1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Amandemen Kelima Berpotensi "Mematikan" Demokrasi

15 Agustus 2019

Rencana mengembalikan fungsi Garis Besar Haluan Negara dan memulihkan kedudukan MPR RI dinilai sebagai upaya kartelisasi partai politik demi kekuasaan. Amandemen tersebut diyakini akan memperlemah struktur demokrasi.

https://p.dw.com/p/3NwGr
Indonesien Neuer Präsident Joko Widodo 20.10.2014
Foto: picture-alliance/AP/Dita Alangkara

Adalah hal langka terjadinya konsensus politik secara serempak di antara semua pimpinan fraksi partai politik di DPR dan DPD RI. Namun jika merujuk pada klaim Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah, kesepakatan itu sudah tercapai dalam isu amandemen kelima UUD 1945 demi mengembalikan lagi fungsi Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Kalau konteksnya melihat kesepakatan MPR periode hari ini, 10 fraksi disebut sudah menyetujui amandemen terbatas untuk menghadirkan GBHN. "Jadi semua parpol yang ada di parlemen, sudah sama-sama menyepakati agenda amandemen terbatas untuk menghadirkan GBHN itu," kata Basarah, Selasa (13/8), seperti dikutip dari Kumparan.

Isu kembalinya GBHN yang sekaligus berpotensi memulihkan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara sudah direkomendasikan pada Sidang Paripurna MPR  November 2014, kata Basarah kepada media-media nasional. Usulan tersebut kembali digaungkan Megawati Soekarnoputri pada Rapat Kerja Nasional PDIP pada Januari 2016 silam.

Namun menurut  ahli hukum tata negara Bivitri Susanti, usulan tersebut menyesatkan karena "tidak lagi relevan," kata dia saat dihubungi DW.  "GBHN dulu ada sebagai mandat yang diberikan MPR kepada presiden, karena presiden dipilihnya oleh MPR. Dengan model pemilihan presiden langsung seperti sekarang, MPR tidak lagi relevan karena bukan lagi lembaga tertinggi negara. Jadi buat apa?"

"Yang dikhawatirkan adalah seandainya GBHN ini masuk, akan muncul gagasan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara dan bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR."

Wacana pemilihan presiden melalui parlemen sudah ditolak Presiden Joko Widodo. "Saya ini terpilih jadi presiden melalui sistem pemilu langsung, jadi kenapa harus kembali ke sistem yang lama,” ujarnya seperti dilansir Kompas.

Rencana amandemen UUD 1945 bukan tugas yang ringan. Diyakini upaya mengembalikan fungsi GBHN dan memulihkan kedudukan MPR di atas presiden akan menghasilkan perombakan sederet UU lain, yakni UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU MD3, dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Saat ini pun DPR sudah memiliki sederet pekerjaan rumah yang menunggu untuk dituntaskan. Dari sebanyak 160 RUU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional milik DPR periode silam, tidak sampai 10 yang tembus menjadi Undang-undang. Tidak heran jika rencana besar seperti amandemen terbatas ditanggapi secara skeptis oleh pengamat.

"Bisa jadi ini adalah upaya dari partai-partai politik karena sistem yang ada sekarang ini dianggap tidak menguntungkan. Misalnya dengan adanya sistem pemilihan presiden secara langsung, tokoh-tokoh yang tidak termasuk oligarki atau keluarga pemilik partai, seperti Jokowi sendiri, bisa maju sebagai presiden," tutur Bivitri.

Menurutnya pada era Orde Baru, kedudukan "MPR sebagai lembaga tertinggi mematikan demokrasi, karena segala persoalan politik dianggap bisa diselesaikan MPR. Tidak ada kompetisi atau pengawasan di antara lembaga-lembaga negara lainnya." imbuhnya lagi. Sebab itu dia menduga upaya amandemen kelima merupakan siasat "elit partai yang ingin kembali ke sistem lama, di mana yang memegang segala pengambilan keputusan bukan masyarakat umum, tetapi partai politik."

rzn/hp (kompas, kumparan, detik)