1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

75 Tahun Konvensi Jenewa, Landasan Hukum Humaniter Global

Helen Whittle
12 Agustus 2024

Konvensi Jenewa 1949, landasan hukum humaniter internasional, berusia 75 tahun pada tanggal 12 Agustus. Dengan banyaknya korban sipil dan kejahatan perang konflik saat ini, seberapa relevankah konvensi tersebut saat ini?

https://p.dw.com/p/4jNIY
Palang Merah Internasional
Perkembangan Konvensi Jenewa 1949 berkaitan erat dengan sejarah ICRCFoto: Martial Trezzini/KEYSTONE/picture alliance

Konvensi Jenewa 1949 dan potokol tambahannya telah dipaparkan oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC) sebagai "salah satu pencapaian terpenting umat manusia pada abad terakhir."

Perjanjian tersebut menetapkan batasan tentang bagaimana perang dilancarkan dan melindungi warga sipil, petugas medis, dan pekerja bantuan selama masa perang, serta yang terluka, sakit, korban kapal karam, dan tawanan perang.

Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2023 mencatat lebih dari 33.443 kematian warga sipil dalam konflik bersenjata, meningkat 72% dari tahun 2022. Dengan serangan 7 Oktober lalu yang dilakukan oleh organisasi teror Hamas dan kelompok bersenjata lainnya terhadap Israel, respons militer Israel di Gaza, perang di Sudan, dan perang agresi Rusia yang sedang berlangsung terhadap Ukraina,

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa "kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia sering kali kurang."

Dalam sebuah laporan awal tahun ini, Guterres menggambarkan keadaan perlindungan warga sipil sebagai hal yang sangat suram.

"Kami telah melihat serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pekerja medis, rumah sakit, warga sipil, semuanya melanggar Konvensi Jenewa, dengan sangat sedikit rasa malu bagi mereka yang melakukannya," kata Andrew Clapham yang merupakan profesor hukum internasional di Geneva Graduate Institute dan mantan anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Sudan Selatan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Bagi Clapham, peringatan 75 tahun Konvensi Jenewa merupakan "waktu yang genting" bagi hukum humaniter internasional, saat negara-negara harus memutuskan apakah akan meminta pertanggungjawaban mereka yang melanggar perjanjian atas kejahatan perang atau tidak.

 Ini termasuk kewajiban negara-negara anggota untuk menahan atau memindahkan individu yang menjadi subjek surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

ICC mulai beroperasi pada tahun 2002 untuk meminta pertanggungjawaban para penjahat perang. Banyak negara, termasuk AS, Rusia, dan Israel, tidak mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut.

"ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk warga Rusia, dan ada permintaan surat perintah penangkapan dalam konteks konflik Israel-Palestina di Gaza," kata Clapham kepada DW. "Seberapa serius hal itu ditanggapi oleh negara-negara Barat akan menjadi tanda betapa pentingnya Konvensi Jenewa."

Rashmin Sagoo adalah direktur program Hukum Internasional di lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di Inggris dan sebelumnya menjadi penasihat Palang Merah Inggris.

Baginya, peringatan 75 tahun ini merupakan pengingat tepat waktu bagi negara-negara untuk memastikan bahwa mereka memiliki rumah sendiri yang tertata rapi, bahwa mereka berfokus pada penerapan di angkatan bersenjata mereka sendiri — dan mendorong sekutu mereka untuk melakukan hal yang sama.

"Berita yang kita lihat di layar kita sangat buruk. Namun, yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa ini adalah konvensi yang disetujui secara universal, yang didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal, yang dapat memberikan bobot hukum dan moral ketika terjadi pelanggaran. Jika kita tidak memilikinya sekarang, saya menduga akan ada seruan untuk membuatnya, yang akan sulit dilakukan di masa geopolitik saat ini," kata Sagoo.

Konvensi Jenewa 75 tahun
Pengusaha Swiss Henry Dunant (kadang-kadang dikenal sebagai Henri Dunant) mendirikan ICRC setelah menyaksikan penderitaan tentara yang terluka.Foto: Zvonimir Atletic/PantherMedia/IMAGO

"Menurut pandangan saya, kita harus sangat berhati-hati dalam diskusi ini karena sebenarnya Konvensi Jenewa sangat tangguh dan cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan zaman modern dan teknologi baru yang luar biasa yang telah kita lihat, termasuk di dunia maya, tetapi penerapan dan penegakan aturan tetap menjadi perhatian serius," tambahnya.

Apa itu Konvensi Jenewa?

Pengusaha Swiss Henry Dunant-lah yang memprakarsai negosiasi internasional yang menghasilkan Konvensi untuk Perbaikan Kondisi Korban Luka di Angkatan Darat di Medan Perang pada tahun 1864, yang kemudian menjadi Konvensi Jenewa Pertama pada tahun 1949.

