1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

De Boer Rücktritt

19 Februari 2010

Sejak lima tahun Yvo de Boer berjuang melawan akibat perubahan iklim global di puncak badan iklim PBB. Ia sampai sekarang belum berhasil, kini ia mengundurkan diri.

https://p.dw.com/p/M5c3
Yvo de Boer, ketua badan iklim PBB.Foto: picture-alliance/ dpa

Pemecahan sebenarnya dalam isu iklim harus datang dari bidang ekonomi dan industri, dan pemerintahan harus menetapkan kerangka politik yang diperlukan. Demikian pendapat ketua badan iklim PBB, Yvo de Boer.

Baru dua bulan yang lalu de Boer menyaksikan gagalnya konferensi iklim internasional di Kopenhagen. Dengan ini kerangka yang diperlukan masih belum muncul. Tetapi sekarang Yvo de Boer mengatakan, saatnya sudah matang baginya untuk mundur dan mencari tantangan baru. Dalam pernyataan pengunduran dirinya, de Boer tidak mengeluarkan kritik atas proses perundingan iklim yang mandek dan mengatakan, keputusan yang sulit ini tidak ada hubungannya dengan hasil konferensi iklim yang mengecewakan.

Setelah memimpin konvensi iklim PBB selama lima tahun, Yvo de Boer akan mundur 1 Juli mendatang dan tantangan berikutnya bagi de Boer adalah karir di perusahaan KPMG sebagai penasihat global dalam isu klima dan perkembangan yang berkelanjutan. Selain itu ia juga akan bekerja di sejumlah universitas.

Lima tahun lalu sekjen PBB saat itu, Kofi Annan, menunjuk de Boer sebagai pemimpin konvensi iklim karena Annan terkesan dengan kebulatan tekad de Boer. Annan percaya, de Boer dapat perpikir dengan kepala dingin, juga dalam situasi yang membingungkan. Terutama dalam perundingan-perundingan iklim besar, de Boer memang terbukti merupakan seorang pemimpin perundingan yang penting dan berpengaruh. Bersama dengan tuan rumah konferensi-konferensi iklim internasional, de Boer selalu duduk di atas podium yang mencoba menjadi penengah bagi 192 negara peserta, lalu ia membuat kesepakatan dari berbagai pendapat berbeda negara-negara tersebut.

Walaupun de Boer merupakan seorang diplomat yang baik, ia juga bisa menunjukkan sikap yang tegas. Dalam konferensi iklim internasional di Bali tahun 2008, de Boer mengancam para menteri lingkungan hidup, “tidak ada yang boleh keluar ruangan, sebelum dirumuskan sebuah jawaban politis atas penemuan-penemuan di bidang ekonomi“. Dengan itu konferensi iklim Bali tidak gagal total dan berhasil dibentuk sebuah rencana aksi. Namun begitu de Boer juga bisa menunjukkan sisi sensitifnya. Ketika seorang delegasi Cina di konferensi Bali menuding de Boer, bahwa ia menjadwalkan dua sesi penting di saat bersamaan, de Boer menitikkan air mata.

Pengunduran diri de Boer muncul ketika perundingan iklim sedang mengalami masa sulit. Sebelum konferensi iklim di Kopenhagen, ketua badan iklim PBB ini mendesak dicapainya hasil yang berarti dan memperingati dunia akan bahaya perubahan iklim yang hebat. Setelah konferensi di Kopenhagen gagal, badan iklim PBB berada dibawah tekanan yang besar sampai konferensi berikutnya di Mexico, akhir 2010. Sampai saat itu harus dibangun sebuah kerangka yang dapat memungkinkan dicapainya sebuah kesepakatan yang mengikat untuk menggantikan Protokol Kyoto yang habis masa berlakunya tahun 2012. Namun situasinya sekarang tidak bagus. Selain itu setelah gagalnya konferensi Kopenhagen, posisi sentral PBB sebagai landasan untuk perundingan iklim global juga dipertanyakan.

Mei mendatang akan diadakan konferensi iklim kecil di Bonn. Ini masih akan dipersiapkan oleh de Boer dan sekitar 450 karyawannya. Setelah itu pengganti de Boer harus mengusahakan hasil yang substansial dalam perundingan di Mexico. Menurut de Boer, ini artinya: ditetapkan berapa persen penurunan emisi CO2 yang harus diraih oleh negara-negara industri sampai 2020, dan perjanjian mengikat bagi Cina dan India.

Insa Wrede/Anggatira Gollmer
Editor: Asril Ridwan