1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tragedi Pabrik: Tanggung Jawab Siapa?

Shamil Shams/Günther Birkenstock 27 November 2012

Para aktivis hak asasi menyalahkan perusahaan nasional dan internasional atas kematian 110 pekerja di sebuah pabrik garmen di Bangladesh yang terbakar pada akhir pekan.

https://p.dw.com/p/16qbp
Foto: dapd

Setidaknya 110 orang tewas setelah api melalap gedung pabrik berlantai sembilan milik perusahaan garmen Tazreen, 30 kilometer di utara ibukota Dhaka pada Sabtu malam (24/11/12). Para pekerja pabrik, kebanyakan perempuan, terjebak di dalam gedung dan berusaha melompat dari lantai atas untuk menyelamatkan diri. Api penyebab kebakaran diduga timbul akibat korsleting listrik.

Tuba Group, pemilik pabrik Tazreen, dalam situsnya mengatakan bahwa pabrik-pabrik mereka membuat pakaian untuk ritel raksasa internasional termasuk Walmart, Carefour, IKEA dan C&A. Tuba Group mempekerjakan sekitar 7.000 orang dan menyatakan bahwa mereka mendapat akreditasi dari organisasi nirlaba berbasis di Amerika Serikat WRAP, yang mengeluarkan sertifikat standar keselamatan pekerja. Sementara WRAP sendiri menyanggah telah memberikan sertifikat pada pabrik Tazreen.

Pada hari Senin (26/11/12), ribuan pekerja tekstil Bangladesh menggelar protes massal mengecam kecelakaan dan menuntut untuk dihapuskannya kondisi kerja yang dianggap sebagai “perangkap kematian“. Menurut pejabat Bangladesh, aksi demonstrasi ini telah melumpuhkan aktivitas kerja di lebih dari 500 pabrik yang memproduksi pakaian bagi ritel internasional.

Bangladesch nach Brand in einer Textilfabrik in Dhaka Proteste
Demonstrasi pekerja pabrik tekstil BangladeshFoto: Reuters

Bangladesh merupakan negara pengekspor pakaian terbesar ke dua di dunia. Dan industri garmen negara ini mempekerjakan hampir 40 persen dari sektor industrinya. 80 persen pekerja garmen Bangladesh adalah perempuan, yang bekerja berjam-jam di pabrik dalam kondisi yang sangat buruk. Aktivis serikat pekerja Bangladesh mengatakan bahwa banyak dari pabrik tidak memenuhi standar dasar keselamatan.

Organisasi-organisasi hak asasi kerap mengkritik ritel dari Barat yang dianggap tidak memperhatikan pelanggaran standar keselamatan kerja internasional di negara penyuplai. “Ini merupakan bukti kuat lain dari kegagalan model yang disebut tanggung jawab sosial bersama di sektor swasta,“ dikatakan Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Asia kepada kantor berita AFP. “Untuk sekedar memenuhi persyaratan pembeli di luar negeri, yang menginginkan garmen murah, banyak pemilik pabrik mendapatkan apa yang disebut sertifikat pemenuhan keselamatan dengan cara membelinya.“

Meraup Keuntungan

Sultana Kamal, presiden Human Rights Forum di Dhaka, mengatakan bahwa insiden kebakaran pabrik masuk pada kategori “kriminal“ dan bahwa pemerintah Bangladesh harus membentuk komisi hukum untuk menyelidiki kasus ini. “Baik para pemilik pabrik maupun pemerintah bertanggung jawab atas insiden ini. Dan mereka tidak bisa hanya berkata bahwa ini adalah kecelakaan. Mereka yang menyebabkan insiden ini harus dihukum,“ dikatakan Kamal kepada DW.

Sebelumnya pada bulan September, setidaknya 289 orang tewas akibat insiden serupa di Karachi, Pakistan. Di tahun-tahun sebelumnya, kecelakaan kebakaran lainnya juga terjadi di negara-negara Asia Selatan, yang menurut para ahli disebabkan oleh kelalaian pemilik pabrik.

Fabrikbrände in Pakistan
Pabrik garmen di Karachi, Pakistan, yang terbakar pada bulan SeptemberFoto: Getty Images

Pabrik garmen di Karachi sebagian besar memproduksi pakaian untuk ritel pakaian Jerman KiK. Insiden kebakaran ini menyebabkan kegemparan besar di Jerman dan KiK harus membentuk dana darurat untuk membantu keluarga korban.

