1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gedung Putih Tolak Ikut Dalam Penyelidikan Pemakzulan Trump

9 Oktober 2019

Melalui surat kepada DPR, pemerintahan Trump menolak ikut berpartisipasi dalam penyelidikan pemakzulan Trump. Sementara Duta Besar AS untuk Uni Eropa Gordon Sondland dihalangi oleh Departemen Luar negeri untuk bersaksi

https://p.dw.com/p/3QvKx
USA Donald Trump
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski

Selasa (08/10/2019), Pihak Gedung Putih memberitahu DPR AS bahwa pemerintahan Trump menolak ikut berpartisipasi dalam penyelidikan pemakzulan Trump yang mereka sebut sebagai upaya penyelidikan illegal, yang kemudian memunculkan bentrokan konstitusional dengan Kongres.

Dalam surat yang dikirimkan ke pimpinan DPR, kuasa hukum pemerintahan Trump secara gamblang menyatakan penolakannya untuk ikut dalam penyelidikan tersebut. Surat tersebut menuduh anggota DPR dari Demokrat merumuskan penyelidikan yang mereka sebut “melanggar prinsip keadilan dan proses hukum yang diamanatkan oleh konstitusi.”

“Mengingat penyelidikan anda tidak memiliki dasar konstitusional yang sah, prinsip keadilan dan bahkan proses perlindungan hukum yang paling mendasar, kami pihak eksekutif menolak berpartisipasi,” tulis Pat Cipollone, penasihat Gedung Putih.

Pat Cipollone
Penasihat Gedung Putih, Pat CipolloneFoto: picture-alliance/AP Photo/A. Harnik

Pihak Gedung Putih secara khusus menyatakan keberatannya terhadap DPR yang dinilai tidak secara formal melakukan vote untuk memulai penyelidikan pemakzulan Trump. Hal ini menyebabkan DPR tidak memiliki wewenang yang cukup untuk melanjutkan proses pemakzulan yang valid.

Cippolone juga menyatakan bahwa pemerintahan Trump tidak akan mau bekerja sama karena penyelidikan tersebut belum memenuhi “hak atas hukum” dari Presiden Trump.

Tanggapi surat dari Gedung Putih, Ketua DPR AS Nancy Pelosi menegaskan bahwa terlepas dari pemungutan suara formal terkait penyelidikan pemakzulan, DPR sejatinya memiliki hak konstitusi dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga eksekutif. 

“Surat ini jelas salah, ini hanya menjadi upaya melanggar hukum untuk menyembunyikan fakta bahwa Trump menekan negara lain untuk ikut campur dalam pemilu 2020,” kata Pelosi dalam sebuah pernyataan.

“Meskipun ada penolakan dari Gedung Putih, kami melihat semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa Presiden Trump telah menyalahgunakan jabatannya dan melanggar sumpahnya untuk melindungi, menjalankan dan mempertahankan konstitusi Amerika,” tambah Pelosi.

DPR panggil Duta Besar AS untuk Uni Eropa 

Surat penolakan dari Gedung Putih datang sesaat sebelum DPR memanggil Duta Besar AS untuk Uni Eropa, Gordon Sondland untuk bersaksi.

Dalam surat panggilan kepada Sonland, anggota demokrat dari tiga komite di DPR memerintahkannya untuk hadir pada 16 Oktober dalam rangka menjawab pertanyaan terkait perannya di dalam interaksi antara Trump dan pemerintah Ukraina.

Sehari sebelumnya, Sonland setuju untuk bersaksi di hadapan anggota tiga komite di DPR. Namun menurut Robert Luskin, kuasa hukum Sonland, kehadiran duta besar AS untuk Uni Eropa itu dihalangi oleh Departemen Luar Negeri AS. Luskin menyatakan kliennya sangat kecewa karena tidak bisa hadir untuk bersaksi. 

“Dia siap untuk bersaksi kapan pun apabila diizinkan,” kata Luskin dalam pernyataanya.

Tanggapi hal ini, ketua Komite Intelijen DPR, Adam Schiff menyatakan bahwa upaya menghalangi Sonland untuk bersaksi menjadi bukti kuat Trump dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menghalangi upaya penyelidikan.

Terbongkarnya isi pesan singkat

Sondland seketika menarik perhatian DPR setelah seorang whistleblower membocorkan isi pesan singkat terkait interaksi yang dilakukan oleh pemerintah AS dengan Ukraina. Presiden Trump dituduh sengaja menahan bantuan keamanan kepada Ukraina dalam rangka menekan mitranya di Ukraina agar melakukan penyelidikan terhadap Hunter Biden, putera dari Joe Biden mengenai perannya sebagai anggota direksi sebuah perusahaan gas terbesar di Ukraina. Joe Biden yang merupakan mantan wakil presiden AS adalah salah satu calon kuat dari Demokrat yang akan melawan Trump di pemilihan presiden 2020.

Menurut pengkritik Trump, pesan Sonland memperlihatkan bahwa dia bekerja dengan utusan Trump yang lain untuk menekan Ukraina agar melaksanakan keinginan Presiden AS itu. Pejabat Amerika ini diduga mengkondisikan sebuah pertemuan di Washington antara Trump dan Presiden Ukraina yang baru, Volodymyr Zelenskiy, agar mau bekerja sama menyelidiki keluarga Biden dan memeriksa kebenaran terkait gangguan pemilu AS yang terjadi pada 2016 silam. Teks tersebut juga memperlihatkan sebuah pesan dari Kurt Volker, mantan utusan khusus Presiden Trump ke Ukraina dan penasehat Zelenskiy.

“Saya mendengar dari Gedung Putih,” tulis Volker pada Juli lalu. “Jika Presiden Z [Zelenskiy] dapat meyakinkan Trump bahwa dia akan melakukan penyelidikan terkait apa yang terjadi pada 2016, maka kami akan langsung menentukan tanggal untuk kunjungan ke Washington.”

Hal ini menjadi tidak jelas mengapa Sondland yang bekerja sebagai utusan AS untuk Uni Eropa terlibat urusan dengan Ukraina, yang notabene bukan anggota dari Uni Eropa.

Baca juga : Amerika Serikat Tarik Pasukan dari Suriah, ISIS Bangkit?

“Pengadilan Kangguru”

Isi teks tersebut juga menunjukkan sebuah pesan dari diplomat lain kepada Sondland yang berisi : “Seperti yang sudah saya katakan di telepon, saya pikir ini gila mencari untung untuk kampanye politik dengan menahan bantuan keamanan.”

Sondland membalas pesan tersebut dengan mengatakan bahwa Trump “sudah sangat jelas tidak ada quid pro quo dalam bentuk apapun.”

“Saya menyarankan kita berhenti berkomunikasi melalui pesan singkat,” tambah Sonland.

Trump membantah telah melakukan kesalahan, namun dirinya juga secara terbuka meminta Cina untuk melakukan penyelidikan terhadap keluarga Biden.

Departemen Luar Negeri AS belum menjelaskan mengapa mereka menghalangi Sondland untuk hadir memberikan kesaksiannya di hadapan Komite Luar negeri, Komite Intelijen dan Komite Pengawasan DPR. Namun, Trump sendiri mengatakan bahwa dia tidak ingin utusannya bersaksi dihadapan ‘pengadilan kangguru’ yang sudah terkompromi.

Sementara itu DPR telah menjadwalkan tanya jawab secara tertutup dengan mantan Duta Besar AS untuk Ukraina, Marie Yovanovitch pada Jumat (11/10/2019).

gtp/vlz (AP, Reuters)