1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tunakarya - Ellen Görner

Ellen Görner berusia 54 tahun dan sudah 1,5 tahun ia menjadi penganggur. Kini ia tinggal bersama anak-anaknya di Dresden. Ia bersedia pergi ke pojok dunia yang terpencil sekalipun, jika di sana ada pekerjaan baginya.

https://p.dw.com/p/NKIC

Sekarang Ellen Görner sudah memasuki usia 54 tahun. Dan sudah 1,5 tahun ia menjadi penganggur. Kini ia tinggal bersama anak-anaknya di Dresden. Ia bersedia pergi ke pojok dunia yang terpencil sekalipun, jika di sana ada tawaran pekerjaan baginya.

Jangan pernah patah semangat, semangat juang tak boleh mengendur. Ini tampaknya sudah menjadi moto hidup Ellen Görner. Apartemen berkamar 3 yang ada di lantai 6 di sebuah rumah susun di pinggiran kota Dresden memang kelihatan sangat sempit, namun di sana semuanya serba teratur rapi.


Dari semua anak Ellen Görner yang seluruhnya berjumlah 5 orang, ada 3 anak yang tinggal bersamanya di apartemen, yakni 2 orang putra yang sudah menginjaki masa remaja serta Ulrike, putrinya yang berusia 25 tahun. Ulrike sendiri pun sudah punya anak. Putranya Mauro masuk sekolah tahun 2009. Artinya ada 3 generasi yang hidup bersama di apartemen sempit itu. Kedua anak lelaki itu sekarang sedang menjalani masa belajar keahlian khusus. Sementara sang putri ingin menjadi perawat. Jadi setiap orang punya acara hariannya masing-masing.

Musuh utama dalam hidup Ellen Görner adalah irama hidup yang monoton dan membosankan. Tidak melakukan sesuatu pun bukan pilihan yang baik. Karena itu ia mencari kesibukan dengan membersihkan lantai memakai vacuum cleaner, mencuci pakaian, menonton TV dan memeriksa mail yang masuk. Melalui internet, sampai saat ini dia belum mendapat tawaran pekerjaan yang diinginkan.

Mengurus Anak

Tepat pukul 12 siang terdengar bunyi lonceng dari gereja terdekat. Tiba waktunya untuk menjemput cucunya. Cepat-cepat ia menyulut sebatang rokok. Dan tak lama kemudian ia sudah masuk ke pekarangan sekolah.


Beng! Tiba-tiba sebuah jeruk jatuh persis di atas genangan air di dekatnya. Lalu menyusul jeruk kedua. Jaket Ellen Görner jadi kotor terkena jipratan air. Dari lantai dua sekolah tua itu terdengar gelak tawa anak-anak. Ellen benar-benar gusar. “Pada masa kami dulu hal seperti itu tidak mungkin terjadi!“ Namun tak ada waktu untuk marah. Kini Mauro sudah datang dan ia girang dijemput sang nenek.


Cucunya nomor 2, si kecil Linus, juga senang berada bersama sang nenek. Mungkin ada baiknya kalau wanita berusia 54 tahun itu membuka sebuah taman kanak-kanak? Ellen Görner mengibaskan tangan sebagai tanda menolak. Setelah membesarkan 5 orang anak, ia tak punya tenaga lagi.


DDR – Kuba – Jerman

Ellen Görner lahir dan dibesarkan di Zwickau di negara bagian Sachsen. Kota itu menjadi tempat pelarian orangtuanya setelah perang. Mereka adalah warga etnis Sudeten Germans, yaitu kelompok minoritas Jerman yang tinggal di negara Ceko sebelum Perang Dunia II. Tahun 1954 anggota etnis ini diusir keluar dari sana. Orangtua Ellen Görner lalu mengungsi ke Zwickau. Di sekolah, prestasi Ellen Görner tergolong baik. Waktu ujian tahap akhir ia bahkan berhasil memperoleh rangking 2 di kelasnya. Dan sebenarnya dia bisa meneruskan studi ke perguruan tinggi.