“Negara seperti Bangladesh dan Pakistan menghadapi persaingan ketat dari pasar lain yang menyediakan tenaga kerja murah untuk perusahaan-perusahaan internasional. Untuk memangkas biaya produksi, mereka melalaikan langkah-langkah keamanan. Ini hanya menguntungkan perusahaan ritel internasional,“ dikatakan Sartaj Khan, seorang aktivis serikat buruh di Karachi, kepada DW. “Namun yang terpenting adalah, pemerintah setempat lah yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa undang-undang perburuhan diterapkan dengan benar di pabrik-pabrik.“

Faruq Tariq dari Partai Pekerja Awami Pakistan mengatakan bahwa sebagian besar pemilik pabrik tidak mematuhi hukum perburuhan. “Menurut studi kami, di wilayah pemukiman di Lahore, terdapat lebih dari 300 pabrik. Tidak satu pabrik pun yang mematuhi hukum dan konvensi perburuhan,“ dikatakan Tariq. ”Mereka tidak mengizinkan dilakukannya inspeksi di pabrik. Menurut saya inspeksi seperti ini sangat perlu dilakukan untuk melindungi keselamatan dan hak-hak pekerja. Sayangnya, pemerintah melindungi pemilik pabrik.“

Tanggung Jawab

Tidak semua pihak mengecam ritel internasional. Stefan Wengler, dari Asosiasi Perdagangan Ritel Luar Negeri Jerman memuji upaya perusahaan ritel mendorong waralaba di negara-negara berkembang untuk memenuhi peraturan internasional mengenai keamanan dan upah. Kepada DW Stefan Wengler mengatakan,9 tahun lalu para perusahaan ritel Jerman telah meluncurkan Inisiatif Pemenuhan Sosial Bisnis BSCI, yakni satu platform bisnis untuk meningkatkan standar sosial di negara-negara produsen.

C&A-Logo in Düsseldorf
C&A salah satu perusahan ritel yang menyuplai produk dari AsiaFoto: picture-alliance / dpa/dpaweb

“Pada awalnya, di tahun pertama, dari 100 hanya 9 perusahaan saja yang lolos pengujian,“ dikatakan Wengler dan menambahkan bahwa sekarang hampir sepertiga perusahaan mampu memenuhi standar yang diterapkan. Stefan Wengler mengatakan, perusahaan yang tidak lulus, langsung melakukan tindakan cepat untuk memperbaiki kesalahan mereka. “BSCI memiliki standar ketat. Masalahnya adalah, jika mereka datang ke pemasok untuk melakukan pemeriksaan, semua mungkin baik-baik saja. Tetapi ketika mereka pergi, semuanya kembali seperti sediakala,“ dikatakan Stefan Wengler.

Namun Sabine Ferenschild dari Südwind, sebuah organisai yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi global, mengatakan kepada DW bahwa tanggung jawab utama untuk meningkatkan kondisi kerja dipikul perusahaan internasional. “Kebanyakan produk yang dijual di Jerman tidak lagi diproduksi di sini, tapi di negara-negara di mana hak pekerjanya hanya tercantum di atas kertas, tidak dalam kenyataan,“ dikatakan Sabine Ferenschild sambil menambahkan bahwa dalam hal ini perusahaan-perusahaan Jerman lah yang meraup keuntungan.

“Tidak ada perspektif jangka panjang,“ dikatakan Sabine Ferenschild, “Ini lah yang ditunjukan bencana sejauh ini. Sebelumnya telah terjadi kebakaran di pabrik-pabrik lain yang menewaskan beberapa pekerja.“

Menurut aktivis buruh Sartaj Khan, masalah ini harus dilihat dalam kaitannya dengan krisis keuangan global, “Perusahaan lokal dan internasional tidak mendapatkan keuntungan sebanyak yang mereka raih di masa lalu. Dan kita melihat peningkatan eksploitasi pekerja. Sekarang para pekerja harus bekerja selama berjam-jam dengan upah yang lebih sedikit.“ Khan mengatakan, insiden kebakaran pabrik akan masih dapat terjadi jika para pekerja tidak bersatu melawan pemilik pabrik dan mendesak pemerintah untuk menjamin upah yang lebih layak dan keselamatan kerja yang lebih baik.