1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Aku Valentina, Ini Ceritaku

19 Oktober 2018

Ayo ambil jalan ke kiri. Lari dan lari sekencang mungkin, bisikku dalam hati. Oleh Valentina Grevi.

https://p.dw.com/p/36pGg
Valentina Grevi, Indonesierin, Azubi für Altenpflege in Fürth
Foto: privat

Aku tidak memperdulikan rintik hujan yang mulai membasahi jaketku. Aku hanya fokus pada lariku. Aku benar - benar ketakutan. Aku menengok ke belakang, dia sudah ada dbelakangku. Aku mempercepat lari. Tak tau kenapa aku jadi lari sambil menangis. Ayoo sedikit lagi belok ke kiri, kita segera sampai. Aku menyemangati diri.

Aku menekan bel berkali2 dan spontan aku berteriak " Tolong, Tolong, tolong Suster buka pintu, Tolong, tolong, Tolong!".

Sampailah aku di sebuah rumah besar dbelakang rumah sakit di kotaku. Rumah ini merupakan rumah biara. Aku kenal beberapa suster yang tinggal disana.  Setelah mengamati mereka sebulan terakhir, akhirnya aku bisa mengenal mereka. Ada dua suster dari India dan mereka bisa bahasa Inggris dan ini membuatku senang. Karena jarang aku bisa berkomunikasi di tempatku selain dirumah.

Seorang suster membuka pintu. Aku hanya berkata " Suster Magdalena?" sambil menangis. Suster berperawakan kecil dan hitam manis itu keluar. Aku berlari ke arahnya sambil menangis. "Mereka mau mengambil ID cardku, aku tidak bisa hidup disini tanpa ID cardku."kataku sambil menangis.

Valentina Grevi, Indonesierin, Azubi für Altenpflege in Fürth
Valentina GreviFoto: privat

Tapi perempuan yang mengejarku bilang, itu tidak benar. Katanya aku sedang pura2. Aku terus menangis dan berusaha menjelaskan keadaan sebenarnya. Dan semakin keras dia membantah dan mencelaku.

"Nächste Station Fürth Hbf " Aku terkejut ternyata aku hampir saja telat keluar dari kereta.

Perkenalkan namaku Valentina, aku sedang mengikuti pendidikan Altenpflege (perawatan lanjut usia) di Fürth, Bayern. Ini bukan skenario film, tapi kejadian nyata yang aku alami tanggal 28 Maret 2016 sekitar jam10 pagi. Ini pengalaman seorang Au-Pair di salah satu kota kecil di Belgia.

Menjadi Au Pair di Jerman

Pertama kali aku menjadi Au-Pair di kota Kecil Münster, ota pertama yang membuatku jatuh cinta. Ceileh gw apaan si… Tapi ini beneran lho. Kotanya hijau, banyak gereja cantik, ada danau uatan Aasee yang enak buat nongkrong sambil barbeque bareng temen, cafe dipinggir kanal, bersepedaria di sepanjang kota, cuci mata karena Münster kota  pelajar yang penuh anak muda.

Yang aku suka dari Münster, banyak kelinci dimana-dimana. Di salah satu bundaran di jalan raya kota Münster tinggal berpuluh2 kelinci. Jadi, walaupun arus lalu lintas ramai, tetep jadi hiburan yang ngga ngebosenin. Dulu aku sempat mikir, wahh kalau dikampungku itu kelinci tidak sampai beranak karena keburu masuk ke wajan.

Apa lagi kalau lagi jalan- jalan sekitar kanal lihat bebek berenang bebas, wahhh kalau dikampungku sudah jadi oseng-oseng entok. Terus kalau liat burung terbang bebas, wahh jadi stock di warung pecel lele didampingi sambel dan lalapan.

Gini ini lah kalau orang kampung masuk kota. Pertama liat orang ciuman di lampu merah sampai lupa kalau lampunya sudah hijau. Sampai di liatin orang karena aku tidak nyebrang - nyebrang. Beneran norak banget.

Aku menjadi Au-Pair di keluarga yang baik banget. Host dad ku seorang ahli geologi dan kadang- kadang ada proyek di luar negeri. Kalau Mom ku bagian promosi di universitas di kotaku. Sama dengan host dadku, host Mom ku juga kadang-kadang tugas ke luar negeri. Tapi biasanya mereka gantian. Mereka punya tiga anak, anak cewek tertua umur 14 tahun dan kembar cewek cowok umur 12 tahun. Kebetulan aku cuma bantu anak yang besar karena dia berkebutuhan khusus, namanya Carlotta.

Banyak orang tanya gimana aku bisa komunikasi dengan Carlotta. Aku jawab dengan hati. Carlotta ini tidak bisa berjalan, tidak bisa bicara. Dia duduk di kursi roda. Tapi jangan salah, dia juga sekolah lho, bahkan sekarang dia juga sudah kerja. Dulu aku ngebayangin pas sempat menjadi volunteer di salah satu sekolah luar biasa di Pamulang. Mereka bakal jadi apa nantinya. Seorang suster ketua yayasan jelasin aku, mereka melatih anak-anak biar bisa mandiri. Dulu aku ngga paham apa yang suster maksud, koq bisa? Dan bagaimana caranya? Setelah kenal Carlotta, aku jadi paham dan optimis bahwa anak berkebutuhan khusus juga punya masa depan dan layak dihargai.

