1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

161209 Klima Kopenhagen Afrika

17 Desember 2009

Dari awal konferensi iklim, sudah jelas, adalah hal yang sulit untuk bersatu menuju tujuan bersama. Kepetingan setiap pihak terlalu berbeda-beda. Sekarang Afrika memperjelas posisi mereka.

https://p.dw.com/p/L65e
PM Etiopia Meles Zenawi menggunakan kesempatan di Kopenhagen untuk menyampaikan seruan tegas.Foto: AP

Perdana menteri Etiopia, Meles Zenawi, merupakan kepala pemerintahan pertama yang berpidato di pleno konferensi iklim di Kopenhagen. Ketua juru runding Uni Afrika ini menggunakan kesempatan tersebut untuk menyampaikan seruan yang tegas.

“Tidak berlebihan kalau dikatakan, bahwa ini adalah kesempatan terbaik dan bahkan mungkin kesempatan terakhir kita untuk menyelamatkan planet ini dari perubahan-perubahan yang destruktif dan tidak bisa kita duga sebelumnya. Ini merupakan sebuah ujian, apakah kita sebagai masyarakat global dapat mengalahkan kepentingan-kepentingan regional dan melindungi masa depan kita bersama.“

Disamping konsekwensi perubahan iklim, negara-negara Afrika terutama juga mengangkat tema dana bantuan. Meles Zenawi menuntut negara-negara industri untuk menyediakan 50 milyar Dollar per tahunnya mulai tahun 2015, dan 100 milyar Dollar mulai tahun 2020. Dana ini ditujukan untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan perubahan iklim.

Untuk mengumpulkan dana tersebut, Perdana Menteri Etiopia Meles Zenawi menyarankan untuk memungut pajak dari jalur penerbangan dan pelayaran internasional serta dari transaksi keuangan internasional. Selain itu hak emisi juga bisa dilelang, lanjut Zenawi. Dana ini dapat dialirkan ke sebuah tabungan internasional yang terutama dipakai untuk kemajuan Afrika.

Sebaliknya, kelompok negara-negara termiskin berupaya menghentikan pemanasan suhu golbal yang lebih kuat. Di Kopenhagen, perdana menteri Lesotho, Pakalita Mosisili, berbicara atas nama kelompok yang beranggotakan banyak negara-negara Afrika ini.

“Kenaikan temperatur bumi harus dibatasi sampai maksimal 1,5 derajat Celcius dan konsentrasi gas rumah kaca maksimal 350 partikel per sejuta partikel, untuk menghindari perubahan iklim yang tak dapat dihindari lagi. Kami menentang segala bentuk penggantian Protokol Kyoto atau penggantian tujuan-tujuannya dalam bentuk kesepakatan baru.“

Beberapa hari lalu, para delegasi dari Afrika menentang keras segala upaya untuk menggantikan Protokol Kyoto. Kewajiban negara-negara industri berakhir tahun 2012 dengan berakhirnya tahapan pertama kesepakatan tersebut. Negara-negara Afrika ingin agar ada sebuah periode kewajiban berikutnya, seperti yang sebenarnya direncanakan, agar negara-negara industri setelah ini juga harus menurunkan emisi gas rumah kacanya.

Hari Senin (14/12), negara-negara Afrika menghentikan perundingan di Kopenhagen selama lima jam, untuk memperjelas, bahwa mereka menginginkan keputusan yang mengikat. Perdana menteri Zenawi memberikan alasannya: “Afrika akan paling menderita jika tidak ada kesepakatan mengenai perubahan iklim. Kami akan paling menderita, bukan hanya karena alam kami yang lebih rentan, tetapi juga karena hari-hari terbaik kami masih akan datang. Kalau di sini tidak dapat dicapai kesepakatan, maka masa depan kita akan mati sebelum dilahirkan.“

Selain itu, kesepakatan iklim juga sangat lah penting bagi negara-negara kepulauan, yang terancam tenggelam kalau permukaan laut naik akibat pemanasan global. Presiden negara kepulauan Seychelles, James Alix Michel mengatakan, deklarasi penutup yang indah tapi tanpa isi, hanya memberi harapan kecil bagi pihak yang bersangkutan. Yang dibutuhkan adalah kesepakatan untuk menyelamatkan masa depan kita bersama.

Johannes Beck/Anggatira Rinaldi
Editor: Dyan Kostermanns