1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tunisia Desak Internasional Isolasi Suriah

5 Februari 2012

Tunisia yang menjadi tempat lahirnya gejolak musim semi Arab menyerukan kepada dunia internasional untuk menarik duta besar dari Suriah sebagai ganjaran kekerasan rezim di Damaskus.

https://p.dw.com/p/13xNk
PM Tunisia Hamadi Jebali
PM Tunisia Hamadi JebaliFoto: dapd

Negara-negara Arab dan Turki mengkritik habis Rusia dan Cina yang menjatuhkan veto atas resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa yang ditujukan untuk mengakhiri kekerasan berdarah di Suriah. Perdana Menteri Tunisia Hamadi Jebali menyatakan setidaknya pemutusan hubungan diplomatik dengan rezim Suriah, adalah hal yang kini dapat dilakukan.

UN Sicherheitsrat Sitzung zu Syrien
Duta besar Suriah untuk PBB Bashar JaafariFoto: Reuters

Moskow dan Beijing menggunakan hak veto mereka di Dewan Keamanan PBB pada hari Sabtu (04/02) kemarin, di tengah kemarahan masyarakat internasional atas serangan bom pasukan Presiden Suriah Bashar al Assad ke kota Homs, yang menewaskan ratusan orang.

Kecaman Negara-negara Arab

Sementara itu, dalam konferensi keamanan yang berlangsung di München, Jerman, menteri kerjasama internasional Qatar Khales al Attiyah mengatakan negara-negara Arab telah berusaha memahami kecemasan Rusia. Dikatakannya, mereka telah mengatakan bahwa tidak akan ada intervensi militer, pergeseran rezim. Sementara embargo ekonomi masih menjadi opsi bagi negara-negara Arab. Menurut Qatar, pada tatanan ini, negara-negara Arab telah berusaha untuk memuaskan ego Rusia dan Cina terkait resolusi ini. Ditambahkan al Attiyah,”Namun sayangnya, kemarin menjadi hari yang menyedihkan. Inilah yang kami cemaskan. Veto itu memberi sinyal buruk bagi Assad, seolah memberi izin bagi rezimnya dalam melakukan pembunuhan.“

Pernyataan itu didukung oleh Perdana Menteri Tunisia, Hamadi Jebali yang mengungkapkan, duta besar Suriah harus dipaksa pergi dari negara-negara Arab, maupun negara-negara lainnya. Ia mengritik penggunaan veto yang dilakukan Rusia dan Cina. Menurutnya hak tersebut telah disalahgunakan oleh kedua negara tersebut. Ditambahkannya tak diragukan lagi, bahwa masyarakat internasional harus mempertimbangkan lagi mekanisme pengambilan keputusan. Turki menyesalkan tindakan Rusia dan Cina, sementara Mesir merasa frustasi.

Kecaman juga dilontarkan peraih Nobel Perdamaian dari Yaman Tawakul Karman, yang mengatakan Rusia dan Cina harus menanggung beban moral dan tanggungjawab atas pembantaian di Suriah. Paling tidak dengan menarik duta besar mereka dan mengusir duta besar Suriah dari negara mereka.

Kekecewaan Organisasi HAM

Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch bersuara keras dengan menyebutkan bahwa pemerintahan di Beijing dan Moskow, tanpa perasaan, mempermainkan hidup matinya rakyat Suriah, sebagai bagian dari strategi politik mereka. Ketua HRW Kenneth Roth mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam,

“Kemarin kami amat kecewa oleh permainan politik Rusia dan Cina atas kehidupan warga Suriah. Naskah resolusi yang dibuat di New York berisikan poin: tidak adanya embargo senjata, tidak adanya sanksi, tidak ada perujukan ke mahkamah internasional, sebuah penolakan eksplisit atas aksi militer. Namun Vladimir Putin, yang di dalam negeri, pada hari yang sama menghadapi demonstrasi besar-besaran menentang kepemimpinannya, tidak mau bertoleransi atas gagasan masyarakat internasional yang menentang kepemimpinan otoriter. Ini memalukan!”

Rusia Persalahkan Balik Negara-negara Barat

Di lain pihak, Rusia malah balik mempersalahkan negara-negara barat atas kegagalan peluncuran resolusi tersebut. Rusia menuduh negara-negara barat gagal melakukan upaya tambahan bagi tercapainya konsensus. Demikian dikatakan wakil menteri luar negeri Rusia, Gennady Gatilov, lewat twitter, sesaat setelah Rusia dan Cina memveto resolusi itu.

Untuk kedua kalinya lewat hak veto, Rusia dan Cina pada hari Sabtu (04/02) kemarin kembali memblokade resolusi yang berisi kecaman terhadap pemerintahan Assad.

rtr/afp/dpa/dw/AP/ML