1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aristides Katoppo Tentang Peran Pers Pilpres 2019

Hendra Pasuhuk
16 April 2019

Media belakangan sering dikritik karena dianggap turut menyulut polarisasi menjelang Pemilu 2019. Wartawan senior Aristides Katoppo mengatakan kepada DW, dia percaya bangsa Indonesia cukup bijaksana untuk melakukan pilihan yang terbaik.

https://p.dw.com/p/3Gseg

DW beberapa waktu lalu sempat berbincang dengan Aristides Katoppo, yang biasa dipanggil Tides, mengenai situasi politik dan media menjelang perhelatan besar pemilu 2019. Berikut cuplikan wawancaranya.

DW: Bagaimana seharusnya media berperan dalam kancah persaingan politik yang makin sengit seperti pada pemilu kali ini?

Aristides Katoppo: Sebenarnya, menghadapi pemilu biasanya kan kampanye politik itu satu hitam satu putih. Yang satu dianggap malaikat, yang lain dianggap jin atau setan. Ya, dari ujung ke ujunglah. Tapi kalau kita lihat dalam UUD kita, dalam mukadimah ada kalimat: Mencerdaskan kehidupan bangsa…

Bukan hanya cerdas secara matematika atau keahlian hitung-menghitung, tapi publik harus dibuat menjadi waspada dan eling. Kata "eling" ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Tapi artinya semacam kepekaan mengenai keadaan sekarang, dan dari mana kita datang.. Dan yang lebih penting, sekalipun segala sesuatu kelihatan samar, ada semacam kabut tebal, sehingga nyaris tidak kelihatan, tapi kita punya semacam radar untuk menentukan arah, pilihan.

Nah, semua itu harus bersumber dari nurani. Di satu pihak, memang tidak ada orang yang sempurna. Pilihan saya tentu berdasarkan fakta-fakta, tapi yang penting: nurani saya tertarik kepada apa?

Jadi ketika membuat pilihan politik, kita tidak hanya perlu nalar, tetapi juga nurani?

Justru itu yang harus dikembangkan. Kalau kita waspada dan eling, menggunakan nalar, menggunakan nurani kita, maka saya kira semuanya akan menjadi jelas dan terang, karena kita ikhlas.

Jadi ada kecerdasan.. Bukan hanya sekedar kecerdasan matematika, hitung-hitung angka, tapi punya eling, punya kepekaan untuk menangkap suasana batin dari suatu masyarakat di mana kita berada. Dan saya percaya, bangsa Indonesia memiliki itu selama ini.

Tentu semua tidak sempurna. Banyak pihak tadinya berpikir, Indonesia tidak akan bertahan. Karena terlalu bineka, terlalu beragam. Atau karena ada kelompok-kelompok yang mau menang sendiri. Tapi buktinya, kita selama ini bisa bertahan. Salah satu, antara lain karena ada musyawarah. Artinya, kemampuan untuk tetap bertukar pikiran, menghormati pihak lain, walaupun tidak setuju (dengan pandangannya). Sehingga bersama-sama menciptakan makna untuk kebangsaan kita.

Saya kira Indonesia boleh bangga dan bersyukur. Itu justru penting sekali. Kita kadang-kadang seolah mencerca ini-itu, tapi tidak mensyukuri apa kemajuan-kemajuan dan berkah-berkah yang sudah dilimpahkan kepada bangsa kita. Termasuk kemampuan bisa bertahan demikian lama. Walaupun seolah cekcok, tapi tidak berperang seperti di Timur Tengah.

Dulu di sana ada Republik Persatuan Arab..

..Yang kemudian pecah menjadi tiga bagian..?

..tiga-tiganya berbahasa Arab, budayanya Arab, tadinya satu kerajaan, tapi buyar. Padahal mereka saling berdekatan, sedang kita masih dipisahkan oleh lautan.

Saya kira, kalau kita eling terhadap nurani kita, kemudian ikhlas.. Saya percaya bahwa wisdom bangsa Indonesia akan bisa melakukan pilihan yang terbaik.