1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Antara Hidup Sederhana dan Kultur Militeristik

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
30 Juni 2020

Bagi masyarakat tampaknya masih ada masalah laten yang belum selesai antara Polri dan TNI. Bagaiman kesenjangan kesejahteraan, problem kultur militeristik, pendekatan HAM di antara kedua institusi itu?

https://p.dw.com/p/3ea4w
Serangan teror di Jakarta 2016
Foto ilustrasi kepolisian IndonesiaFoto: AFP/Getty Images/R. Gacad

Ketika baru diangkat sebagai Kapolri pada November 2019, Jenderal (Pol) Idham Azis segera membuat gebrakan dengan mengeluarkan peraturan, yakni larangan bagi anggota Polri beserta keluarganya bergaya hidup mewah dan hedonis. Intinya, anggota Polri (termasuk PNS di lingkungan Polri), dilarang memamerkan barang mewah miliknya di ranah publik, termasuk di media sosial.

Sanksi tegas bakal dikenakan pada anggota Polri yang melanggar. Khusus kepada perwira dan unsur pimpinan Polri, diminta memberikan contoh terkait peraturan tersebut. Benar, masalah perilaku harus dimulai dari atasan, percuma ada aturan bila hanya berlaku “tajam” bagi bawahan, sementara tidak ada keteladanan dari pimpinan.

Peraturan soal gaya hidup sederhana itu menunjukkan, Jenderal Idham Azis adalah pimpinan yang peka terhadap situasi makro, karena kasus kesejahteraan ini pula, yang selalu menjadi sumber konflik antara polisi dan militer (khususnya Angkatan Darat) di lapangan.

Blogger Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Menghentikan konflik laten

Salah satu bentrokan skala besar yang pernah terjadi antara polisi dan tentara, adalah bentrokan antara Yonif 100/Raiders dan Brimob Polda Sumut di Binjai (dekat Medan), beberapa tahun lalu, yang juga dipicu faktor kesejahteraan. Dengan melihat kasus Binjai, maupun kasus bentrokan di tempat lain, artinya konflik antara polisi dan militer (khususnya Angkatan Darat) merupakan masalah laten, yang akan terus berulang, tanpa kita pernah tahu kapan ketegangan ini akan berakhir.

Potensi konflik tentu saja sangat dimengerti oleh pimpinan masing-masing satuan. Itu sebabnya, pada derajat tertentu bentrokan di lapangan masih bisa ditolerir pihak atasan. Dalam kasus di Binjai misalnya, memang ada tindakan terhadap komandan satuan. Saat itu Danyon 100/Raider May.Inf. Madsuni (Akmil 1988A), dicopot dari jabatannya, meski hanya sementara. Selang beberapa waktu kemudian karirnya kembali mengalir, bahkan Madsuni sempat menjadi Danjen Kopassus.

Secara singkat, konflik berkepanjangan ini terkait dua perkara: kekuasaan dan kesejahteraan. Repotnya antara polisi dan militer memiliki respons yang berlainan saat menghadapi isu kekuasaan dan kesejahteraan. Berdasarkan pengamatan empirik, militer cenderung lebih dekat dengan kekuasaan. Sementara perilaku polisi, mengingat posisinya selalu inferior dibanding militer, secara alamiah menjadi lebih dekat dengan kesejahteraan. Kira-kira logika yang berlaku di militer adalah, kekuasaan dipegang lebih dahulu, kesejahteraan dengan sendirinya menyusul.

Fenomena ini juga merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita hari ini. Bahwa dalam sektor kehidupan apapun, ikhtiar memburu kekuasaan dan kesejahteraan menjadi peristiwa biasa. Bila kita melihat politisi sipil misalnya, realitasnya jauh lebih mengerikan, mereka ingin menggapai kekuasaan dan kesejahteraan secara tamak, dan seolah tidak bertepi.

Sudah umum diketahui, sejak lama terjadi persaingan terselubung antara anggota polisi dan militer, dalam akses menuju korporasi dan jasa hiburan, yang semua ini berujung pada faktor kesejahteraan. Kiranya dengan peraturan Kapolri tersebut di atas, ketegangan bisa sedikit menurun. Mengingat kebiasaan selama ini, gaya hidup mewah adalah pintu masuk menuju korupsi.

Mengikis kultur militeristik

Peraturan Kapolri di atas juga bisa dibaca sebagai bagian dari reformasi internal Polri, utamanya di bidang kultural atau perilaku. Secara singkat, perubahan kultural adalah perubahan perilaku anggota Polri, yang mengedepankan jatidiri sebagai polisi sipil. Polisi sipil dimaksud adalah polisi yang menghargai hak-hak sipil, bersahabat, lebih membela kepentingan rakyat ketimbang kepentingan penguasa, dan yang paling utama menjunjung tinggi nilai HAM.

Polisi sipil selain sebagai paradigma, juga merupakan tujuan dari reformasi kepolisian. Pada dasarnya proses reformasi dimaksud tidak bisa dijalankan secara parsial, tetapi secara berkelanjutan. Sehingga akan terjadi percepatan dalam mewujudkan polisi sipil, yang dicirikan dengan transparansi, akuntabilitas, dan konsisten terhadap supremasi hukum.

