1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Gagal Sepakati Definisi Pemerkosaan

Lucia Schulten
8 Februari 2024

Sederet regulasi baru diputuskan demi melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Tapi UE batal menyepakati definisi pemerkosaan. Antara lain karena blokade diplomatik Jerman dan negara-negara timur Eropa.

https://p.dw.com/p/4c9tU
Bendera UE
Seorang perempuan dengan bendera UEFoto: Pond5 Images/IMAGO

"Untuk pertama kali, Uni Eropa mengirimkan pesan yang jelas, bahwa kami menganggap serius kekerasan terhadap perempuan, sebagai ancaman eksistensial terhadap keamanan kami" kata Frances Fitzgferald, pelapor khusus UE untuk isu perempuan. Klaimnya itu bertolak belakang dengan hasil perundingan antara Parlemen dan Dewan Eropa yang diumumkan Selasa (6/2) malam.

Pasalnya, ke27 negara Eropa batal menyepakati definisi bersama delik pemerkosaan. Kejahatan seksual ditafsirkan berbeda-beda di dalam undang-undang kriminal di masing-masing negara. Kedaulatan ini belum akan diusik untuk waktu lama setelah Dewan Eropa, yang mewakili pemerintahan negara anggota, menolak unifikasi istilah tersebut.

Fitzgerald menanggapi dengan kecewa kebuntuan diplomatik di Brussels dan mengatakan; "mendapat pandangan yang sangat buruk terhadap sikap sejumlah negara anggota terhadap pemerkosaan, karena tidak menyepakati basis konsensus definisinya.

Banyak yang sebelumnya berharap, kedua dewan tertinggi di Uni Eropa itu akan menetapkan definisi pemerkosaan, yang tidak semata ditandai oleh tindak kekerasan, tetapi juga oleh absennya kesediaan melakukan hubungan seksual.

Burnesha, Perawan Tersumpah di Albania

Prinsip kesediaan dalam delik pemerkosaan

Di sebanyak 11 negara UE, ancaman fisik atau tindak kekerasan masih menjadi syarat utama terjadinya pemerkosaan. Adapun di 14 negara lain berlaku prinsip "hanya iya berarti iya," merujuk pada kewajiban mutlak adanya ungkapan kesediaan untuk hubungan seksual agar tidak dianggap pemerkosaan. Adapun hukum Jerman dan Austria mewajibkan korban menyediakan bukti, sebelumnya telah menolak secara verbal hubungan seksual.

Pada tahun 2022, Komisi Eropa merilis rancangan amandemen Artikel 5 yang menetapkan prinsip "hanya iya yang artinya iya" untuk seluruh negara anggota. Namun, naskah tersebut digugurkan Dewan Eropa,

"Penasehat hukum dewan dan banyak negara anggota menyimpulkan, bahwa tidak ada landasan hukum yang kuat untuk menetapkan aturan ini di dalam hukum utama Eropa," kata Menteri Kehakiman Jerman, Marco Buschmann, dua pekan lalu di Brussels. Artinya, UE tidak memiliki wewenang yudisial untuk  memaksakan penyeragaman hukum.

Namun tidak semua negara anggota bersepakat. Menurut Frances Fitzgerald, sebanyak 13 dari 27 negara Eropa mendukung pemberlakuan prinsip kesediaan dalam delik pemerkosaan di seluruh Eropa.

Ragam delik kekerasan seksual

Penolakan dari sejumlah negara Eropa barat memicu hujan kritik dari pegiat perempuan di Eropa. Di Jerman, sebanyak 100 tokoh perempuan membuat surat terbuka menuntut Kementerian Kehakiman mengubah posisinya. Lembaga European Women's Lobby, misalnya, menyesalkan "keputusan mengecewakan dari Prancis dan Jerman untuk menghapus Artikel 5," menurut surat pernyataan di situs internetnya.

Regulasi yang baru sebabnya dipandang lebih berupaya melindungi perempuan dari tindak kekerasan, ketimbang pemerkosaan. Ia antara lain mencakup larangan sunat perempuan atau pernikahan paksa. Selain itu, UE juga melarang kekerasan siber, seperti penyebaran foto intim atau pengiriman gambar intim tanpa diminta alias cyberflashing.

Regulasi yang baru masih harus disahkan oleh Dewan dan Parlemen Eropa, untuk lalu diadopsi ke dalam hukum nasional masing-masing anggota selambatnya dalam waktu tiga tahun.

rzn/as

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!