1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Arti 9 November bagi Jerman

9 November 2011

Tanggal 9 November adalah tanggal yang berkaitan dengan beberapa peristiwa bersejarah di Jerman. Peristiwa mengerikan dan menyenangkan. Termasuk runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1989. Berbagai wajah dimiliki tanggal ini.

https://p.dw.com/p/136Ll

9 November 21 tahun yang lalu, Jerman merayakan runtuhnya Tembok Berlin. Peristiwa yang turut mengubah dunia. Tidak sampai setahun kemudian, tepatnya 3 Oktober 1990, Jerman yang terbelah bersatu kembali. Konflik Barat dan Timur berakhir. 9 November 1989 adalah hari penting dalam sejarah Jerman dan Eropa.

Monarki Berakhir, Nazi Datang

Philipp Scheidemann ruft die Republik aus
Philipp Scheidemann saat mengumumkan berakhirnya monarkiFoto: dpa

Dalam kalender sejarah Jerman, 9 November juga memiliki berbagai arti yang lain. Tahun 1918, Philipp Scheidemann dari kubu sosial demokrat, menyerukan dari balkon gedung parlemen di Berlin, bahwa monarki di bawah Kaisar Wilhem II telah berakhir. "Buruh dan tentara, semoga kalian sadar akan arti sejarah hari ini. Sesuatu yang tidak sepatutnya telah terjadi. Pekerjaan besar menanti kita. Semua untuk rakyat, semua oleh rakyat. Gerakan buruh tidak boleh dinodai. Bersatulah, bersikap setialah dan sadarlah akan kewajiban kalian. Monarki telah jatuh. Hiduplah kekuasaan baru. Hiduplah Republik Jerman!"

Demokrasi baru Jerman sejak awal kerap mengalami kesulitan. Mereka ingin secepat mungkin menyingkirkan haluan kiri dan kanan. 9 November 1923 pengikut Nazi berkumpul di kota München. Pemimpinnya adalah Adolf Hitler, yang 10 tahun kemudian secara legal menguasai Jerman dan menjerumuskan dunia ke dalam bencana terbesar, yakni Perang Dunia ke 2.

Reichskristallnacht in Berlin
Satu toko milik warga Yahudi di Berlin hancur akibat aksi Kristallnacht di era NaziFoto: AP

Pembantaian Etnis

Sebelumnya, kaum Yahudi setahap demi setahap dicabut haknya. Tahun 1942, Yahudi dimusnahkan secara sistematis. 9 November 1938, sebelum dimulainya Perang Dunia 2, di seluruh Jerman sinagoga dibakar, toko-toko milik kaum Yahudi dijarah. Sekitar 100 orang Yahudi dibunuh. 26 ribu digiring ke kamp konsentrasi.

Robert Ley, ketua front buruh Nazi Jerman, menyerukan, "Kaum Yahudi akan dan harus dijatuhkan. Kaum Yahudi harus dimusnahkan. Ini kepercayaan suci kita!"

Tembok Berlin Runtuh

9 November 1938 disebutkan sebagai hari paling tragis dalam sejarah Jerman. Benar-benar berbeda dengan 9 November 1989. Hari runtuhnya Tembok Berlin. "Wahnsinn" atau "gila" adalah kata yang paling sering terdengar di malam hari saat perbatasan dibuka bagi warga Jerman Timur.

Fall der Mauer
Gerbang Branderburger Tor Berlin saat perbatasan Berlin Barat dan Timur dibukaFoto: Landesarchiv Berlin

Aksi protes telah berlangsung berbulan-bulan sebelumnya. Ribuan orang melarikan diri melalui Hungaria dan kedutaan Jerman di negara-negara Eropa Timur. Tekanan untuk memudahkan warga Jerman Timur yang ingin melakukan perjalanan ke luar negeri terus bertambah. Namun, tidak ada yang menyangka, apa yang terjadi selanjutnya.

Dalam konferensi pers internasional di Berlin Timur, diumumkan peraturan baru yang diberlakukan dengan 'segera'. Artinya, tidak ada lagi perbatasan yang menghambat warga Jerman Timur untuk bepergian. Termasuk ke wilayah Jerman Barat. Puluhan ribu warga menyerbu jalur perbatasan di kota Berlin yang terbelah. Sorak sorai terdengar di mana-mana.

Kemungkinan untuk kembali ke masa lalu dengan situasi yang sama, mudah-mudahan tidak akan lagi terjadi setelah malam itu. Lubang pertama di Tembok Berlin, menghancurkan dengan cepat sistem secara keseluruhan. Untuk ke-empatkalinya, tanggal 9 November mencatat sejarah di Jerman. Kali ini sejarah dengan tema yang menggembirakan.

Sayangnya, ini tidak bisa mencegah banyak kesulitan di Jerman menyusul runtuhnya Tembok Berlin dan reunifikasi Jerman. Sepertinya, memulihkan persatuan yang sesungguhnya, lebih sulit dari sekedar memberikan simbol persatuan melalui sebuah tanggal tertentu.

Marcel Fürstenau/Vidi Legowo-Zipperer                                                                          Editor: Agus Setiawan