Namun harus diakui, dalam praktik di lapangan, kultur polisi belum banyak berubah, meski sudah ada reformasi Polri. Khusus untuk satuan Brimob, perubahan kultur itu terkesan lambat. Terlihat bagaimana cara Brimob dalam mengatasi aksi massa, seperti pada aksi massa 21-22 Mei 2019 dan gerakan mahasiswa menentang Revisi UU KPK. Dalam beberapa kasus, pelaku dari tindak kekerasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh anggota Brimob, yang dianggap sebagai bagian dari Polri yang mengusung semangat militeristik, tapi juga sudah hampir merata dilakukan oleh satuan-satuan lain yang ada di lingkungan Polri.

Kondisi ini menjadi pertanyaaan masyarakat, apakah Polri sebagai institusi telah mampu menstraformasi diri menjadi institusi sipil sepenuhnya. Pola kinerja yang masih mengadopsi budaya militeristik menjadi bagian yang tidak terpisahkan sejak Polri berdiri.

Melalui reformasi internal, Polri sedang berproses menuju integrasi dengan sistem demokrasi, ketika institusi Polri harus menjadi bagian dari penebar nilai-nilai sipil. Pendekatan atau kecenderungan represif, secara bertahap berganti pada pendekatan sipil dalam koridor demokratis.

Selaras konteks global, transformasi kepolisian di sejumlah negara, sudah banyak menerapkan apa yang secara teoritis dikenal sebagai democratic policing (pemolisian demokratis). Substansinya adalah, prioritas mandat dan tuntutan kepolisian adalah menciptakan sistem kerja yang menghormati nilai HAM. Prinsip HAM dijadikan pegangan dalam kerja-kerja melayani masyarakat.

Problemnya adalah, acapkali prinsip dasar pemolisian demokratis pada beberapa kasus belum dipahami sepenuhnya. Prinsip HAM masih dianggap sebagai kendala atau penghambat tugas anggota kepolisian. Biasa terjadi, personel Polri justru ragu melakukan tindakan atau diskresi di lapangan, karena khawatir melanggar HAM. Padahal norma HAM idealnya justru mendukung kerja-kerja kepolisian.

Masukan dari Angkatan Darat

Konsep democratic policing semakin populer di  tanah air, setelah terbit buku dengan judul sama (2018), karya Jenderal (Pol) M Tito Karnavian, saat beliau masih menjadi Kapolri. Begitu pentingnya buku tersebut, hingga ada diskusi khusus membahas buku tersebut di Kodiklat TNI AD. Prosiding diskusi kemudian dirilis secara terbatas, pada pertengahan tahun 2019, menjelang Hari Bhayangkara.

Ada beberapa isu yang memperoleh perhatian khusus, namun untuk kepentingan opini ini, hanya saya ambilkan dua isu yang relevan saja, yakni soal kesejahteraan dan kultur militeristik. Beberapa catatan memang terbilang keras, namun semua masukan tetap harus diterima, sebagai bahan evaluasi lembaga (Polri) ke depan.

Catatan pertama terkait soal kesejahteraan. Ada dugaan Polri ingin memperoleh tugas dalam mengawal hak-hak Ekosob (ekonomi, sosial dan budaya). Aspirasi itu dipandang sebagai ambisi berlebihan, dan dianggap melebihi batas kewenangan Polri, meskipun dengan alasan untuk menjamin agar proses pemenuhan hak warganegara dilaksanakan pemerintah.

Pengawalan terhadap Ekosob yang diklaim sebagai tugas baru Polri, bakal dilakukan secara “senyap”. Istilah “senyap” ini yang menjadi kontroversial, karena menciptakan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, yang bisa berdampak pada munculnya pemborosan terhadap anggaran negara, serta extra-cost bagi dunia usaha. Ada kekhawatiran munculnya ego sektoral dari masing-masing institusi yang terlibat, dan yang paling berat adalah konflik terbuka dengan TNI AD.

Kemudian soal kultur militeristik. Dihadapkan pada semakin kompleksnya spektrum ancaman, penulis buku (Tito Karnavian) diduga ingin mempersenjatai institusi kepolisian dengan alutsista yang melebihi standar militer, dan ini sudah terbukti dengan pembelian senjata api jenis SAGL (Stand-alone Grenade Launcher), pelontar granat dengan teknologi canggih dan sangat mematikan.

Dengan menggunakan senjata api standar militer, patut diduga sebagai upaya Polri memperluas kewenangannya. Sehingga Polri tidak perlu lagi meminta bantuan TNI, saat mengatasi konflik intensitas tinggi. Kemudian muncul kekhawatiran berikutnya, bahwa Polri akan bertindak melampaui kewenangannya, dengan cara berlindung dibalik nilai “demi keamanan negara dan pemolisian modern”.

Tentu saja dua naskah tersebut, baik buku karya Tito maupun prosiding diskusi Kodiklatad sudah sampai di meja pimpinan masing-masing lembaga. Bagi masyarakat awam, berdasar bacaan dua naskah tersebut, tampaknya masih ada masalah laten yang belum selesai antara Polri dan TNI (khususnya AD). Itu sebabnya perlu ada klarifikasi dan keterbukaan dari masing-masing lembaga, agar tidak menimbulkan konflik berlarut, dan berdampak buruk pada rasa aman masyarakat. (ap/vlz)

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.