1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Independensi Perempuan dan Perceraian

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
24 Agustus 2019

Pernah terbersit di pikiran Anda untuk bercerai? Benarkah perceraian sekarang lebih gampang terjadi? Apakah penyebabnya, perempuan yang makin mandiri atau pernikahan memang rentan selingkuh? Simak opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/3MBcM
Unglückliches Paar im Schlafzimmer
Foto: Colourbox/Syda Productions/L. Dolgachov

Perkawinan itu sakral, begitu yang diyakini banyak orang. Di Indonesia, perkawinan tak hanya diatur oleh undang-undang tapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari urusan agama, dengan tambahan adat-istiadat.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sayangnya, tak semua perkawinan berakhir bahagia hingga maut memisahkan. Dalam sebuah perkawinan, perceraian seringkali tak bisa dihindarkan, apapun alasannya. Angkanya pun menunjukkan tren peningkatan.

Sejak tahun 2009 hingga 2017 angka perceraian di Indonesia meningkat dari 16 persen menjadi 20 persen setiap tahunnya. Sebagai gambaran, berdasarkan data Kementerian Agama, tahun 2015 tercatat ada 398.245 gugatan cerai, yang terdiri dari 113 ribu gugatan talak oleh suami, 281 ribu lebih oleh istri. Tahun 2017, angka ini meningkat menjadi 415.898 gugatan cerai.

Relasi suami dan istri dalam sebuah perkawinan seharusnya setara. Sayangnya, di Indonesia sering terjadi suami dianggap sebagai pihak yang lebih dominan.

Dalam masyarakat patriarki, dominasi pria dianggap sebagai hal yang wajar. Karena itu masih sering ditemukan suami yang tidak memberikan kontribusi berarti dalam melakukan pekerjaan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan sebagainya. Bahkan dalam banyak rumah tangga tugas mengasuh anak pun nyaris sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri. 

Minimnya peran suami dalam tugas-tugas domestik rumah tangga kadang memaksa istri lebih memilih untuk tinggal di rumah, melepaskan pekerjaan dan karier agar bisa lebih fokus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak yang memang membutuhkan banyak energi.

Akibatnya, istri menjadi tidak independen secara finansial. Ketergantungan finansial pada suami membuat posisi suami semakin dominan. 

Blogger Uly Siregar
Penulis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Kekerasan rumah tangga

Dalam sebuah rumah tangga yang timpang, di mana peran suami jauh lebih dominan daripada istri, ada potensi kekerasan dalam rumah tangga. Hingga kini, kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi persoalan pelik yang kerap terjadi di negeri kita.

Komisi Nasional Perempuan, seperti dikutip Kompas, mencatat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2016, dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat pertama sebanyak 5.784 kasus.

Yang menyedihkan, banyak juga para istri yang bertahan dalam perkawinan, meskipun dibayang-bayangi oleh kekerasan. Banyak alasan yang membuat mereka bertahan.

Selain karena masalah psikologis, kultur Indonesia dan ajaran agama juga cenderung mengajak istri untuk berusaha mempertahankan perkawinan dengan harapan suami bisa berubah menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu.

Hal ini bisa dipahami, karena dalam kultur patriarkis, kegagalan dalam rumah tangga seringkali dilihat sebagai kesalahan istri semata. Belum lagi status janda sering dipandang sebagai suatu hal yang negatif dan layak dihindari. 

Selain beragam alasan di atas, satu lagi yang sering menjadi alasan utama dalam mempertahankan rumah tangga adalah faktor ketergantungan ekonomi, apalagi bila dalam perkawinan ada anak-anak yang terlibat. Dalam perceraian yang melibatkan anak-anak, persoalan menjadi lebih rumit. Menjalankan peran ibu tunggal bukan hal yang gampang, apalagi bila sang ibu tak bekerja.

Meskipun secara hukum ibu tunggal tidak harus membiayai anaknya sendiri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 41 dan 45 mengatur perlindungan pada anak pasca perceraian. Disebutkan bahwa bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sampai anak kawin atau sekurang-kurangnya sampai dewasa dan dapat mengurus diri sendiri, yakni pada usia 21 tahun.

