1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Air untuk Siapa?

Zaky Yamani
Zaky Yamani
21 Maret 2020

Indonesia sudah memiliki undang-undang baru tentang sumber daya air. Tetapi Zaki Yamani ragu, dengan undang-undang baru itu persoalan hak air untuk warga akan terselesaikan.

https://p.dw.com/p/3Z5qy
Air dijual-belikan
Membeli airFoto: Getty Images/AFP/Y. Wahil

Indonesia sudah memiliki undang-undang baru tentang sumber daya air. Tetapi saya ragu, dengan undang-undang baru itu persoalan hak air untuk warga akan terselesaikan. Sebabnya, undang-undang itu masih membuka pintu untuk pemodal menguasai sumber daya air.

Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) yang baru itu, merupakan hasil dari pembatalan atas UU SDA No. 7/2004 pada 2015 lalu. Saat itu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengajukan uji materi UU 7/2004 kepada Mahkamah Konstitusi, karena menilai UU No. 7/2004 tak menjamin pembatasan pengelolaan air oleh swasta sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Hasil uji materi tersebut, Mahkamah Agung membatalkan UU No. 7/2004.

Namun, alih-alih mengeluarkan undang-undang yang mengatur perlindungan air dan hak air untuk warga, undang-undang yang baru itu lebih mengatur tentang pengelolaan sumber daya air, yang ujung-ujungnya memiliki semangat yang sama dengan undang-undang yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi: ruang untuk pemodal masuk dan menguasai sumber daya air.

Padahal, secara logika air adalah hak asasi manusia, karena tanpa air manusia—dan mahluk hidup lainnya—tak mungkin hidup. Dengan logika itu seharusnya air tidak boleh diperjualbelikan. Dengan membuka ruang bagi swasta untuk mengkomersialisasikanair, negara secara nyata telah melanggar hak asasi atas air.

Zaky Yamani di Jerman
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Kepemilikan atas air

Saya juga mengikuti pandangan aktivis lingkungan Vandana Shiva, yang menyatakan: air sebagai benda yang menjalani siklus yang tak berhenti, secara logika tak mungkin dimiliki, karena bagaimana mungkin manusia memiliki benda yang terus bergerak setiap saat.

Saya khawatir, dengan adanya undang-undang baru itu, nasib warga akan sama dengan yang sudah-sudah: saling berebut atas airkarena sumber daya airnya dikuasai swasta.

Kekhawatiran saya juga jadi kekhawatiran banyak pihak lain yang peduli akan hak atas air. Misalnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), yang menilai secara substansi undang-undang itu memuat ketentuan yang membuka ruang investasi baru dan secara filosofis masih mempunyai nafas yang sama dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang telah dibatalkanMahkamah Konstitusi pada 2015.

Misalnya, dalam kajian Walhi, pasal 46 dalam RUU SDA yang mengatur prinsip syarat tertentu dalam pemberian izin pengusahaan air terhadap pihak swasta. Karena sampai saat ini pihak swasta masih mendominasi negara—terlebih dengan semakin gencarnya upaya untuk meningkatkan investasi—dominasi pihak swasta terhadap negara dikhawatirkan dapat mengelabui dengan kedok kerja sama.

Dalam sebuah diskusi tentang UU SDA yang baru itu, ahli hukum dari Universitas Padjadjaran, Indra Perwira, juga menganggap undang-undang itu tak ada bedanya dengan undang-undang yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Menurut Indra, seharusnya undang-undang baru itu menjamin hak dasar warga negara dan seluruh mahluk hidup atas air, tetapi undang-undang itu malah lebih banyak berbicara pengelolaan.

Keuntungan segelintir orang

Dia juga menilai, negara seakan menutup mata bahwa air sudah dieksploitasi habis-habisan untuk keuntungan segelintir orang, dan mengorbankan hak banyak warga negara. Undang-undang baru itu seharusnya bisa membalik keadaan, dengan menegaskan jaminan hak atas air bagi seluruh warga negara.

Saya khawatir, jika undang-undangnya saja sudah memberi ruang bagi swasta untuk menguasai sumber daya air, peraturan-peraturan daerah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah berdasarkan undang-undang itu akan menerjemahkanya sebagai kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan sumber daya air. Di titik ini, kekhawatiran Walhi bisa mewujud, bahwa kemudian pihak swastalah yang akan mendominasi negara dalam pengelolaan sumber daya air.

Bisa juga praktiknya nanti seperti yang dikhawatirkan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha)—seperti yang sudah terjadi di banyak tempat di Indonesia—hak  penguasaan sumber daya air oleh negara itu akan dipelintir, dengan argumen negara tidak sanggup mengelolanya sendirian, lalu dialih-dayakan ke swasta sehingga pemodal akan memiliki kewenangan lebih dalam mengelola sumber daya air.

Zaky Yamani

Kolumnis dan novelis