1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Patung Berwajah Afrika Picu Perdebatan Sengit di Coburg

Christina Küfner
28 Juli 2020

Di kota Coburg muncul perdebatan sengit soal patung-patung di fasad Balaikota. Dua warga pendukung kampanye protes Black Lives Matter menganggap patung-patung itu peningalan rasisme era kolonial.

https://p.dw.com/p/3fyx1
atung Santo Mautirius di Coburg
Patung Santo Mauritius, pelindung dan lambang kota CoburgFoto: picture-alliance/dpa/D. Karmann

Gedung Balaikota Coburg di pusat kota adalah bangunan tua klasik, dengan hiasan fasad-fasad ditembok panjangnya. Tapi gedung yang sejak dulu menjadi kebanggaan warga Coburg ini sekarang menyulut perdebatan soal rasisme, karena patung yang menggambarkan figur Santo Mauritius (Saint Maurice), orang suci yang dianggap pelindung kota ini. Persoalannya, Mauritius, yang juga dikenal dengan julukan "Coburger Moor”, digambarkan sebagai seorang Afrika dengan gaya penampilan dari era kolonial.

Para kritikus berpendapat, patung itu adalah bentuk penggambaran rasis dari era abad pertengahan. Padahal patung dan gambar-gambarnya tersebar di seluruh kota: Bibir tebal, rambut keriting, dengan anting-anting besar menggantung di telinganya.

Ini adalah ilustrasi diskriminatif dari era kolonial, kata Juliane Reuther dan Alisha Archie. Kedua perempuan yang sekarang tinggal di Berlin itu memang berasal dari kawasan Coburg. Mereka menggalang sebuah petisi online yang menuntut agar patung-patung Mauritius diganti dengan rancangan baru. "Ini citra rasis dan sekarang sudah tidak memiliki tempat di dunia masa kini," kata Alisha Archie.

Foto figur "Coburg Mohr" sebagai penutup jalan dikota Coburg
Figur "Coburg Mohr" tersebar di banyak tempat di CoburgFoto: DW/C. Küfner

Kehormatan atau diskriminasi?

Tapi inisiatif mereka membuat banyak warga Coburg yang terletak di Jerman selatan geleng-geleng kepala. Mungkin Juliane dan Alisha sudah tinggal terlalu lama di Berlin, kata seorang penduduk. Yang lain mengatakan, "Moor" itu adalah bagian dari sejarah kota Coburg yang sekarang sudah melekat pada identitas kota. Kantor walikota Coburg sendiri menyebut aksi petisi online itu "tidak berdasar". Lagipula: bagaimana bisa ada yang menyebut kota Coburg sebagai rasis, padahal yang dijadikan pelindung kota ini adalah Santo Mauritius, yang berkulit hitam.

Figur-figur Santo Mauritius yang bertebaran di sudut-sudut kota justru adalah tanda penghormatan, kata Hubertus Habel, peneliti yang menulis tesis doktornya tentang simbol-simbol dan sejarah budaya Coburg. Dia juga menggali dalam-dalam latar belakang tokoh "Coburger Moor" dan yakin bahwa sosok itu melambangkan seorang legiun Kristen dari Afrika yang dieksekusi karena komitmennya pada agamanya. Jadi figur Santo Mauritius itu justru "penghargaan tinggi yang diungkapkan (Coburg) untuk orang suci itu", kata Hubertus Habel.

Mauritius muncul pertama kali di lambang kota Coburg akhir abad ke-16. Dia diduga sosok yang berasal dari Mesir, jadi kemungkinan wajahnya tidak seperti yang digambarkan pada patung-patung dan figur-figur yang ada sekarang. Pengkritiknya mengatakan, patung dan figur yang ada sekarang lebih mengingatkan pada para budak dari benua Afrika pada Abad Pertengahan.

Nama jalan Mohrenstr. dan keterangan tentang Coburger Moor
Nama jalan dan keterangan tentang Coburger MoorFoto: picture-alliance/dpa/D. Karmann

Perspektif Kristen kulit putih

"Sejak awal, istilah 'Moor' digunakan dengan sembarangan. Itulah perspektif Kristen kulit putih dengan kecenderungan diskriminatif", kata Susan Arndt, peneliti soal rasisme. Dia menilai, perdebatan tentang patung di Coburg dan penggunaan istilah "Moor" saat ini mengingatkannya pada perdebatan serupa beberapa tahun yang lalu di Jerman.

"Saya melihat pola yang berulang," katanya. Beberapa tahun lalu, Jerman juga berdebat tentang penggunaan istilah "Neger" (Negro), yang sekarang dianggap diskriminatif. Ketika itu pun, banyak orang yang juga berargumen bahwa kata itu tidak perlu dipermasalahkan, karena tidak memuat konotasi negatif atau merendahkan.

Faktanya adalah, kata Tahir Della dari Initiative Black People di Jerman, debat di Coburg itu justru sangat penting. Misalnya tentang kata "Moor", yang bagi banyak warga kulit putih mungkin tidak bermasalah. Namun bagi warga kulit hitam, penggunaan sebutan itu jelas-jelas negatif.

"Ini seperti memanggil seseorang 'idiot', dan ketika dia mengeluh bahwa itu tidak dapat diterima, Anda terus mencoba menjelaskan mengapa itu tidak apa-apa. Itulah yang sedang terjadi saat ini," kata Tahir Della.

(hp/gtp)