1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tokoh Agama Indonesia Gelar Dialog di Eropa

7 Juni 2011

Tiga tokoh Islam, Kristen dan Hindu Indonesia melawat di berbagai kota di Belgia, Luksemburg, dan Austria. Lawatan ini merupakan prakarsa Kementerian luar negeri Indonesia.

https://p.dw.com/p/11VmR
Gambar simbol ketakutan terhadap Islam di JermanFoto: picture-alliance/dpa

Selain Azyumardi Azra, turut serta rektor Universitas Hindu Indonesia,Denpasar, I Bagus Yudha Triguna, dan cendikiawan dari Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur Makasar, Pendeta Lydia K. Tandirerung.

Di satu sisi, lawatan ini bertujuan untuk mempromosikan karakter Islam Indonesia yang moderat, toleran, dan demokratis. Ini diharapkan bisa menjadi sumbangan Indonesia dalam dialog global antar agama antar iman. Karena selama ini gambaran Islam yang di tingkat global didominasi Islam Timur Tengah dan Asia Selatan yang cenderung kaku dan tidak toleran. Di sisi lain tur ini juga dimaksudkan untuk mendiskusikan berbagai kasus di Indonesia belakangan, yang menunjukkan bangkitnya kaum garis keras.

Selama dua pekan, awal Juni ini, tiga tokoh Islam, Kristen dan Hindu Indonesia melawat di berbagai kota di Belgia, Luksemburg, dan Austria. Mereka berdiskusi dengan sejumlah kalangan, termasuk para politikus, tokoh agama, serta pers Eropa, mengenai hubungan antar umat beragama di Indonesia.

Dalam sejumlah pertemuan itu, tak sedikit yang tercengang. Khususnya Azyumardi Azra mendapat beragam reaksi, baik dari kalangan Muslim Eropa maupun dari kalangan Kristen. Ia menyatakan dalam berbagai kesempatan, bahwa citra negatif Islam dan kaum Muslimin di Eropa, bahkan munculnya pandangan anti Islam, sebagian disebabkan oleh sikap tertutup dan eksklusif kalangan Islam sendiri.

"Ya, bagaimana mengharapkan orang Eropa menghargai kaum Muslimin, jika kaum Muslimin di Eropa tidak menunjukkan kemampuan mengakomodasi dan akulturasi dengan budaya setempat," papar Azyumardi Azra.

Mengagetkan dan langka karena pandangan tanpa tedeng aling-aling ini datang dari seorang tokoh Islam sendiri, yang pernah menjabat rektor Universitas Islam Nasional Jakarta.

Di Indonesia, umat Islam, Kristen, Hindu, Budha, juga Kong Hu Tsu dan agama-agama asli, terlibat sejak awal dalam perjuangan mendirikan negara Indonesia. Juga membangun kebudayaaan bersama, dengan segala keberagamannya. Jadi umat yang berbeda-beda itu merupakan pribumi, rakyat asli Indonesia. Lain halnya di Eropa. Di sebagian besar negeri Eropa, umat Islam merupakan pendatang dari negeri dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Azyumardi Azra menambahkan, untuk bisa menjadi bagian sepenuhnya dari Eropa, umat Islam harus berbagi dan terlibat aktif dalam kehidupan kemasyarakatan yang wajar, "Menurut saya, kaum imigran itu mesti mengembangkan sikap sensitif. Jadi kaum migran Muslim, harus memberi aspirasi terhadap nilai lokal. Jangan menonjolkan sikap yang justru membangkitkan mekanisme pertahanan diri dari masyarakat setempat. Seperti mengenakan burga, atau niqab, baju yang menutupi sekujur tubuh. Ini pada gilirannya bisa membangkitkan sikap anti Islam."

Pendeta Lydia K Tanderung, yang juga mengajar Kristologi di Universitas Islam Makassar, menitikberatkan pada pengamatannya bahwa di Indonesia selama ini sesungguhnya toleransi dan keberagaman merupakan sesuatu yang melekat. Ia memprihatinkan munculnya radikalisme dan fundamentalisme belakangan ini, yang merusak tatanan keberagaman tradisional Indonesia. Ia mengakui, radikalisme juga muncul dalam berbagai agama lain, termasuk Kristen.

"Fundamentalisme dalam arti, sikap literer dalam memahami kitab suci. Ketika yang di blow-up selalu berkisar pada memenangkan jiwa bagi Kristus. Maka hubungan antar iman tidak lagi tulus…." dikatakan Lydia Tanderung.

Banyak yang mencemaskan bahwa sebagian orang ingin mengubah watak Islam di Indonesia menajdi seperti Arab. Tetapi Azyumardi Azra punya pandangan lain. "Kalau soal Arabisasi itu sudah dari dulu. Tapi tak pernah berhasil. Kaum Salafi atau Wahabi, yang menganggap Islam Indonesia tidak murni. Tapi buat orang Islam Indonesia, Wahabiyah itu terlalu sederhana, terlalu primitif."

Terlepas dari berbagai konflik keagamaan belakangan ini, ditegaskan Azyumardi, Islam Indonesia seharusnya tetap merupakan model bagi dunia Islam yang selama ini didominasi Arab.

Dalam lawatan Eropa ini para pemuka agama Indonesia menunjukkan, sebetulnya Islam kompatibel dengan demokrasi. Bahwa sebagaimana dibuktikan di Indonesia, di masyarakat Islam kedudukan perempuan bisa sederajat, dan masyarakat madani bisa tumbuh dengan baik. Ini nilai-nilai yang lebih relevan lagi, terkait bangkitnya gerakan demokrasi di negeri-negeri Arab: negeri-negeri Muslim yang puluhan atauu ratusan tahun hidup dalam cengkeraman penguasa yang absolut.

Ging Ginanjar

Editor: Renata Permadi