1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Washington Pyongyang Pasca Kim Jong Il

22 Februari 2012

Ke luar AS tampak tenang terhadap meninggalnya diktator lama Korut Kim Jong Il. Tapi dengan putranya Sohn Kim Jung-Un di pucuk pimpinan Korut, tidak tampak tanda bahwa ia akan mengubah haluan politik ayahnya.

https://p.dw.com/p/147nl
FILE - A photo dated March 2010 released by the Korean Central News Agency (KCNA) shows North Korean leader Kim Jong-il (Ras he inspects the Kim Chaek Iron and Steel Complex in the country's North Hamgyong Province. Japan's newspaper Mainichi Shimbun reported on April 20 that Kim's third son and heir-apparent Kim Jong-un is beside him, this being his first public appearance before the media. . To the surprise of many, communist North Korea has announced a change of leadership in the ruling labour party. At the beginning of September, the politbureau of the Central Committee of the party would convene for electing its 'highest executive committee', the federal news agency KCNA reported on 26 June 2010. EPA/KCNA +++(c) dpa - Bildfunk+++
Mendiang Kim Jong Il (kanan) dan Kim Jung Un (2010)Foto: picture-alliance/dpa

Pada kenyataannya AS tidak boleh membiarkan begitu saja pergantian kekuasaan tsb. Karena beberapa bulan terakhir berhasil dimulai lagi pembicaraan dengan Korea Utara. Tahun lalu dua kali delegasi kedua negara bertemu untuk merundingkan program atom Pyongyang yang kontroversial.

Bagi Korea Utara target yang selalu diumumkan adalah pembicaraan langsung dengan AS. Pyongyang ingin mendesak musuh lamanya ke meja perundingan untuk meraih poin di dalam negeri. Dikatakan Rüdiger Frank pakar Korea Utara di Universitas Wina: "Pimpinan Korea Utara dengan sukses memberika kesan kepada rakyat, dikepung musuh. Dalam situasi demikian represi maupun kurangnya pasokan dapat dijelaskan dengan lebih baik. Pada saat dimana pimpinan tidak lagi dapat meyakinkan bahwa negara itu berada dalam situasi dikepung, tekanan politik dalam negeri ke arah perbaikan kondisi kehidupan akan semakin besar.“

Sejak tahun 90-an Korea Utara dari tahun ke tahun hampir tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Rezim di Pyongyang sebetulnya berada di bawah tekanan. Kim Hyun-uk penasehat presiden Korea Selatan bahkan percaya, tidak tertutup kemungkinan tergulingnya rezim di Korea Utara sewaktu-waktu. "Kami melihat pergerakan. Sebuah institut penelitian Rusia baru-baru ini meramalkan rezim di utara dalam 20 tahun mendatang akan ambruk. Sementara ini baik Rusia maupun Cina melihat bahwa penyatuan Korea adalah kepentingan mereka.“

Namun pendapat ini hanya dimiliki Kim Hyun-uk. Justru Cina tetap dikenal sebagai penghalang utama penyatuan Korea. Terutama karena hal itu akan dapat menyebabkan pasukan Amerika mendesak ke perbatasan Cina.

North Korean diplomats return to the Ronald H. Brown United States Mission to the United Nations after lunch on Thursday, July 28, 2011, in New York. North Korean Vice Foreign Minister Kim Kye Gwan, not pictured, arrived in New York on July 26, 2011, and is in the middle of diplomatic discussions with the United States. (Foto:Andrew Burton/AP/dapd)
Diplomat Korut di New York (Juli 2011) dalam rangka pembicaraan program atomFoto: dapd

Korea Utara tetap Kepentingan Cina

Bagi Cina, Korea Utara yang lemah menjadi kepentingannya juga, meskipun Beijing tidak begitu suka jika negara tetangganya itu terus menerus memicu kerusuhan dengan senjata atomnya. Walaupun jika Korea Utara secara ekonomi benar-benar tergantung pada Cina, Beijing selama ini tidak dapat menghentikan Pyongyang dari rencana senjata atomnya. Militer sebagai prioritas, demikian motto selama ini rezim di Pyongyang. Kim Tae-Woo pakar pada Pusat Kajian Penyatuan Korea di ibukota Korea Selatan Seoul mengatakan: „Pimpinan di Korea Utara terdiri dari pada jenderal, dan segelintir kelompok elit. Dan mereka ingin mempertahankan statusnya.“

Pada akhirnya rezim di Korea Utara selalu berhasil memanfaatkan senjata atomnya sebagai alat pengancam. Kadang Pyongyang mendapat janji pasokan bantuan dan kadang seperti sekarang penghormatan diplomatis. Sebagai efek sampingan kembali Amerika Serikat dan Cina sebagai dua adidaya militer terpenting berlaga.

Mathias Bölinger/Dyan Kostermans

Editor: Agus Setiawan