1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Janin dengan Down Syndrome Berhak Digugurkan?

27 Maret 2018

Semakin banyak perempuan Eropa yang menggugurkan kandungan ketika mengetahui bayi yang akan dilahirkan menderita down syndrome. Apakah mereka berhak melakukannya?

https://p.dw.com/p/2v373
Symbolbild - Schwangerschaft
Foto: picture-alliance/dpa/F. Heyder

Di negara-negara di Eropa diperkirakan, sekitar sembilan puluh persen wanita memutuskan untuk melakukan aborsi, jika mereka diberitahu sedang mengandung bayi dengan down syndrome .

Dewasa ini merupakan hal yang rutin bagi perempuan hamil, terutama dikalangan perempuan berusia 30-an dan awal 40-an, memeriksakan kandungannya, untuk mengetahui apakah bayi yang dikandung menderita down syndrome atau tidak.

Teknologi kedokteran modern dengan mudah dapat mendeteksi apakan bayi yang akan dilahirkan menderita kelainan genetika pada kromosom 21. Lewat analisa darah, dapat diketahui probabilitas kelainan kromosom 21 pada embrio. Jika probalitasnya tinggi, calon ibu dapat memilih untuk melakukan tes cairan amnion atau ketuban untuk pemeriksaan yang lebih tepat.

Metode pemeriksaan non-invasif yang relatif baru ini jauh lebih tepat daripada tes sebelumnya, yang menggabungkan analisis darah dengan tes USG.

Dikatakan, ketersedian layanan tes modern itu telah menyebabkan peningkatan aborsi di kalangan perempuan hamil  yang mengandung bayi yang mengidap kelainan genetik pada kromosom 21.

Teknologi Kedokteran Tingkatkan Aborsi?

Gert de Graaf dari Dutch Foundation Down Syndrome mengungkapkan, sebenarnya tren ini sudah muncul pada metode pemeriksaan sebelumnya yang jauh lebih rumit. 

Pihak berwenang Belanda pada tahun 2003 memutuskan, setiap perempuan hamil harus diberitahu tentang pilihan pemeriksaan dini, menggunakan analisis darah gabungan dan tes ultrasonic. "Sejak itu lebih sedikit bayi dengan down syndrome yang dilahirkan", kata de Graaf.

Tapi De Graaf juga menunjukkan, masih banyak calon orangtua yang tidak ingin melakukan pemeriksaan ini, karena mereka tidak ingin tahu. Dan bagi mereka, down syndrome bukan alasan untuk aborsi.

Hanya sekitar sepertiga wanita hamil di Belanda memutuskan untuk melakukan pemeriksaan down syndrome. Dan setengah dari jumlah ini menggugurkan kandungan saat mereka mengetahui bahwa bayi dalam kandungan menderita down syndrome.

Dengan metode pemeriksaan yang lebih tepat, dikhawatirkan akan lebih banyak perempuan hamil yang akhirnya menggugurkan kandungan, jika mengetahui bahwa bayi akan lahir mengidap down syndrome.

Setiap Negara Berbeda

EUROCAT, pusat data  untuk pengawasan Eropa terhadap anomali kongenital melaporkan, angka aborsi terkait down syndrome di Jerman mirip dengan di Belanda.

Di Jerman, sekitar 50 persen janin yang diduga mengidap down syndrome digugurkan. Menurut pengamatan, jumlah anak yang lahir dengan down syndrome tampaknya tergantung pada jumlah perempuan hamil yang melakukan pemeriksaan kromosom 21.

Di Denmark pemeriksaan down syndrome tidak dipungut biaya. Sekitar 90 persen permpuan hamil melakukan pemeriksaan. "Bahkan terdapat "tekanan sosial halus untuk melakukan pemeriksaan ini," papar de Graaf. Hasilnya, hampir tidak ada anak dengan down syndrome yang lahir di Denmark.

Situasinya sedikit berbeda di Amerika Serikat, di mana aborsi tidak diterima secara luas. Meski di AS aborsi itu legal, tetapi tetap menjadi isu yang kontroversial. Studi menunjukkan bahwa sekitar 67 persen perempuan hamil di AS memutuskan untuk melakukan aborsi jika bayi yang dikandung menderita kelainan kromosom 21.

Keputusan untuk Aborsi

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia, setiap tahun sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kelainan kromosom 21. Dampak dari kelainan bawaan ini diantaranya adalah masalah pendengaran, jantung dan usus.

"Orangtua mungkin khawatir tentang masa depan anak dengan down syndrome", kata Florian Steger, ahli etika medis di Universitas Ulm, Jerman. Mereka mungkin khawatir tentang cara membesarkan anak mereka atau stigma dalam masyarakat.

Dalam beberapa dekade terakhir, harapan hidup di antara orang-orang dengan down syndrome telah meningkat secara dramatis. WHO mengatakan, sekitar 80 persen penderita down syndrome sekarang hidup sampai ulang tahun ke 50 atau bahkan lebih. Tetapi beberapa orang tua mungkin masih khawatir tentang siapa yang akan merawat anak mereka ketika mereka sendiri menjadi lebih tua atau meninggal.

Steger mengatakan, adalah hak setiap perempuan untuk memutuskan apakah akan memeriksakan kromosom 21, dan apakah ia akan melakukan aborsi atau tidak.

Namun Stege  mengatakan, perempuan hamil juga memiliki tanggung jawab untuk mendapatkan informasi yang benar sehingga ia dapat membuat keputusan sendiri.  "Tanpa membabi buta mengikuti saran orang lain, apakah itu saran dokter, ibunya atau dari orang lain," tandasnya.

De Graaf juga mengatakan ia berharap lebih banyak orang akan mendapat informasi yang lebih baik tentang down syndrome dan kehidupan dengan seorang anak yang lahir dengan kelainan kromosom tersebut.

"Down syndrome bukanlah bencana seperti yang orang kira," dikatakan De Graaf. "Saya tidak akan menganggapnya sebagai alasan untuk aborsi." Tapi, ditambahkannya, ini adalah keputusan yang harus dibuat oleh masing-masing individu.

Peluang memiliki anak dengan down syndrome adalah sekitar 1 berbanding 200. Perempuan hamil di atas usia 30  memiliki risiko yang jauh lebih tinggi daripada calon ibu yang lebih muda.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, jumlah bayi yang lahir dengan down syndrome antara 1979 dan 2003 meningkat sekitar 30 persen.

Hal ini mungkin karena berkaitan dengan fakta bahwa banyak perempuan yang memutuskan untuk memiliki bayi setelah melewati usia 30. Dan mungkin itulah mengapa lebih banyak perempuan hamil  yang merasa perlu untuk  memeriksakan kromosom 21. Dampaknya, juga  lebih banyak perempuan yang melakukan aborsi.

Brigitte Osterath (yf/as)