1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

070910 Palästinenser Hungerstreik Israel

8 September 2010

Selama 41 hari, Firas Maraghy duduk di depan gedung Kedutaan Besar Israel di Berlin tanpa makan sesuap pun. Ia memperjuangkan haknya, agar istri dan anaknya juga tercantum dalam dokumen Israelnya.

https://p.dw.com/p/P6hi
Firas Maraghy bersama putrinya, setelah mengakhiri aksi mogok makanFoto: DW

Firas Maraghy tidak kelihatan sehat. Selama enam minggu, pria Palestina dari Yerusalem Timur ini melakukan aksi protes di depan gedung Kedutaan Besar Israel di Berlin, Jerman. Jenggotnya yang ia biarkan tumbuh selama menjalani aksi mogok makan kini telah hilang. Wajahnya tampak kurus. Ia terlihat lelah. "Saya baik-baik saja. Saya di sini untuk menuntut hak saya. Dan kalau tengah memperjuangkan hak milik sendiri, maka perasaan saya juga positif."

Sabtu (04/09), Maraghy menghentikan aksi mogok makannya, setelah pemerintah Israel mengumumkan, bahwa ia bisa bertemu dengan seorang pejabat tinggi di Israel. Kemudian dikatakan, mereka akan mencari jalan keluar bersama dalam masalah Maraghy. Pria Palestina itu menuntut dari Kedutaaan Israel agar istrinya yang warga Jerman dan anak perempuan mereka bisa dicantumkan dalam kartu tanda pengenal Yerusalem Timurnya. Namun, pihak kedutaan menjelaskan, bahwa ini tidak mungkin karena Maraghy bukanlah warga Israel.

Bagian timur Yerusalem diduduki oleh Israel. Di sana tinggal sekitar 200 ribu warga Palestina. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kewarganegaraan Israel dan hanya mempunyai sebuah kartu tanda pengenal. Di sinilah masalah mulai bermunculan. Israel menuntut Maraghy untuk kembali ke Yerusalem untuk mendaftarkan keluarganya dalam kartu tersebut. Namun, saat ini ia dan keluarganya tengah tinggal di Berlin, di mana istrinya sedang melanjutkan kuliah untuk mendapat gelar doktor.

Kasus Maraghy mendapat perhatian dari para politisi Jerman. Ruprecht Polenz, pimpinan komisi urusan luar negeri Parlemen Jerman mengatakan, "Pada dasarnya, ini alasan kemanusiaan. Kalau seseorang begitu lama melakukan aksi mogok makan, tentu kita turut berpikir apa yang bisa dilakukan supaya tidak berakhir dengan tragis. Karena saya tahu, aksi semacam itu juga tidak bisa diperkirakan dampaknya."

Polenz akan mendampingi Maraghy dalam perjalanannya ke Israel. Apakah di sana akan tercapai sebuah kesepakatan masih belum jelas. Kedutaan Besar Israel sendiri menolak tuduhan Maraghy, bahwa warga Palestina di Yerusalem Timur didiskriminasikan. Mereka mengatakan pembicaraan telah dilakukan untuk mencari solusinya. Lagipula, warga Yerusalem Timur berhak untuk mengajukan permohonan memperoleh kewarganegaraan Israel. Baru setelah menjadi warga Israel, masalah Maraghy bisa ditangani oleh kedutaan negara itu. Namun kebanyakan penduduk Yerusalem Timur menolak untuk menjadi warga negara Israel. Karena menurut hukum internasional, Yerusalem Timur adalah wilayah milik Palestina.

Dengan hasil yang dicapai melalui aksi mogok makan, Maraghy dan istrinya, Wiebke Diehl, untuk saat ini merasa puas dan lega. "Ya, aksi ini menurut saya menimbulkan banyak kekhawatiran. Apalagi bagi saya. Tetapi tentu bagi politik Jerman dan Israel bukanlah hal yang positif jika seseorang duduk di sini dan melakukan aksi mogok makan di depan kedutaan Israel."

Melalui tekanan terhadap politik, keluarga Maraghy kini juga berharap akan berhasil di Israel. Jika urusan dengan dokumen berjalan dengan baik, maka hal pertama yang akan mereka lakukan adalah berlibur ke Yerusalem.

Benjamin Hammer/Vidi Legowo-Zipperer

Editor: Ziphora Robina