1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Arab Saudi: Eksekusi Mentahkan Harapan Terhadap Reformasi

Jennifer Holleis
7 Februari 2023

Meski giat mendorong transformasi ekonomi dan sosial, analis menilai situasi HAM di Saudi masih di bawah harapan. Tapi ambisi Riyadh memoles citra lewat olahraga diyakini akan menggeser paradigma tentang penegakkan HAM.

https://p.dw.com/p/4N9EY
Pangeran Mohammed bin Salman
Pangeran Mohammed bin SalmanFoto: IMAGO/Le Pictorium

Sejak Pangeran Mohammed bin Salman, alias MBS, mengambil alih kekuasaan pada 2017, Arab Saudi berdiri di antara dua kontradiksi.

Di satu sisi, melalui modernisasi bertajuk "Visi Saudi 2030," pemerintah ingin mendorong diversifikasi sumber pemasukan negara dari sektor minyak dan gas, antara lain dengan membuka diri bagi pariwisata dan memperkuat hak perempuan.

Tapi pada saat yang sama, monarki di Riyadh belakangan semain rajin menggunakan UU Anti-Terorisme untuk membungkam kritik atau membidik individu tertentu. Selain itu, Saudi juga mencatatkan peningkatan jumlah eksekusi mati. Menurut laporan teranyar Organisasi Saudi untuk HAM (ESOHR) di Eropa, angka pelaksanaan hukuman mati menimgkat dua kali lipat sejak 2015.

Menurut laporan tersebut, setiap tahun pemerintah memerintahkan rata-rata 70 eksekusi mati antara 2010 dan 2014. Sementara pada periode 2015-2022, angka eksekusi berkisar rata-rata 129,5 kasus per tahun.

"Jumlah rata-rata eksekusi tahunan meningkat sebanyak 82 persen, justru ketika Saudi berusaha menampilkan citra modern di dunia luar," tulis ESOHR.

Direktur ESOHR, Ali Adulbisi, menilai, reformasi yang dijalankan Riyadh tidak berkaitan dengan gaya politik MBS. "Program modernisasi oleh MBS bersifat tebang pilih dan bergantung pada suasana hati," kata dia kepada DW. "Eksekusi mati sebaliknya adalah pilar yang penting bagi perilaku represif MBS, di mana dia gemar mengintimidasi rakyatnya untuk memaksakan kepatuhan." 

Pandangannya dibagi Sebastian Sons, peneliti senior di pusat studi Timur Tengah di  Jerman, Center for Applied Research in Partnership with the Orient (CARPO). Menurutnya, diversifikasi ekonomi dan liberalisasi sosial memang sedang terjadi di Saudi, tapi bukan keterbukaan politik. "Malah sebaliknya yang terjadi. Represi kini menjadi bagian tak terpisahkan pada kekuasaan MBS di Saudi," kata dia.

Lemahnya hukum

Meski pembunuhan jurnalis, Jamal Khashoggi, di Istanbul Turki, pada 2018 silam mengundang perhatian dunia terhadap tindakan represif Saudi, kebanyakan pengadilan terhadap pegiat HAM atau oposisi berlangsung di luar pantauan dunia luar.

Sidang terhadap musuh pemerintah biasanya digelar oleh Pengadilan Kriminal Khusus atau SCC, yang sebenarnya berwenang mengadili kasus terorisme. Pada 2022 lalu, pengadilan memvonis dua perempuan, Salma al-Shehab dan Nourah binti Said al-Qahtani, dengan masing-masing masa penjara selama 35 dan 45 tahun.

"Definisi terorisme di Saudi menjamin kerahasiaan pengadilan untuk memudahkan hakim memberikan vonis berat, termasuk hukuman mati dan penjara untuk siapapun yang mengritik pemerintah," kata Ramzi Kaiss dari LSM HAM Swiss, MENA Rights Group.

Dia menyontohkan definisi yang rancu. "UU Penanggulangan terorisme misalnya mendefinisikan tindak terorisme sebagai, antara lain, setiap tindakan yang ingin mengganggu ketertiban umum, menggoyahkan keamanan dan stabilitas nasional, atau mengancam kesatuan nasional. Tapi UU itu tidak mendefinisikan istilah-istilah ini dengan jelas."

Perempuan-perempuan Saudi Mulai Meninggalkan Abaya

Adulbisi dari ESOHR sebabnya mengaku khawatir terhadap nasib pegiat HAM Saudi. "Saat ini, ada sejumlah indikasi di dalam dokumen eksekusi, di mana lebih dari 60 narapidana terancam hukuman mati, termasuk anak di bawah umur," kata dia. "Sangat mungkin bahwa Saudi akan segera menjalankan eksekusi individual atau secara massal."

Peluang bagi HAM

Sebatian Sons meyakini pihak kerajaan memantau reaksi dunia internasional terhadap pelanggaran HAM oleh Saudi, dan menguatnya ketertarikan terhadap "bagaimana kritik dunia luar dilihat di dalam Arab Saudi," terutama ketika penguasa Riyadh sedang giat menyelenggarakan turnamen olahraga internasional. "Debat soal HAM bisa bereskalasi di Saudi dalam waktu dekat," imbuhnya.

Awal pekan ini, otoritas pariwisata Saudi mengumumkan akan menjadi sponsor resmi Piala Dunia Sepak Bola Perempuan yang akan digelar FIFA di Australia dan Selandia Baru, pertengahan 2024 mendatang. Kedua negara tuan rumah mengajukan keberatan atas keterlibatan Saudi, dengan dalih betapa monarki di Riyadh melarang perempuan bermain sepak bola atau bahkan untuk berkunjung ke stadion sebelum 2017.

Saat ini, Saudi sudah mengamankan status tuan rumah untuk Piala Asia 2027 dan Olympiade Musim Dingin 2029. Jika berhasil, Riyadh akan bergabung dengan Yunani dan Mesir untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030.

rzn/hp