1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS Cari Negara Pemberi Suaka Bagi Gaddafi

17 April 2011

Amerika Serikat dilaporkan sedang menjajagi pencarian negara ketiga yang bersedia menampung penguasa Libya, Muammar al Gaddafi sebagai pemohon suaka. Gaddafi tetap ngotot mempertahankan kekuasaannya

https://p.dw.com/p/10v5E
Muammar al Gaddafi di depan pendukung setianya di Tripoli.Foto: dapd

Amerika Serikat secara hati-hati mengirimkan para pengamatnya untuk menjajagi kemungkinan adanya negara yang bersedia memberikan suaka kepada Muammar al Gaddafi. Harian The New York Times edisi hari Minggu (17/4) mengutip sedikitnya tiga orang sumber berita di pemerintahan Barack Obama, yang membenarkan adanya upaya mencari negara pemberi suaka tsb.

Fokusnya adalah negara-negara di Afrika yang pernah dibantu Gaddafi dengan uang dari penjualan minyak Libya. Yang dicari adalah negara yang sejauh ini tidak meratifikasi konvensi Mahkamah Pidana Internasional.

Pasalnya Gaddafi terancam ekstradisi ke mahkamah pidana internasional, berkaitan dengan serangan teror terhadap pesawat PanAm pada tahun 1988 di kawasan udara Lockerbie di Skotlandia. Dengan cara itu, diharapkan penguasa Libya yang menyatakan tidak akan meninggalkan negaranya, dan akan bertempur hingga titik darah penghabisan itu, dapat dibujuk untuk bersedia mempertimbangkan tawaran mendapat suaka.

Hingga kini, sekitar 50 persen negara-negara di Afrika dan juga AS sendiri, belum meratifikasi Statuta-Roma bagi pendirian Mahkamah Pidana Internasional.

Tidak bisa hanya opsi militer

Sementara itu tanpa terpengaruh tekanan internasional, pasukan yang setia kepada Gaddafi terus melancarkan serangan terhadap kubu pemberontak di kota Misrata dan Ajdabiya di barat Libya. Organisasi pelindung hak asasi Human Right Watch juga melaporkan, digunakannya bom curah untuk menyerang posisi pemberontak di kota Misrata. NATO juga sudah mengakui sulit dan kompleksnya permasalahan dalam pertempuran di kota Misrata sekitar 200 km di timur ibukota Tripoli tsb.

Sekretaris jenderal NATO, Anders Fogh-Rasmussen dalam wawancara dengan Deutschlandfunk mengakui, pemecahan konflik Libya secara murni militer sangat tidak mungkin. Rasmussen menegaskan, dalam mencari solusinya harus dilakukan cara militer dan politik. Menurut saya, kedua tindakan harus saling mengisi. Semakin kuat tekanan militer terhadap Gaddafi, maka akan semakin mudah menemukan solusi politiknya, kata Rasmussen menambahkan.

Ditegaskannya, kelompok kontak internasional sudah bertemu di Doha, dan menegaskan, waktu bagi rezim Gaddafi sudah lewat. Ia harus lengser. Kini Gaddafi sudah terisolasi di panggung internasional. Gabungan tekanan militer dan politik, pada akhirnya akan memaksa ia menyerahkan kekuasaannya, tuturnya.

NATO Kekurangan Pesawat Terbang

Namun Rasmussen tidak menyebutkan berapa lama tekanan itu akan dapat membuahkan hasil. Menteri pertahanan Perancis, Gérard Longuet bahkan mengatakan, terdapat risiko pertempuran melawan rezim Gaddafi masih akan berlangsung cukup lama.

Serangan udara sesuai mandat PBB saja akan sulit menuntaskan konflik di Libya. Juga kini terlihat, bahwa NATO mulai kehabisan cadangan bom presisi atau bom pintar untuk menyerang kubu militer Gaddafi. Demikian dilaporkan harian The Washington Post edisi online mengutip petinggi NATO.

Selain itu, Inggris dan Perancis yang memimpin misi mengawal resolusi PBB yang mengatur zona larangan terbang di atas Libya juga kekurangan pesawat terbang yang siap tempur. Karena itulah, NATO kembali mendesak Amerika Serikat untuk tidak terlalun lama menahan diri dalam konflik ini. Namun AS kelihatannya tetap akan memilih cara diplomasi, dan menekan Gaddafi agar mau lengser, kemudian keluar dari Libya untuk menerima suaka politik di negara ketiga.

Agus Setiawan/rtr/dpa/afp/dw
Editor : Luky Setyarini