Aku termasuk beruntung menjadi Au-Pair di keluarga ini, dapat les intensiv gratis di VHS (sekolah umum), dapat uang belanja per minggu lumayan lah buat beli kangkung, indomie dan kripik pisang di toko Asia dekat rumah, uang extra dari bersih-bersih tangga rumah setiap minggu dan libur flexibel jadi bisa jalan- jalan.

Lumayan lah bocah ndeso ini bisa tau bau ganja di Amsterdam, ngerasain Waffeln di Brüssel, mampir di Tavullia kampung nya Valentino Rossi (maklum saya Fans si om Rossi sejak masih imut dan lugu), keliling sampai  gempor di Museum Vatikan, shopping cantik di San Marino, jalan santai di jembatan terkenal kota Praha yang dibuat lokasi shooting film James Bond, berendam manjah di kolam air panas di Budapest dan berjemur syahduh di pinggir pantai di kota Lisabon.

Belajar hidup di Belgia

Itu adalah masa Indah di Münster. Setelah selesai Au-Pair, aku coba cari lowongan BFD (Bundesfreiwilligendienst - pekerja sosial sukarela) tapi sayang aku belum beruntung, jadi aku coba peruntungan Au-Pair di negara tetangga, Belgia, di daerah yang berbahasa Jerman. Jadi aku masih bisa belajar Jerman lagi.

Tapi Tuhan menunjukkan jalan lain. Aku cuma dua bulan disana. Di Belgia aku belajar hidup, lewat apa yang terjadi antara aku dan Host Familie ku disana. Berjuang bagaimana tetap hidup, walaupun kadang tidak dapat makan. Latihan kuat karena sering nangis terlalu banyak kerjaan, latihan sabar karena tidak dihargai, latihan bersyukur karena orang tua dan teman-teman yang selalu mensupport, dan latihan berserah kepada Tuhan ketika hampir putus asa.

Please teman-teman carilah host Familie yang baik, cari info sebanyak-banyaknya dan jangan tergesa-gesa. Karena kalau salah pilih  bisa berakibat fatal menjadi luntang luntung di negara orang tanpa sanak familie. Itu bukan  hal yang mudah. Biar cukup saya saja yang alami itu.

Aku beruntung bisa bertemu Pak Ifan dari KBRI Brüssel dan akhirnya selamat dan bisa melanjutkan hidup di Jerman. Walaupun awalnya beliau menyarankan untuk pulang ke Indonesia. Bahkan temanku baik orang Ukraina bilang saya gila, katanya kalau dia jadi jadi aku, sudah pulang dari awal ada masalah sama Host Familie daripada lontang lantung kere, tidak punya teman ataupun saudara di Belgia.

Valentina Grevi, Indonesierin, Azubi für Altenpflege in Fürth
Menjadi Azubi (peserta pendidikan kejuruan) di FürthFoto: privat

Tapi akhirnya aku tetap kekeh balik ke Jerman sehingga bisa ikut program BFD sampai akhirnya mendapat pendidikan kejuruan.

Itu semua setelah lari dari Host Familie dengan tas berisi laptop, dokumen penting, uang terakhirku 200 euro, alkitabku dan hanya baju yang melekat ditubuhku. Aku bukan manusia religius, aku hanya manusia yang menjadikan Tuhan sumber kekuatanku.

Ketika masa-masa sulitku, aku menemukan ayat  dari Roma 12: 12, "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa." Ini penganganku dan aku percaya Tuhan menyediakan apa yang kita perlukan. Sehingga banyak kejaiban muncul, masih hidup antara Jerman dan Belgia, antara Nürnberg, Münster dan Brüssel. Teman yang tanpa aku sangka boleh menempati apartemennya selama dia liburan di Indonesia.

Terimakasih mbakyu Wira dan Farrah. Dan terimakasih banyak Leyla dan Eugen yang menampungku di Nürnberg sehingga aku mendapat kontrak untuk BFD di Altenheim (rumah jompo). Teman baikku Alexander, walaupun sedang tidak di Jerman, tetap mengurus tiketku pulang pergi Indonesia-Jerman. Aku tahu dia juga mempunyai banyak kesulitan tapi dari ketebatasannya dia tetap membantuku.

Sahabat menaruh kasihnya setiap waktu, begitulah kata orang bijak. Orang KSHG ( ikatan mahsiswa Katholik) Münster terus mensupport dan membantuku sehingga aku bisa kembali ke Jerman. Dan terlebih orang tua yang  selalu mensupport dan tidak  pernah meragukan keputusanku.

Begitu banyak keberuntunganku yang tidak bisa kusebutkan satu demi satu. Karena masalah dokumen, akhirnya aku apply visa BFD di Kedubes Jerman di Jakarta.

Akhirnya aku mendapat program BFD di Fürth, kota kecil yang bersebelahan dengan Nürnberg. Tuhan mengganti 450€ uang saku yang tidak dibayar oleh Host Familie di Belgia, dengan begitu indah, yaitu tempat BFD yang nyaman, gaji yang bagus dan apartemen yang direkomendasikan majikanku, padahal aku sudah berusaha mencari selama 3 bulan tanpa hasil.

Berkat Tuhan, BFD juga menawarkan Ausbildung (pendidikan kejuruan), dan cita-cita lamaku menginjak Jerman dan 18 negara sebelum nikah, Puji Tuhan sekarang sudah 16 negara, tinggal dua negara lagi dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun. Mungkin terdengar konyol, bahkan banyak temanku bilang keburu tua. Tapi bukankah tidak ada yang terlambat untuk meraih mimpi.

Aku Valentina, ini ceritaku.

*Kami menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.