1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ulama Perempuan untuk Keadilan Gender

8 Januari 2018

Mengapa istilah ulama perempuan hingga kini tetap saja belum memasyarakat dan tabu untuk digunakan? Berikut ulasan Kalis Mardiasih.

https://p.dw.com/p/2qELP
Frauen mit Kopftuch
Foto: Carsten Koall/Getty Images

Manusia pertama yang mengimani kerasulan Muhammad Saw adalah Khadijah RA. Jika proses keberimanan adalah suatu transaksi spiritual yang melibatkan intelektualitas, maka, Khadijah adalah perempuan yang berilmu tinggi.

Aisyah RA, adalah perempuan perawi hadits terbaik dan cendekiawan muslimah termashur. Setelahnya, pada masa sahabat, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Taqrib at Tahzib mencatat lebih dari 300 muhaddisat (periwayat hadits) maupun ahli ilmu keislaman lainnya.

Kalis Mardiasih adalah Penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.
Penulis: Kalis MardiasihFoto: Kalis Mardiasih

Akan tetapi, meskipun lintasan sejarah mengkonfirmasi nama-nama, istilah ulama perempuan hingga kini tetap saja belum memasyarakat dan tabu untuk digunakan. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, sejak dulu didominasi oleh tokoh laki-laki. Nama-nama seperti Prof. Huzaimah T Yanggo, Dr.Badriyah Fayumi, Lc, MA, dan Dr. Hj Faizah Sibromalisi adalah ulama yang menguasai turats klasik dan berkiprah untuk lingkungannya. Dalam Musabaqah Kitab Kuning, yakni ajang perlombaan membaca referensi Islam klasik yang diikuti oleh berbagai pesantren se-Indonesia, santri-santri perempuan sering menjadi juara. Artinya, perempuan memiliki kemampuan intelektual dan sosial yang setara dengan laki-laki.

Sayangnya, fakta semacam itu belum membuat perempuan memiliki otoritas berkeputusan dalam berbagai bidang. Masih ada sejumlah pesantren yang membedakan jenis kitab yang dikaji, di mana kitab dengan level lebih tinggi dianggap hanya layak dikaji laki-laki. Santri perempuan seringkali lebih terbatas aksesnya untuk kegiatan sosial dan peningkatan keterampilan.

Ruang fatwa pada dua ormas Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dengan Lajnah Bathsul Matsail (LBM) dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih juga didominasi laki-laki. Muslimat NU maupun Aisyiyah, ada dalam posisi subordinat organisasi induk yang belum memiliki ruang fatwa di dalamnya. Banyak rekomendasi lahir dari sayap organisasi perempuan itu, tapi pengarusutamaan gagasan seringkali masih terhambat.

Baca juga:

Cirebon Tandai Kebangkitan Feminis Muslimah di Indonesia

Tatkala Ulama Perempuan Indonesia Menafsir Teks

Pentingnya Perspektif Gender

Ada banyak problem sosial yang penting melibatkan perspektif keadilan gender.  Permasalahan yang cukup darurat di Indonesia, misalnya adalah pernikahan dini. Laki-laki yang menikah dini, tidak memiliki efek biologis yang kentara sehingga pada praktiknya mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan dan memiliki modal sosial untuk bekerja. Sedangkan perempuan yang menikah dini, rentan dengan gangguan kesehatan reproduksi karena organ tubuh yang belum matang dan kehamilan beresiko. Selanjutnya, kehamilan dini dan pengasuhan anak akan menghambat perempuan berpendidikan.

Demikian pula dengan wacana gugatan perluasan makna zina yang antara lain berhubungan dengan pasal 484 ayat (1) huruf e RUU KUHP yang berbunyi,”Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dipidana 5 tahun penjara.” Bicara hukum pidana atau kriminalisasi zina harus mewaspadai dampak bias gender. Laki-laki, dalam hal ini tidak memiliki jejak seksual di tubuhnya sehingga dapat lari dari delik aduan. Sedangkan perempuan, secara biologis memiliki jejak selaput dara dan kehamilan. Jika pelaku zina dieksekusi lewat jalur pidana, trauma pada perempuan akan lebih berat.

Lebih-lebih untuk perempuan korban perkosaan, ruang keadilan bagi mereka akan lebih sempit sebab tersangka akan berdalih dengan situasi suka sama suka dan perempuan akan semakin tersudut dengan berbagai cap patriarkis seperti berpakaian seksi,menggoda lebih dahulu sehingga lelaki tergoda, dan lain-lain.

Oleh karena pentingnya pertimbangan faktor biologis dan relasi kesetaraan gender dalam melihat isu-isu perempuan inilah ulama-ulama perempuan membidani terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2017.

Para penggagasnya sadar bahwa ada banyak teks-teks Islam yang bias gender. Salah satunya seperti hadits berikut: "Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya.” (HR. al-Hakim)

Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud ad-Dulujain. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan utama di beberapa pesantren di Indonesia. Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas sanad hadis tersebut dloif (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah, yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim. Hadis-hadis di atas dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah dari segi matan. Dr. Nur Rofiah dalam Bahasa Arab sebagai Akar Bias Gender dalam Wacana Islam (2006) mengutip Khalid M. Abu el Fadl yang menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan dengan kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan diskursus al-Qur'an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.

Baca juga:

Ulama Perempuan Larang Pernikahan Usia Bawah 18 Tahun

Ulama Saudi: Larangan Mengemudi Lindungi Masyarakat dari Setan

Perempuan Ulama dan Ulama Perempuan

KUPI 2017 memproduksi istilah perempuan ulama dan ulama perempuan. Perempuan ulama memuat referensi biologis sebagai semua perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang otoritatif dalam bidang-bidang tertentu. Sedangkan ulama perempuan adalah semua perempuan maupun laki-laki yang memiliki otoritas keilmuan serta mampu memandang persoalan dengan perspektif keadilan hakiki dalam relasi gender.

Husein Muhammad, misalnya, meneliti hadits-hadits palsu berstatus la ashla lahu (tidak jelas sumbernya) yang kerap digunakan untuk merepresi perempuan dan membenarkan tindak kekekerasan dalam rumah tangga. Faqihuddin Abdul Qadir, menulis buku Memilih Monogami: Pembacaan atas Al Qur'an dan Hadits Nabi. Ia juga meneliti teks hadits yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Bersama Abd. Moqsith Ghazali, Imam Nakhei, dan Marzuki Wahid, ulama-ulama perempuan ini juga serius menerbitkan berbagai publikasi Fiqh Anti-Trafficking, Fiqh HIV/AIDS, Fiqh Kesehatan Reproduksi, dan banyak diskursus penting lain.

Meskipun para ulama perempuan ini optimis pada masa depan basis sumber daya dan pusat dokumentasi kajian keperempuan berkeadilan hakiki, namun tentu saja perjalanan masih sangat panjang.

Di lapangan, Publikasi Ferris State University berjudul The Five Stages of Knowing menjelaskan lima tahap internalisasi pengetahuan pada perempuan. Silence adalah perempuan yang sepenuhnya bergantung pada pengaruh di luar dirinya dalam mengambil keputusan. Received knowledge adalah perempuan yang menerima pengetahuan tetapi tidak meyakini hal itu sebagai kebenaran karena berlawanan dengan pendapat umum mayoritas. Subjective knowledge adalah perempuan yang telah bisa bersikap dan memiliki pendapat tetapi hanya untuk diri sendiri. Procedural knowlege adalah perempuan yang tahu cara mengakses pengetahuan secara mandiri dan mengkomunikasikannya. Dan Constructed knowledge adalah perempuan yang memahami pengetahuan secara kontekstual, menjadikan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan berani membuat dampak secara sosial.

Mayoritas perempuan yang terpapar tradisi patriarkis dalam rentang waktu yang panjang masih berada pada tahap silence hingga subjective, misalnya ketika mereka menerima kekerasan, baik dalam bentuk psikologis, fisik maupun ekonomi. Kita masih memerlukan waktu yang panjang untuk membangun relasi berkeadilan dengan membangun kesadaran pada kedua belah pihak, yakni perempuan maupun laki-laki. Perempuan yang berani berkata tidak saja tidak akan cukup jika peradaban laki-laki masih melanggengkan kekerasan. Sebaliknya, laki-laki yang feminis saja tidak pernah cukup jika pihak perempuan tidak membangun benteng dan kapasitas untuk mengambil peran sebagai subjek untuk keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

Penulis: Kalis Mardiasih (ap/vlz)

Penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.