1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teror dan Penyakit Psikis di Pakistan

Tanvir Shahzad17 Oktober 2012

Warga Pakistan yang sakit akibat ketakutan atau depresi beberapa tahun terakhir meningkat tajam. Para pakar menilainya sebagai dampak langsung kondisi tidak aman di negara itu.

https://p.dw.com/p/16RET
Fotolia '#34688107 Trauer, Angst, Depression, Kummer
DepressionFoto: Fotolia

Pakar kesehatan Pakistan memperkirakan, bahwa hampir 50 persen penduduk di negara itu menderita penyakit psikis. Depresi, ketakutan akan masa depan dan stress adalah dampak langsung dari situasi tidak aman di Pakistan. Oleh sebab itu, masyarakat Pakistan secara keseluruhan, dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak toleran dan makin sering melakukan tindak kekerasan. Demikian dijelaskan Imran Murtaza, seorang pakar kesehatan pada rumah sakit Fountain House di Lahore.

Pakistani police officers in action after a suicide bombing in Peshawar, Pakistan on Friday, Nov. 13, 2009. A suicide car bomb devastated Pakistan's main spy agency building in the northwest Friday, killing at least 7 people and striking at the heart of the institution overseeing much of the country's anti-terror campaign. (AP Photo/Mohammad Sajjad)
Polisi Pakistan yang ditugaskan setelah serangan bom mobil di Peshawar (13/11/2009)Foto: AP

Ia menambahkan, "Banyak orang takut akan masa depan. Kerusuhan berkepanjangan, tindakan sewenang-wenang di jalan-jalan dan banyaknya serangan bunuh diri membuat sulit kehidupan warga Pakistan. Kenaikan harga serta tingginya tingkat pengangguran, membuat situasi semakin buruk secara keseluruhan."

Perekonomian negara itu tergantung pada kucuran dana IMF dan Bank Dunia. Inflasi dan pengangguran mencapai rekor tertinggi. Terutama banyak warga muda Pakistan melakukan persiapan untuk meninggalkan negara itu, guna mencari keberuntungan di luar negeri.

Krisis Terburuk dalam Sejarah Pakistan

Menurut para komentator politik, Pakistan sedang mengalami krisis eksistensi terburuk dalam 65 tahun sejarahnya. Karena dalam waktu bersamaan negara itu terguncang akibat pemberontakan Taliban di provinsi Khyper Pakthunkhwa dan gerakan separatis di Balukhistan.

Pakistani women weep over the death of their relative, a victim of suicide bombing, at a local hospital in Islamabad, Pakistan on Saturday, Sept. 20, 2008. A huge suicide truck bomb devastated the heavily guarded Marriott Hotel in Pakistan's capital Saturday, killing at least 40 people and engulfing the building in flames in a country vital to the U.S.-led war on terror. (AP Photo/Anjum Naveed)
Sejumlah perempuan Pakistan yang kehilangan sanak keluarga akibat serangan teror.Foto: AP

Naeem Siddik dari rumah sakit Aga Khan di Lahore terutama memandang peningkatan aktivitas teroris di Pakistan mengakibatkan meningkatnya penyakit psikis. "Di satu sisi, orang-orang jadi lebih banyak melakukan tindak kekerasan dan makin tidak merasa aman," dituturkan dokter Siddik dalam pembicaraan dengan DW. "Di sisi lain orang menjadi makin tidak peduli. Jika sebuah bom meledak di kotanya, mereka sudah sama sekali tidak bertanya bagaimana itu terjadi atau berapa korban yang jatuh, melainkan jalan mana yang sekarang kembali diblokir."

Siddik menambahkan lebih lanjut, masalah psikis dan situasi ketakutan yang serius terutama dialami kaum perempuan di Pakistan. "Di kawasan dunia barat, menikah berarti tercapainya kondisi stabil, di Pakistan justru kebalikannya. Mayoritas pasien yang menderita sakit psikis adalah perempuan yang menikah. Mereka tidak bahagia dalam pernikahannya, diperlakukan buruk oleh suami dan anggota keluarganya." Sistem keluarga yang sebetulnya dapat menawarkan stabilitas dan keamanan, semakin sering runtuh akibat makin buruknya situasi ekonomi dan masyarakat, juga akibat munculnya "iklim ketakutan." Demikian Siddik.

Kritik terhadap Pemerintah

Siddik juga mengritik pemerintah, karena mereka kurang memberikan perhatian terhadap penyakit-penyakit psikis di kalangan penduduk. "Bagi 170 juta warga Pakistan hanya ada 450 ahli terapi." Selain itu orang sering tidak menanggapi penyakit kejiwaan secara serius. Mereka lebih memilih pergi ke penasehat agama atau praktek pengobatan supernatural, ketimbang meminta nasehat pada pakar psikoterapi.