasi yang cukup bagi masyarakat bahwa lahan itu tak layak huni. Simak penuturan ahli geologi Andang Bahtiar: „Pemerintah tidak membuat perencanaan tata ruang yang benar bagi masyarakat, dimana orang boleh membangun rumah atau infrastruksur, apakah itu dekat dengan daerah berbahaya atau tidak. Kedua, tidak ada sosialisasi yang baik kepada masyarakat yang menerangkan bahwa ada lokasi-lokasi yang berbahaya untuk ditempati.“

Merusak Alam, Memperparah Bencana

Sebulan sebelum bencana Sijeruk, tepatnya Februari 2006, bencana juga terjadi di Pulau Leyte, Filipina. Hujan yang deras dan gempa bumi hampir-hampir menghabisi Dusun Guinsaugon. 1000 orang terenggut nyawanya saat itu. Penebangan hutan secara liar menjadi salah satu penyebab datangnya bencana tersebut.“Anda tahu bahwa di sini tumbuh pepohonan lokal, yang biasanya memang tumbuh di pegunungan ini, dan memiliki sistem akar yang akarnya dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan tanah di sini, untuk menampung air hujan. Tapi bila pepohonan itu ditebangi, setelah tiga tahun atau lima tahun maka sistem itu akan rusak begitupula tanah di sini.“ Demikian ujar Wade Lim. Ia adalah petani bio di selatan Leyte dan bekerja pada LSM Solidarm, yang mendukung pelindungan hutan. Dulu Filipina masih punya sekitar 60 persen hutan yang bisa meresap air hujan. Sekarang hanya tersisa 18 persen saja. Menurut Lim tingkah laku manusia sangat berpengaruh terhadap kerusakan alam. Lim menyerukan agar manusia lebih bersahabat dengan alam dengan tidak merusaknya.

Kurangnya Kepekaan Terhadap Bencana

Setiap tahunnya, bisa sampai dua puluh kali Filipina diterpa taufan, yang diikuti jatuhnya korban jiwa. Sayangnya banyak orang yang tidak begitu peka atau tidak dapat memutuskan kapan harus meninggalkan rumah atau mengungsi ke luar desa bila terjadi bencana. Kadang-kadang mereka menunggu hingga detik-detik terakhir. Sekitar seribu orang meninggal akibat bencana Badai Durian di Filipina, yang imbasnya juga terasa hingga ke Padang. Lurah setempat Mercedes Mediora mengatakan : “Anda mencoba merencanakan dan mengingatkan. Tetapi orang-orang tidak mau pergi, meski sudah diperingatkan. Sebelumnya terjadi angin taufan yang lebih kuat dan tidak ada yang menduga bahwa arus banjir kali ini terjadi lagi di sini. Orang-orang berpikir bahwa di badai sebelumnya toh tak terjadi apa-apa.” Melchora Arau seorang penduduk setempat berpendapat lain. Meski badai kali ini tidak sekuat sebelumnya, ia tetap waspada. „Kita sebelumnya tidak diperingatkan. Biasanya daerah rumah kita aman. Satu-satunya masalah biasanya cuma banjir. Tapi karena mereka mengatakan bahwa tidak ada bahaya, kita putuskan untuk menetap.“ Keluarga Melchora akhirnya lolos dari bencana. Tetapi mereka harus menyaksikan banyaknya korban yang tidak bisa menghindari banjir lumpur. Berdasarkan pengalaman, banjir lumpur biasanya mengambil arus lain, tidak di desa mereka.

Penting untuk Selalu Berjaga-jaga

Badai „Durian“ kemudian bergerak ke arah Vietnam. Di Vietnam, walaupun masyarakat setempat telah diperingatkan, banyak yang tidak bisa menghindari bencana itu: „Saya kaget dan ketakutan. Setelah saya menarik keluarga saya untuk keluar dari rumah untuk menuju ke sawah, kita bersembunyi di bawah tumpukan kulit ternak. Setelah badai berlalu, kita baru melihat akibatnya.“ Sebulan sebelumnya, Badai Xangsane yang mengamuk. Badai inipun menyebabkan kerusakan parah di Manila dan menewaskan lebih dari 200 orang, sementara ribuan rumah hancur terkoyak badai.„Sampai hari ini saya meresa gemetar, bila membayangkan peristiwa itu. Bencana alam itu membayangi saya setiap hari.“ Banyak orang yang telah diungsikan, meski upaya itu tidak mudah untuk meloloskan para penduduk dari bencana. Nguyen Can Tach, Ketua Komisi Rakyat mengatakan: “Pelajaran pertama yang kita peroleh dari bencana alam adalah bagaimana mengungsikan para penduduk! Banyak yang tidak mendengar peringatan yang telah diserukan. Kita harus memaksa mereka untuk mencari keselamatan. Dan kini mereka telah menyadari, dengan bersiap-siap memperkuat rumah mereka dengan beban, sebagai upaya untuk berjaga-jaga apabila badai mengamuk kembali.” Menurut Le Duy Vong, Ketua Komite untuk Penanganan Banjir dan Badai di Da Nang, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk melindungi penduduk setempat dari badai yang mungkin akan datang kembali. “Setahu saya dinas pemerintah seharusnya mempunyai sebuah rencana untuk melindungi daerah perumahan. Misalnya perumahan harus ditempatkan di lokasi yang lebih tinggi agar tidak kebanjiran. Dan semua rumah harus dibangun lebih kuat. Namun agar semua warga mampu melakukannya, harganya jangan terlalu mahal.” Sejak dulu para penduduk dusun setempat membuat perlindungan dari bambu untuk menangkis badai dan banjir. Namun untuk masa sekarang mungkin upaya antisipasi harus jauh lebih baik. Mereka harus jauh lebih siap karena kemungkinan bencana alam selalu mengintai. Tidak merusak alam, menjadi syarat penting agar bencana tak semakin parah.