1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Anak-anak di Jalur Gaza Derita Trauma Perang

29 Mei 2009

Operasi militer Israel di Jalur Gaza pada pergantian tahun berlangsung 22 hari tidak saja meninggalkan kehancuran tapi juga mengakibatkan banyak penderitaan, terutama pada kondisi kejiwaan anak-anak.

https://p.dw.com/p/I0HH
Anak-anak Jalur Gaza mengantri air bersihFoto: picture-alliance/ dpa

Waktu istirahat di sekolah dasar yang dioperasikan badan Perserikatan Bangsa Bangsa bagi pengungsi Palestina (UNWRA) di Rafah, selatan Jalur Gaza. Puluhan anak, kebanyakan bocah perempuan dengan kerudung putih dan seragam putih garis biru berdesakan di kios penjual makanan, di depan pintu gerbang baja. Apa yang mereka alami selama perang? "Teror dan ketakutan. Hanya Teror dan ketakutan. Kami takut mati," jawab seorang pelajar putri.

Di depan rekan-rekannya, seorang anak perempuan yang lebih besar ingin menyimpulkan hal positif dari apa yang mereka alami selama operasi militer Israel. "Perang mengajarkan pada kami untuk berani. Kami tidak mau berubah. Perang mengajarkan pada kami untuk menolong satu sama lain."

Tapi yang paling mereka inginkan adalah menghapus perang, juga rasa takut bahwa ia bisa setiap saat terjadi kembali.

"Kami ingin bermain, dan berharap bisa melupakan para musuh, lupa begitu saja," ungkap seorang anak. Sementara seorang anak lainnya menimpali, "Kami ingin apa yang terjadi tidak terulang lagi. Dan kami ingin tidak ada lagi anak yang mati."

Para murid, terang Omar Mohamed Shalah yang mengepalai sekolah dasar itu, banyak berubah akibat perang. Sebagian perilakunya berubah begitu rupa, lainnya mengalami penurunan drastis dalam nilai pelajaran.

"Orang bisa melihat bahwa perilaku anak-anak ini menjadi sangat agresif. Komunikasi antar siswa banyak diwarnai aksi kekerasan. Lambat laun anak-anak menjadi agresif satu sama lain. Mereka gampang main tangan, melakukan kekerasan, padahal dulu tidak demikian. Ini dampak dari pengalaman buruk yang mereka peroleh selama perang," kata Omar Mohamed Shalah.

Menurut perkiraan ahli kejiwaan di Palestina, sekitar 75 persen anak di Jalur Gaza, berarti setengah juta orang di bawah usia 14 tahun, memiliki pengalaman secara langsung dengan perang. Mereka mengalami dan melihat hal-hal yang belum bisa mereka cerna atau mengerti.

Dr. Aida Quota, psikiater anak dari Program Kesehatan Jiwa Gaza mengatakan, "Segera setelah perang berakhir, kami pergi mengunjungi desa-desa setempat. Yang sangat mengesankan situasi di sekitar Zaitun, selatan Gaza. Di desa itu saya bertemu anak 15 tahun yang kehilangan kedua orangtuanya dan rumahnya hancur. Dia memegangi saya erat-erat, begitu pula adik lelakinya. Lalu saya bilang, coba lepaskan sebentar, kenapa kamu memegangi saya begini erat? Adiknya menjawab, supaya kamu membawa kami menjumpai ibu di surga."

Sudah 15 tahun Aida Quota bekerja sebagai psikiater anak di Jalur Gaza. Namun, besarnya gangguan psikis yang dialami anak-anak di kawasan itu masih terus mengejutkan ia dan rekan-rekan kerjanya.

Clemens Verenkotte/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid