1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Obama Netanjahu

8 Juli 2010

Dalam jumpa pers setelah pertemuan, Obama dan Netanyahu tampil penuh keakraban. Obama berharap perundingan langsung Israel-Palestina dapat digelar dalam waktu dekat.

https://p.dw.com/p/ODtP
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) ketika diterima Obama di Gedung PutihFoto: AP

Jadwal pertemuan di Gedung Putih terutama memiliki satu tujuan: untuk memberikan kesan bahwa hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Israel kembali normal. Jika kita melihat di permukaan, hal ini sudah sukses. Baik presiden AS maupun tamunya dari Israel, terutama menunjukan kebersamaannya. Obama menyebutkan diskusi yang amat bagus, dan menegaskan bahwa hubungan erat antara AS dan Israel tidak dapat diputuskan. Benjamin Netanjahu juga dengan tegas menyatakan berterima kasih, dan mengundang Obama untuk berkunjung ke Israel. Keduanya membicarakan tema yang paling banyak dibahas warga Israel, yakni ancaman program atom Iran.

Akan tetapi, jika dicermati lebih mendalam, yang amat menarik bukan hanya bahasa tubuh Netanyahu yang sangat kaku. Juga kenyataan, bahwa konferensi pers yang relatif singkat tidak dipancarkan secara langsung, melainkan siaran tunda. Hal ini tidak selaras dengan prosedur rutin menyangkut kunjungan resmi seorang kepala pemerintahan sebuah negara sahabat. Selain itu hanya segelintir wartawan yang diizinkan hadir. Juga dalam website Gedung Putih, tidak ada pernyataan presiden dalam bentuk livestream menyangkut kunjungan perdana menteri Israel ini. Jadi semuanya memang tidak lazim.

Tema pembicaraan juga tidak ada yang baru. Israel dan Palestina masih tetap melakukan perundingan tidak langsung, lewat juru penengah AS George Mitchell. Presiden otonomi Palestina, Mahmud Abbas, tetap menolak perundingan langsung, selama Israel terus melanjutkan pembangunan pemukiman Yahudi. Sebab pengumuman penghentian pembangunan yang disampaikan Netanyahu bulan September 2009 lalu, setelah mendapat tekanan dari AS, tidak berlaku untuk wilayah timur Yerusalem dan pembangunan yang sudah berjalan di Tepi Barat Yordan.

Jika sekarang Obama menyatakan, bahwa ia menghendaki, sebelum berakhirnya moratorium pembangunan yang berlaku 10 bulan, sudah dapat dilakukan perundingan langsung diantara kedua belah pihak yang bertikai, itu hanyalah salah satu bagian dari strategi politik Timur Tengahnya. Sebab dimulainya dengan segera perundingan semacam itu, oleh pihak Israel akan diartikan sebagai tekanan, untuk secara resmi memperpanjang penghentian pembangunan pemukiman Yahudi.

Tapi apakah mereka akan terus melangkah di jalan yang mengarah pada perundingan langsung? Mengenai hal itu, semua bungkam. Padahal hasil itulah yang diharapkan para penasehat Obama menjelang digelarnya pertemuan.

Bulan September mendatang, bukan hanya moratorium penghentian pembangunan yang akan berakhir. Melainkan juga mandat dari Liga Arab kepada Mahmud Abbas untuk melakukan perundingan tidak langsung. Semua pihak berada dalam tekanan waktu. Dan dalam waktu dekat akan ditunjukkan, apakah Obama dan timnya memang tidak memiliki strategi Timur Tengah, seperti yang berulangkali dituduhkan kepadanya. Atau apakah ia akan berhasil membangun hubungan kerja yang konstruktif dengan Benjamin Netanyahu, seperti yang diungkapkan dengan optimistis oleh fraksi para pakar. Kemungkinan realitasnya berada diantara kedua hal tersebut.

Yang sudah pasti, keduanya saling membutuhkan. Bagi Obama masalahnya menyangkut politik dalam negerinya. Sebab bulan November mendatang, akan digelar pemilu Kongres. Sudah sejak sekarang, Partai Republik menabuh genderang perang dengan menuduh Obama, di bawah pemerintahannya hubungan dengan Israel semakin memburuk. Kini masa kebekuan diplomatik sudah berakhir. Obama dan Netanyahu mengambil haluan saling merangkul. Apakah hal itu, akan terus membuka jalan bagi perdamaian di Timur Tengah, sang waktulah yang akan menunjukkannya.

Christina Bergmann
Christina Bergmann

Christina Bergmann/Agus Setiawan

Editor: Yuniman Farid