Tapi pada kenyataannya banyak suami tak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak pasca perceraian. Akibatnya perempuan semakin takut mengajukan gugatan cerai. 

Perempuan independen dan perceraian

Menurut studi yang dilakukan oleh the Oxford-based European Sociological Review, seperti dikutip situs berita Independent, perempuan bekerja tiga kali lebih besar kemungkinan mengajukan perceraian daripada perempuan yang tidak bekerja.

Pasalnya, perempuan-perempuan pekerja ini lebih berdaya dan biasanya enggan diperlakukan tidak adil di rumah. Mereka adalah perempuan-perempuan tangguh yang biasa menghadapi persoalan di tempat kerja dan piawai menyelesaikan masalah, termasuk keluar dari perkawinan yang tak lagi bisa ditolerir.

Selain itu, faktor ketidaktergantungan secara finansial membuat istri lebih berani untuk bertindak bila ia tak lagi bahagia dalam perkawinan yang dia jalani, apalagi bila mengalami KDRT. Perempuan independen memiliki kepercayaan diri tinggi ia akan bisa mengatasi persoalan yang muncul setelah bercerai, termasuk menafkahi diri sendiri dan anak, bila terpaksa menjadi orang tua tunggal.

Perempuan independen juga biasanya tak khawatir kesepian tanpa pasangan karena ia memiliki hubungan dengan banyak orang, dari rekan kerja hingga teman-teman sepergaulan. Perempuan jenis ini juga memiliki kemampuan lebih untuk mendapatkan pasangan baru.

Gerakan feminisme juga mempengaruhi sikap perempuan dalam memandang perkawinan. Feminis mendukung pembebasan perempuan dari tugas-tugas domestik rumah tangga yang memberatkan langkah perempuan untuk maju dalam berkarier. Prinsip kesetaraan memberdayakan perempuan untuk lebih bersikap kritis dalam menilai relasi suami dan istri.

Namun, banyak juga yang menilai independensi membuat perempuan kebablasan hingga ‘gampang menyerah'dalam perkawinan, bahkan dalam perkawinan tanpa masalah ekstrem yang masih bisa diperbaiki dengan konseling. Saat memutuskan menikah, perempuan independen banyak juga yang memiliki prinsip "Ah, kalau memang nggak asyik, ya, tinggal bercerai, kan, gampang.” Berbeda dengan generasi di masa lalu yang meyakini bahwa pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang patut diperjuangkan habis-habisan. 

Saya meyakini bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak sosial yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang mengikat, harapan-harapan dan mimpi-mimpi yang ingin dicapai bersama, termasuk batasan-batasan yang bisa ditolerir oleh masing-masing pasangan.

Kontrak sosial seseorang dengan pasangannya bisa berbeda dengan pasangan lainnya. Nah, saya percaya hubungan yang sehat antara suami dan istri akan bisa dibangun jika masing-masing menjalankan perannya.

Kesetaraan sangat penting dalam perkawinan; yang satu tak boleh lebih dominan daripada yang lain, apalagi bila alasannya hanya karena suami yang mencari nafkah. Jangan karena sang suami yang bekerja, istri tak memiliki akses yang setara terhadap uang yang dihasilkan suami, misalnya. Atau suami jadi tak mau tahu urusan pekerjaan domestik rumah tangga.    

Setiap perkawinan mengalami tantangan. Ada tantangan yang satu-satunya jalan keluar adalah perceraian karena menyangkut KDRT, kecanduan narkoba, atau persoalan ekstrem lainnya. Tapi ada juga tantangan yang bisa ditanggulangi suami dan istri asalkan mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Untuk yang terakhir, sebaiknya jangan cepat menyerah. Berikan waktu dan kesempatan untuk merawat perkawinan yang sedang dilanda krisis. Studi yang dilakukan Marriage Foundation mengungkapkan pasangan yang tidak bahagia saat anak pertama mereka lahir, 10 tahun kemudian kemungkinan akan mengecap kebahagiaan. Tentu semua kembali pada batasan-batasan yang bisa ditolerir dan upaya untuk merawat perkawinan tersebut.  

 

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.