1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Siapa Takut Jatuh Cinta?

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
15 Februari 2020

Hari 'gini' masih 'jomblo'? Tapi pernah jatuh cinta, bukan? Saat sudah berpasangan, adakah yang berubah? Anda syukuri, sesali atau mau bagaimana lagi? Cinta dalah penyakit jiwa yang serius? Anda sependapat?

https://p.dw.com/p/3XFE5
Menikah
Gambar ilsutrasiFoto: Getty Images/B.Mehri

Ada satu ungkapan yang acap saya ulang ketika menggambarkan diri di hadapan yang lain. Saya adalah "the last man standing”. Teman-teman seangkatan saya mayoritas sudah menikah, saya belum. Rekan-rekan sebaya sudah punya anak dua, saya masih hidup bak anak muda.

Ungkapan tersebut biasanya saya kemukakan dengan bangga. Saya merasa seperti batu karang yang teguh di tengah-tengah tuntutan menikah kiri-kanan. Orang-orang bertanya, "kapan menikah?” Saya bergeming dan dalam hati menertawakan bagaimana beberapa kawan-kawan yang sudah menikah harus melapor rutin ke 'ibu negaranya', tidak bebas beraktivitas dan merancang rencana, dan jerih payahnya tak pernah menjadi miliknya sendiri.

Sejujurnya, tetap saja pertanyaan tersebut menyakitkan. Mereka yang belum menikah tak dianggap sebagai manusia utuh. Dan, persoalannya, yang memperlakukan demikian tak lain dari keluarga dan teman-teman terdekat.

Namun, tahun-tahun yang saya habiskan sebagai the last man standing pun kadang mematri gaya hidup melajang di urat nadi saya. Saya menikmati bekerja dari proyek ke proyek karena saya tak harus bangun pagi, menyantap kemacetan Jakarta, dan menghabiskan jam-jam yang jemu di kantor. Saya terhindar dari drama-drama menguras energi dengan rekan kerja. Saya bisa mendedikasikan diri untuk proyek-proyek yang bagi saya pribadi lebih berarti.

Beberapa kali tawaran pekerjaan tetap yang menggiurkan datang, saya tak tertarik. Sepanjang saya hanya sendiri, saya cukup menghidupi satu orang yang bisa saya atur kebutuhannya—diri saya. Saya tak ingin menjual kebebasan sehari-hari saya. Saya pun, walhasil, kesulitan membayangkan kehidupan selepas pernikahan di mana kepastian finansial menjadi kebutuhan yang mutlak.

​​​​Geger Riyanto membandingkan hidup melajang dan menikah
Pneulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Lubang yang Dalam

Pada satu titik, saya merasa sepaham dengan penulis-penulis yang menjual pandangan pernikahan tidak menjamin kebahagiaan. Kehadiran anak yang segenap kebutuhannya harus ditanggung hingga dua dasawarsa ke depan? Pasangan yang ternyata tidak cocok dan malah membebani? Terperosok dalam pernikahan yang keliru adalah terperosok ke lubang yang sangat dalam dan pengap dengan kemungkinan tidak bisa memanjat keluar lagi.

Di Seram, Maluku, sebelum kepulangan saya dari penelitian saya, saya dinasihati oleh orang tua yang saya hormati di kampung. Tak saya duga-duga, nasihatnya membenarkan ketakutan yang sudah terpupuk lama.

"Tantangan hidup paling besar,” ujarnya, "ada di pernikahan.”

Saya tak bisa menampik perasaan tak rasional saya bahwa peringatannya merupakan isyarat. Saya pun pulang dari Maluku dengan tekad tak akan menjalin komitmen dengan siapa pun sampai dengan studi saya rampung. Saya harus memikirkan diri saya terlebih dulu.

Bukan untuk Bahagia

Kehidupan memang jenaka. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang dapat membayangkan jalur hidup saya berubah drastis? Saya menemukan (tepatnya, ditemukan) seseorang. Dalam waktu singkat, kami menjalin komitmen serius. Kami mendesain masa depan kami bersama. Kami bertekad hubungan ini harus berhasil dan menjadi sesuatu.

Saya pun tahu apa artinya perubahan ini bagi saya. Saya harus mulai memikirkan bagaimana kami dapat meniti masa depan dengan selamat. Pada akhirnya, saya mesti meninggalkan skema hidup nyaman yang telah mendarah daging. Saya mesti siap bila setiap hari saya perlu menghadapi semua hal yang saya hindari selama ini: menjadi komuter, berkantor setiap hari, pun merelakan puluhan tahun ke depan bekerja bukan untuk diri saya sendiri.

Hanya saja, betapapun masih mencekamnya bayangan komitmen itu bahkan hingga hari ini, ada kekuatan yang lebih meluap-luap mendorong saya untuk membangun hubungan. Saya ingin bersama dengan seseorang yang berharga untuk waktu yang lama. Dan kendatipun bahagia setiap saat adalah mustahil, masa depan yang terpikir di benak saya hanyalah masa depan bersama. Keterpisahan terasa lebih mencekam ketimbang perjuangan berat untuk bersama.

Tak ada pilihan untuk kembali betapapun, saya tahu, saya sedang menggali untuk diri saya sendiri sebuah lubang tanpa pijakan guna memanjat keluar.

Jadi, cerita apakah tulisan ini sebenarnya?

Baiklah, saya akan menegaskannya. Ini adalah cerita tentang bagaimana seseorang mengorbankan kebebasan individu untuk pernikahan yang bukan saja akan mengikatnya dengan kekasihnya melainkan juga cicilan-cicilan dan pekerjaan tetap. Cerita tentang bagaimana seseorang merelakan diri menjadi bagian dari siklus tak putus masyarakat kita. Cerita tentang bagaimana kebahagiaan diri tak selalu yang utama dan bermakna. Kita lebih gamang dengan keterpisahan ketimbang ketidakbahagiaan.

Benar kata Plato, nampaknya. Cinta adalah penyakit jiwa yang serius. Namun, penyakit jiwa serius ini juga yang menjadikan masyarakat kita berjalan. Ia yang menyediakan pekerja-pekerja tetap yang mudah didisiplinkan karena tangan dan kaki mereka terikat keluarganya.

Siapa takut jatuh cinta, katanya.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.