1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Ada Angkot di Jerman?!

21 Agustus 2021

Apa saja kenangan manis ketika naik angkutan kota? Di balik keunikan angkot, tersimpan ragam dimensi sosial. Inilah tema yang diangkat pria asal Probolinggo lewat pameran instalasi seninya: angkot masuk Jerman.

https://p.dw.com/p/3z3LJ
Angkot karya Hajar Asyura
Angkot karya Hajar AsyuraFoto: Ayu Purwaningsih/DW

Warna-warni yang mencolok mendominasi sebuah angkutan kota (angkot) yang melaju di jalanan Kota Köln, Jerman. Berbagai tulisan-tulisan nyentrik yang ditempel di badan angkot. Salah satunya bertuliskan : "New Fear the Me Anak is Three”, meski yang dimaksud adalah: "nyopir" demi anak istri.

"Juragan" angkot di Jerman ini adalah Hajar Asyura, yang tengah menyelesaikan tugas akhirnya di sekolah tinggi seni, Künshochschule für Medien, Köln. Angkot hasil modifikasinya ini adalah bagian dari tugas akhir pendidikan pemuda asal Probolinggo itu. Dalam memodifikasi angkotnya, ia mendapat inspirasi ketika dulu  kuliah di Bandung:  "Dan di Bandung angkutan kotanya itu sangat berwarna-warni, hal itu membuat saya sangat terkesan, karena dulu saya juga sering naik angkutan kota, ketika masih kuliah di Bandung. Akhirnya saya membuat angkutan kota, dengan format dan warna-warni yang sama,” ujarnya.

Dimensi sosial dan ekonomi

Ide awal untuk membuat proyek ini sebagai tugas akhirnya berawal dari pengalaman yang Hajar rasakan sendiri saat menjejakkan kaki di Jerman tahun 2017. Ia mengaku terkesan dengan sistem transportasi di Jerman, yang menurutnya sangat efektif: ”Dengan adanya bis, trem dan kereta membuat saya bercermin kembali dengan sistem transportasi yang ada di Indonesia, yang sangat didominasi oleh angkutan kota untuk pergi ke mana-mana. Angkutan kota adalah solusi untuk mobilitas masyarakat, dan di sisi lain angkutan kota memiliki banyak masalah tersendiri, baik dari sisi transportasinya dan masalah sosialnya,” papar Hajar.

Dimensi sosial yang ia maksud di antaranya adalah bagaimana lewat angkot interaksi sosial terbangun. Di angkot, manusia saling saling berinteraksi atau bisa mengenal satu sama lain. Dimensi lainnya adalah bagaimana angkot menjadi cerminan sosial dan ekonomi masyarakat. Ongkos yang murah, sopir yang dikejar setoran sehingga menjejalan sebanyak mungkin penumpang, menjadi bagian dari dimensi tersebut. "Ada latar belakang bahwa para sopir tersebut melakukan penjejalan penumpang sebagai cerminan ekonomi yang lemah, sering kali bahkan sopir tidak memiliki SIM, dan akhirnya angkutan kotaini menjadi solusi bertahan hidup,” tandasnya.

Hajar Asyura  dengan tulisan angkotnya.
Tulisan-tulisan unik di angkotFoto: Ayu Purwaningsih/DW

Sebagaimana angkot di perkotaan Indonesia, sticker-sticker bertuliskan kalimat-kalimat jenaka ala angkot atau truk ditempelkan Hajar di badan mobil. "Itu bagian dari estetika, bagaimana kata-kata ala sopir angkutan truk dan sopir angkutan kota yang sangat norak ditempatkan di tubuh angkot. Meski  ianggap norak  tapi tetap saja membuat kita tertawa terpingkal-pingkal,” ujar Hajar sambil tersenyum.

Menurut Hajar, tulisan di badan angkot itu menjadi cerminan ketangguhan orang-orang kelas menengah bawah di Indonesia dalam menghadapi persoalan hidup. "Itu sangat menghibur, namun di balik hal tersebut kita bisa melihat bahwa ini adalah karakter orang Indonesia yang menyikapi kesusahan dalam hidup dengan komedi.”

Beberapa kalimat yang dipinjamnya dari sopir truk atau angkot di antaranya: "Pulang malu, ga pulang rindu" atau "Cinta tak mengenal warna kulit, tapi cinta mengenal warna duit”. Ada lagi: "WARNING: Sabar yeee, orang keren mesti di depan":

Keamanan berkendara

Hajar mengkonstruksi ulang interior mobil VW yang dibelinya  dengan mengganti kursi-kursi penumpang dan eksteriornya dengan cat warna-warni dan sticker.  Sejatinya, Hajar ingin angkot hasil modifikasinya juga bisa menjadi sarana transportasi di Jerman. Namun dalam prosesnya, terkendala regulasi. Setelah selesai "Kursinya saya ganti, saya membuat kursi sendiri yang baru dan berbentuk seperti kursi angkutan kota yang saling berhadapan. Sayangnya, hal ini tidak boleh dilakukan, karena tidak sesuai dengan regulasi keamanan berkendara di Jerman. Kalau di Jerman, orang harus memakai sabuk pengaman. Sementara kalau berhadapan, tidak bisa menggunakan sabuk pengaman,akhirnya hal itu bermasalah,” paparnya sedih.

Kesedihannya terhapus oleh antusiame para pengunjung pameran dan warga Indonesia di Jerman yang penasaran ‘mencicipi' angkot. Salah satu yang jadi penggemar angkot dadakan adalah Diana, yang sudah puluhan tahun menetap di Kota Köln, Jerman. Menurutnya keberadaan angkot di Jerman ini mengingatkan masa kecilnya ketika dulu pernah di Indonesia. "Bagus sekali, angkot ini bisa memungkinkan orang bepergian dari lokasi A ke B, dan ada iklan-iklan juga di dalamnya, satu per satu ditempel. Ada perasaan bahagia ketika diperbolehkan berkendara meski sebentar saja dengan angkot ini," ungkap Diana yang sibuk berfoto-foto dan naik turun angkot ini.

Diana Nasution, Sanusi, Hajar Asyura , ramai-ramai berpose depan angkot.
Angkot di Jerman, mengobarti kerinduan akan kampung halaman.Foto: Sanusi

Di beberapa kota, angkot sudah sulit ditemui, berganti dengan sistem transportasi lainnya, mulai dari sistem kereta bawah tanah hingga ojek online. Relevansi dari eksistensi angkot itu pun menjadi perhatian Hajar.  "Saya ingin mengajak masyarakat untuk berdiskusi, apakah angkutan kota ini masih relevan di zaman kita yang sudah ada berbagai macam ojek daring, dan pemerintah sendiri, terutama di kota besar seperti Jakarta, yang mendorong pembangunan sistem transportasi yang lebih modern dan lebih efektif. Namun itu hanya terjadi di kota besar, sementara di kota-kota lain di Indonesia masih sangat dibutuhkan. Masih ada pertanyaan jika angkutan kota ditiadakan, apa yang akan terjadi pada sopirnya, apakah mereka dididik untuk mempelajari sistem transportasi baru atau bantuan lainnya dalam menyelaraskan modernitas?" pungkas Hajar saat menutup pembicaraan.