Lahir di Jenewa, Dunant telah menyaksikan akibat berdarah dari Pertempuran Solferino di Italia utara yang menewaskan dan melukai puluhan ribu orang.

Tergerak oleh penderitaan para prajurit yang terluka, Dunant menyerukan pembentukan lembaga bantuan nasional untuk membantu layanan medis militer dan kemudian mendirikan Komite Internasional untuk Bantuan Korban Luka, yang sekarang dikenal sebagai ICRC.

Komite tersebut membujuk pemerintah untuk mengadopsi Konvensi untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Terluka di Medan Perang yang mewajibkan tentara untuk merawat tentara yang terluka, dari pihak mana pun mereka, dan memperkenalkan lambang palang merah pada latar belakang putih untuk mewakili layanan medis. 

Kengerian Perang Dunia II menyebabkan kesepakatan empat perjanjian Konvensi Jenewa pada tahun 1949 — meskipun setelah negosiasi yang berlarut-larut dan banyak manuver politik antara delegasi dari 64 negara yang terlibat dalam proses tersebut.

Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya merupakan inti dari hukum humaniter internasional dan berupaya mencapai keseimbangan antara kebutuhan militer dan prinsip kemanusiaan. "Konvensi tersebut merupakan perjanjian internasional yang pada dasarnya mengakui bahwa perang akan terjadi, tetapi ada aturan penting untuk mengatur pelaksanaan konflik bersenjata dan membatasi kebrutalan perang," jelas Sagoo.

Konvensi Pertama melindungi prajurit yang terluka dan sakit serta personel pendukung sipil dan menjamin perlakuan manusiawi, perawatan medis, dan perlindungan dari kekerasan, termasuk penyiksaan dan pembunuhan. Konvensi tersebut juga menetapkan kenetralan personel dan fasilitas medis, serta Palang Merah dan Bulan Sabit Merah sebagai tanda perlindungan yang terlihat.

Konvensi Kedua melindungi anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit, dan terdampar di laut. Konvensi Ketiga menetapkan aturan khusus untuk perlakuan terhadap tawanan perang, dan Konvensi Keempat melindungi warga sipil di masa perang, khususnya mereka yang berada di tangan musuh atau wilayah pendudukan.

Konvensi 1949 sejak saat itu telah diratifikasi oleh setiap negara di dunia, menjadikan hukum humaniter internasional sebagai badan hukum universal. Pelanggaran tertentu terhadap perjanjian dapat diselidiki dan dituntut oleh negara mana pun atau, dalam keadaan tertentu, oleh pengadilan internasional.

Bagaimana relevansi Konvensi Jenewa saat ini?

Di antara sekian banyak tantangan terhadap hukum humaniter internasional — maraknya aktor nonnegara, teknologi baru dan yang sedang berkembang seperti sistem senjata otonom dan kecerdasan buatan, selain domain peperangan baru di luar angkasa — yang paling menantang mungkin adalah masalah kepatuhan terhadap konvensi itu.

Penderitaan massal dan jumlah korban yang tragis akibat konflik saat ini tidak berarti aturan tersebut tidak berharga atau bahwa orang atau bahkan negara tidak perlu peduli terhadapnya, ujar Sagoo. 

"Penegakan hukum selalu menjadi tantangan, itu kenyataan, dan di samping itu penerapan aturan oleh negara, menurut saya, merupakan hal lain yang sangat penting untuk difokuskan oleh negara, dan itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan di masa damai," katanya kepada DW.

"Sangat sulit untuk melakukan aspek implementasi di tengah panasnya perang, jadi dasar-dasarnya harus diletakkan jauh-jauh hari," tambahnya.

Bagi Andrew Clapham, satu-satunya cara untuk memastikan bahwa Konvensi Jenewa dipatuhi adalah dengan meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang melanggar dan pemerintah yang membantu negara lain melanggar perjanjian tersebut, atas kejahatan perang.

"Kami mulai melihat beberapa keputusan di beberapa negara yang mengatakan, 'Yah, kami tidak dapat mengekspor senjata ke negara ini atau itu lagi — jelas ini dalam konteks Israel saat ini — karena itu akan memfasilitasi atau berkontribusi pada pelanggaran Konvensi Jenewa, yang merupakan pelanggaran menurut hukum nasional dan hukum internasional," katanya.

"Saya akan mengatakan bahwa area yang perlu diperhatikan sekarang adalah penuntutan kejahatan perang dan ekspor senjata — itu adalah dua cara untuk memastikan penghormatan terhadap Konvensi Jenewa," tambahnya. (ap/hp)