Namun untuk itu ia harus keluar dari Zwickau. Dia tak mau. Maka ia bekerja di sebuah pabrik kertas, lalu di sebuah toko roti besar. Ia suka mengenang kembali masa-masa di Jerman Timur DDR dulu. “Waktu itu semua orang punya kerja dan gajinya pun bagus. Pisang memang tidak bisa diperoleh setiap hari. Dan jeruk manis harus didatangkan dari Kuba. Di sana tumbuh jeruk khusus yang hanya diperah sari jeruknya. Namun keadaan kami waktu itu lumayan baik.“

Ngomong-ngomol soal Kuba, yang didatangkan dari Kuba bukan hanya sekedar jeruk manis melainkan juga pekerja bangunan. Ellen Görner sempat berkenalan dengan salah seorang pekerja dan jatuh cinta. Sebelum Tembok Berlin runtuh, ia dan pacarnya berangkat ke Kuba. Culture shock dialaminya ketika ia kembali lagi dari Kuba tahun 1996. Zwickau yang di zaman DDR masih dikenal sebagai kota industri, kini hancur. Semuanya mati. Semua perusahaan ditutup, termasuk toko roti besar tempat kerjanya dulu.

Namun Ellen pantang menyerah. Ia mengikuti kursus dan pelatihan untuk belajar ketrampilan yang baru. Ia juga belajar menggunakan komputer. Lalu ia bekerja di sejumlah tempat: mula-mula di sebuah panti untuk para tunarungu, lalu pindah ke Lanzarote, sebuah pulau di kepulauan Kanaria, Spanyol. Eropa bertambah luas. Ia pun menguasai Bahasa Spanyol. Dinas Tenaga Kerja menyewa tiket pesawatnya ke tempat kerja yang baru. Ia bekerja sebagai juru masak, lalu menjadi resepsionis di sebuah hotel mewah dan kemudian menjadi pengawas keamanan. Tetapi kemudian muncullah krisis ekonomi. Ia kehilangan kerja. Sekarang Ellen Görner hanya bisa duduk di depan laptop tuanya di kota Dresden dan mencari kerja di internet.

Tidak Putus Asa


Tiba waktunya untuk makan siang: ada kentang giling dan ikan. Separuh hari kini telah lewat. Syukurlah – bisik Ellen dalam hati. Lalu cepat-cepat ia ke kotak surat… Sayang, hari ini tak ada surat yang masuk. Ellen Görner sudah mendaftarkan diri pada sejumlah agen penyalur kerja dan juga telah dipanggil oleh sebuah kantor yang bergerak di bidang jasa keamanan. Di Dresden ini ada banyak museum. Ellen Görner mengidam-idamkan bisa bekerja sebagai penjaga museum.

Baru-baru ini Ellen membaca sebuah lowongan di surat kabar: sebuah hotel di Tirol mencari tenaga resepsionis. Ia langsung melamar. Ia ditanya berapa usianya. “Ya… saya tak lagi muda. Usia saya sudah 54 tahun,“ katanya jujur dengan logat daerah Sachsen yang kental. Kepadanya dijanjikan bahwa suatu waktu kelak ia akan dihubungi lagi. Namun setelah itu, ia tidak mendapat kabar apa-apa lagi.

Sudah berusia 54 tahun? Atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan: baru berusia 54 tahun! Karena Ellen Görner tak pernah menyerah. “Bagi saya tak ada yang lebih hina selain mengatakan: Saya hidup dari tunjangan sosial pemerintah, hidup dari Hartz 4. Untuk keluar dari sini, saya bersedia melakukan apa saja!“ Pada saat mengucapkan kalimat ini, matanya dipenuhi butir-butir air bening yang siap menetes jatuh.

Anastassia Boutsko/Samuel Limahekin

Editor: Yuniman Farid