1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Arena Fan Fest Uji Kesabaran Warga Afrika Selatan

14 Mei 2010

Arena fan fest sejatinya dibuat untuk mengompori euforia pendukung selama Piala Dunia. Namun saat ini pembangunannya justru banyak merugikan penduduk setempat. Terlebih arena tersebut hanya menguntungkan sponsor FIFA

https://p.dw.com/p/NNfM
Arena fan fest di Cape Town, Afrika SelatanFoto: DW/A.Boettcher

Situasi tenang di stadion Greenpoint di Cape Town terasa selaras dengan kebersihan dan ketertiban di sekelilingnya. Tidak ada sampah atau pedagang kaki lima yang biasa menjajakan makanan ringan atau kartu telepon. Sebaliknya para wisatawan dapat bersantai di berbagai cafe atau restoran yang berserakan di tepi stadion sambil menikmati secangkir cappuccino atau es teh.

Tapi gambaran itu justru membuat Greg Withers naik pitam. Pria yang berprofesi sebagai seorang fotografer itu berada di studio miliknya yang terletak di dekat stadion dan berhadapan dengan arena fan fest.

Arena itulah yang menjadi sumber kegalauan Whiters. Sejak buldoser dan buruh bangunan mulai berjejak beberapa bulan lalu, pelanggan Whiters kehilangan lahan parkir. "Sejak saat itu keuntungan saya turun sebanyak 50 persen. Buat saya Piala Dunia ini menyebabkan kerugian finansial," tukasnya.

500 meter ke arah stadion berdiri sebuah warung internet milik Euquene Kelley. Jika perempuan bertubuh kurus itu berbicara soal Piala Dunia, tangannya kerap terkepal ke udara. Berbeda dengan tetangganya di sebrang, Kelley merasa beruntung dengan kehadiran wisatawan di kotanya. "Para pendukung yang datang tentu harus membaca email mereka," ujarnya penuh keyakinan.

Piala Dunia membuat harga melambung

Meski demikian Kelley punya kekhawatiran lain. Ia sendiri menyewa sebuah apartemen yang terletak di dekat arena fan fest "Pemilik apartemen akan mengusir penyewa untuk dapat menaikkan ongkos sewa."

setiap bulannya Kelley membayar 3500 Rand atau sekitar 4 juta Rupiah untuk dapat menempati apartemen tersebut. "Tapi sekarang ongkosnya menjadi 3000 sampai 4000 Rand per hari. Saya harus meninggalkan apartemen saya," ketusnya, sembari menambahkan bahwa ia mengenal banyak orang yang mengalami nasib serupa.

Tidak jauh dari warung internet tampak sosok lelaki menyeret kakinya melalui trotoar. Pria itu bernama Lucky dan berusia 31 tahun. Matanya yang sayu dan kemerahan tampak mencolok ditambah aroma nafasnya yang berbau alkohol. Siang hari Lucky bekerja menjaga mobil di pelataran parkir untuk dapat membeli makan.

Tapi saat ini ruang parkir di daerah tersebut sedang ditutup dan sebab itu ia berkeliling stadion untuk mengemis. Tapi profesi barunya itu tidak akan bertahan lama. Karena selambatnya sejak peluit pertama berbunyi, aparat keamanan akan membersihkan daerah di sekitar stadion dari orang-orang seperti Lucky. "Mereka mengusir kita karena mereka takut kami akan merampok wisatawan asing," katanya kesal.

Kritik paling gencar saat ini diarahkan pada Blikkiesdorp, sebuah pemukiman yang terletak sekitar 20 Kilometer dari Cape Town. Secara bersamaan ribuan tuna wisma dan lembaga swadaya masyarakat mengeluhkan membludaknya rumah-rumah yang sebenarnya lebih mirip tempat penampungan atau bahkan kamp pengungsian itu. Kebanyakan menuduh, Blikkiesdorp dibangun hanya untuk membersihkan daerah pusat kota dari pengemis agar dapat menyembunyikan wajah kemiskinan dari wisatawan-wisatawan asing.

Inisiatif warga miskin ramaikan Piala Dunia

Hal tersebut segera dibantah oleh Pieter Cronje, jurbicara panitia penyelenggaraan Piala Dunia di Cape Town. Tidak seorangpun dibawa paksa ke Blikkiesdorp, katanya. Hal senada juga ditekankan oleh rekan seprofesinya, Thami Banda yang bekerja di ibukota Pretoria.

"Di sini kami tidak harus memindahkan seorangpun. Arena sepakbola kami kan sudah ada tanpa kami harus membangun dari awal. Kami telah merenovasi stadion dan semua pusat pelatihan juga sudah tersedia. Dan jika orang melihat tempat di sekitar arena fan fest. sitruasinya tidak jauh berbeda. Warga di sini senang karena kami berhasil membawa Piala Dunia ke depan pintu rumah mereka," katanya.

Pemindahan paksa pada akhirnya hanyalah salah satu dari sekian banyak kritik yang muncul. Sebagian warga Afrika Selatan menyesalkan bahwa hanya sponsor resmi Piala Dunia saja yang berhak tampil di arena fan fest. Sementara pedagang kecil yang menjajakan jagung bakar, permen, kartu telepon dan berbagai souvenir tidak memiliki akses dan sebab itu sedikit diuntungkan dari penyelenggaraan Piala Dunia. Padahal merekalah yang mendominasi gambaran ekonomi warga di hampir semua kota.

Sebab itu Yayasan Tshwane Leadership menjajaki kerjasama dengan berbagai gereja di Pretoria untuk menjalankan proyek unik, yakni sebuah arena fan fest yang dibangun sendiri di jantung Bürgers Park, taman kota tertua di Pretoria.

Arena tersebut tidak hanya menyediakan siaran langsung, tapi juga lapak kaki lima, lahan bermain untuk anak-anak dan forum-forum diskusi. Di antara pelanggan yang disasar adalah wisatawan juga. Pasalnya sebagian pelancong diyakini akan merasa terkekang dengan aturan ketat FIFA yang wajib dipatuhi di arena fan fest resmi, begitu menurut salah seorang panitia Kathrin Terblanche.

"Apa yang berbeda di sini adalah bahwa para wisatawan asing biasanya tidak akan pernah melihat Afrika Selatan yang asli, setidaknya jika mereka menggunakan bus ber-ac dari hotel ke stadion dan sebaliknya, itu saja," ujarnya mantap.

Katrin Gänsler/Rizki Nugraha

Editor:Yuniman Farid