1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

160909 UN-Bericht Kinder

16 September 2009

Sekitar 250.000 anak-anak diterjunkan sebagai tentara dalam konflik bersenjata di berbagai belahan dunia. Walaupun ada banyak konvensi, dalam perang, anak-anak masih menjadi korban kekerasan seksual.

https://p.dw.com/p/Ji8M
Foto: AP

Jika utusan khusus Sekjen PBB untuk anak-anak dalam konflik bersenjata, Radhika Kumaraswamy, berbicara di depan pemerintah, negara manapun, ia merasa ibarat berlari melewati pintu-pintu yang terbuka lebar.

Tak ada hambatan. Tanpa kecuali semua sepakat, anak-anak butuh perlindungan khusus dari kekerasan, terutama dalam konflik bersenjata. Tak ada topik lain yang disambut persetujuan begitu rupa oleh ke-192 anggota PBB. Meski begitu, kondisi anak-anak di daerah konflik bersenjata tetap saja mengkuatirkan, kata ahli hukum dari Sri Lanka itu.

"Kita masih menghadapi persoalan terkait tentara anak-anak seperti kekerasan seksual terhadap anak-anak dalam perang. Juga serangan terhadap sekolah dan rumah sakit, akses kemanusiaan terhadap anak-anak dihalangi, penculikan anak-anak, ini semua terjadi di banyak konflik di dunia“, kata utusan PBB tersebut.

Radhika Kumaraswamy menyaksikan dengan mata kepala sendiri nasib anak-anak di banyak daerah konflik. Dalam laporan yang ia sampaikan pada dewan HAM PBB di Jenewa, ia menarik neraca campuran. Terutama menyangkut tentara anak-anak di banyak negara.

Kumaraswamy mengatakan, "Kami perkirakan, saat ini terdapat sekitar 250.000 tentara anak-anak di dunia. Lebih sedikit daripada 10 tahun silam, karena perang besar di Sierra Leone dan Liberia sudah berakhir. Untuk pertama kalinya ada pengurangan. 10 tahun lalu masih banyak tentara pemerintah yang merekrut anak-anak, sekarang tinggal 3 sampai 4 negara. Kini, pihak yang mengirim anak-anak ke medan perang kebanyakan kelompok non pemerintah dan gang bersenjata."

Laporan Kumaraswamy menyebut negara Chad, Sudan dan Republik Demokratik Kongo dimana bukan hanya tentara pemberontak yang merekrut anak-anak tapi juga tentara pemerintah. Di Myanmar dan Nepal, milisi non pemerintah merekrut anak-anak di bawah umur dalam jumlah besar.

Perempuan utusan khusus PBB itu menyimpulkan, dewasa ini secara umum pertempuran dilakukan lebih dekat dengan rakyat sipil, dan karena itu anak-anak ditarik lebih kuat ke dalam pusaran kekerasan dan kehancuran.

Salah satu aspek yang muncul adalah meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Tahun-tahun terakhir, semakin banyak laporan tentang perkosaan terhadap anak perempuan dalam konflik bersenjata, dari Burundi hingga Haiti. Ditambah lagi tantangan yang sama sekali baru.

Kumaraswamy mengatakan, "Perang antara kelompok teror dan anti teror melahirkan persoalan baru, misalnya menempatkan warga sipil di pusat konflik. Ada situasi dimana mereka yang disebut teroris menggunakan anak-anak sebagai pembom bunuh diri, dengan target sekolah atau tempat terbuka dimana terdapat anak-anak.“

Meski laporan yang disampaikannya mencatat hal positif dan negatif, Radhika Kumaraswamy bisa mengatakan bahwa kesadaran tentang adanya ketidakadilan bertumbuh. Persoalan ini diakui dan norma-norma internasional tentang perlindungan anak-anak dalam konflik bersenjata berlaku di seluruh dunia.

Namun norma-norma itu harus diperkeras, tuntut Kumaraswamy. Hal terpenting adalah diakhirinya impunitas. Siapapun yang tetap merekrut anak-anak untuk dijadikan tentara, harus dihukum. Bisa di mahkamah internasional, tapi yang tidak kalah penting, di pengadilan tingkat nasional.

Friederike Schulz/ Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk