1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aplikasi Super Apps: Antara Ego Sektoral dan Keamanan Data

Betty Herlina
20 Juli 2022

Pengamat merasa skeptis kebijakan aplikasi terintegrasi super apps akan berjalan mulus akibat masih tingginya ego sektoral. Keamanan data warga negara pun jadi pertanyaan utama.

https://p.dw.com/p/4ELrt
Ilustrasi orang menggunakan aplikasi di ponsel
Ilustrasi orang menggunakan aplikasi di ponselFoto: picture alliance/dpa

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G. Plate berencana menggabungkan ribuan aplikasi pemerintah dalam aplikasi super atau super apps. Dikutip dari Kompas.com, rencananya akan ada 8 hingga 10 aplikasi menggantikan 24 ribu aplikasi pemerintah saat ini. Sifatnya terintegrasi dari pusat ke daerah.

Rencana tersebut mendapat respon dari sejumlah pihak. Kominfo dinilai belum mampu menjadi pemimpin satu data di Indonesia, demikian menurut peneliti digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda.

"Kominfo tidak bisa cepat. Saat ini ego sektoral masih sangat tinggi. Contohnya saja, data e-KTP itu aksesnya Dukcapil dan Kemendagri, apa Kominfo bisa masuk? Tidak. Kemudian ada aplikasi perpajakan di Dirjen Keuangan, apakah bisa ke Kominfo?" ujar Nailul Huda.

Menurut Nailul, yang harus pemerintah lakukan saat ini adalah memilah aplikasi yang sudah tidak digunakan untuk segera dimatikan dan menggabungkan beberapa aplikasi yang relevan. Misalnya, aplikasi yang ada beberapa direktorat kementerian digabungkan dalam satu.

Namun jika aplikasi yang dibuat dapat memberikan dampak besar bagi masyarakat, Nailul menilai hal-hal tersebut tidak masalah. "Misalnya ada desa yang membuat aplikasi e-commerce untuk daerahnya saja, tidak masalah. Karena selama milik desa maka tidak ada biaya administrasi yang dibebankan ke penjual."

Pemerintah juga bisa berkolaborasi dengan pihak swasta sehingga dapat menghemat anggaran dengan tetap mengedepankan keamanan data, ujarnya.

Banyak aplikasi dinilai boros anggaran

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengatakan kebijakan aplikasi yang terintegrasi akan sulit berjalan karena ego sektoral masing-masing.

"Sampai saat ini tantangan terbesar adalah integrasi data yang dapat dipercaya. Secara realistis, keinginan Menkominfo menciptakan satu super apps untuk menggantikan 24.000 aplikasi pemerintah yang sudah ada itu seperti mimpi di siang bolong, buang-buang uang negara yang dikumpulkan dari pajak rakyat juga pada akhirnya," kata Damar pada DW Indonesia.

Senada dengan Damar, Nailul Huda mencontohkan bahwa akibat ego sektoral tersebut, sebuah instansi yang terdiri dari beberapa direktorat dapat menghabiskan anggaran yang relatif besar agar masing-masing punya aplikasinya sendiri.

Berdasarkan hasil penelusuran DW Indonesia, nilai tender pengadaan satu aplikasi atau perangkat lunak memang cukup besar. Seperti dilihat di laman di LPSE Kominfo yang diakses pada Selasa (19/07), tender Pengadaan Perangkat Pengolah Data dan Komunikasi UPT senilai Rp1,38 miliar. Selain itu ada juga tender Pengadaan Perangkat Pengolah Data dan Komunikasi, Balmon SFR Kelas II Padang TA 2022 senilai Rp1,38 miliar. Serta Pembangunan Ruang Server Balmon Makassar senilai Rp702 juta. 

"Boros dan ego masing-masing, tidak mau dicap ketingalan zaman, contohnya saja indeks pengukuran, BPS punya sendiri, Bappenas punya sendiri. Ini menunjukan tidak ada koordinasi terpusat," katanya.

DW Indonesia telah menghubungi pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mendapatkan tanggapan tentang rencana pembentukan super apps dan mengatasi ego sektoral dalam hal ini. Namun DW belum mendapat tanggapan hingga berita ini diturunkan.

Keamanan data bagaimana?

Dari sisi keamanan digital, Damar menilai terintegrasinya aplikasi dalam super apps seolah dipaksakan. Ini sangat berisiko jika Kemenkominfo tidak menerapkan sejumlah prinsip seperti privacy by design dan privacy by standards.

"Dari awalnya si pembuat aplikasi sudah memikirkan bagaimana caranya agar data pengguna tidak bocor. Sekalipun belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Publik (PDP) yang berlaku, penerapan standar perlindungan privasi itu harus jadi keharusan dari super apps ini. Harus ada cyber assesment yang independen untuk menilai ketahanan super apps ini dari pelanggaran data dan kejahatan digital," imbuhnya.

Damar mengatakan bahwa berdasarkan penilaian yang dilakukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) rata-rata ketahanan aplikasi yang dibuat pemerintah saat ini berada di angka 2. Ini menggambarkan pemerintah "tidak cakap" dalam urusan melindungi diri dari serangan digital yang terjadi, menurutnya.

"Peretasan oleh aktor jahat menjadikan data warga yang dikumpulkan pemerintah berisiko untuk bocor dan dijual di pasar gelap digital. Di tahap ini, tentu kita berharap pemerintah berbenah. Tidak bisa terus-terusan seperti ini, salah satunya adalah membuka diri dan melibatkankan cyber security expert dan komunitas yang lebih mampu dan cakap dalam melindungi data warga," paparnya.

Namun, selain berharap agar pemerintah memperbaiki diri, Damar mengingatkan agar setiap warga untuk mulai mengurangi jejak digital mereka. Caranya dengan mengendalikan seberapa banyak data privasi yang dapat diakses oleh orang lain dan oleh aplikasi.

"Kurangi jejak digital. Jangan umbar data pribadi di medsos atau internet. Perlakukan data pribadi secara hati-hati. Tidak ada ketenaran seharga nyawa. Pilih aplikasi yang lebih aman dan menghargai privasi," terangnya. (ae)