1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Peluang Awal Baru di Libya

23 Agustus 2011

Rejim Muammar Gaddafi di Libya sudah hadapi keruntuhan. Menurut laporan media, pemberontak telah berhasil kuasai sebagian besar ibukota Tripoli. Itu adalah kabar bagus. Demikian pendapat Rainer Sollich dalam komentarnya.

https://p.dw.com/p/12Maf
ARCHIV - Der Vorsitzende des nationalen Übergangsrates, Mustafa Abdul Dschalil, spricht am 16 August 2011 in der libyschen Rebellenhochburg Bengasi. Ist Libyens Diktator Gaddafi auf der Flucht, oder sitzt der 69-Jährige in Tripolis in der Falle? Obwohl die Rebellen am Montag (22.08.2011) weite Teile der libyschen Hauptstadt eingenommen haben, bleibt der Aufenthaltsort Gaddafis ein Rätsel. «Wir hoffen, Gaddafi lebend gefangenzunehmen», sagte der Vorsitzende des nationalen Übergangsrates, Mustafa Abdul Dschalil, am Montag in Bengasi. Die Welt solle Zeuge eines Prozesses gegen den Diktator werden. EPA/STR +++(c) dpa - Bildfunk+++
Pemimpin dewan sementara Mustafa Abdul JalilFoto: picture alliance / dpa

Tanda-tanda berakhirnya rejim Muammar Gaddafi, walaupun masih ada sedikit ketidak pastian, jelas menjadi alasan untuk bergembira. Karena dengan demikian berakhir sudah 42 tahun kekuasaan semena-mena yang paling brutal di dunia. Rakyat Libya punya hak untuk memperoleh kebebasan dan menentukan diri sendiri. Mereka punya hak atas kehidupan yang memenuhi harkat manusia tanpa penyiksaan, intimidasi dan pengekangan. Dan mereka sudah memperjuangkannya dengan keberanian dan kesediaan besar untuk berkorban.

Tanpa dukungan negara-negara Barat, kesuksesan militer pemberontak tidak akan tercapai. Serangan udara NATO telah membuka jalan bagi mereka. Itu tidak mengurangi kesuksesan militer para pemberontak, yang jika tidak dibantu, pasti sudah kalah. Tetapi itu berarti kewajiban juga besar. Pembangunan demokrasi dan masyarakat sipil di Libya kemungkinan akan lebih sulit daripada di Tunisia atau Mesir, karena di bawah Gaddafi sama sekali tidak ada partai atau institusi modern milik negara yang berfungsi. Negara itu harus mulai dari nol. Jadi, adalah saran baik, bila terutama Eropa, menawarkan bantuan dalam hal ini. Di masa lalu Eropa sudah terlalu lama melayani tiran dari Tripoli, atas dasar pertimbangan politik yang real. Dengan demikian, Eropa tidak memperhatikan lagi nasib rakyat Libya.

Tetapi tanggung jawab terbesar harus dipikul rakyat Libya sendiri. Perjuangan mereka telah menunjukkan, seorang tiran dapat dikalahkan. Kalau perlu, memakai senjata. Itu akan memberikan dorongan bagi para penentang rejim di Suriah, Yaman dan negara-negara lain. Mereka juga memperjuangkan hak-hak yang sama, dan layak pula mendapatkan dukungan sebaik mungkin dari Eropa. Warga Libya kini harus membuktikan, bahwa mereka dapat membentuk masa depan bersama-sama.

Risiko-risikonya tidak dapat diabaikan, terutama karena potensi konflik di masyarakat juga tinggi. Tindakan balas dendam yang sembarangan terhadap pendukung rejim Gaddafi tidak boleh sampai terjadi. Itu akan menjadi racun bagi awal politik yang baru. Oposisi yang terpecah-belah dalam berbagai kelompok harus mengorganisir diri ke dalam bentuk partai. Suku-suku harus disatukan dan kepentingan mereka harus diperhatikan secara adil. Konstitusi baru juga diperlukan, dan pemilu yang bebas dan rahasia harus dipersiapkan dengan baik.

Itu semua memakan waktu, dan, seperti sudah tampak di Mesir, dapat berkembang ke arah yang tidak disenangi Eropa, misalnya menguatnya kelompok-kelompok Islamis. Tetapi situasi ideal juga dapat tercapai. Libya bisa menjadi contoh bagi kerja sama Eropa-Arab di daerah Laut Tengah, jika Eropa berhasil mendukung proses demokratisasi Libya dengan berhasil, tanpa ikut campur politik secara ofensif.

Deutsche Welle Rainer Sollich. Programm Afrika/Nahost, Arabische Redaktion. Foto DW/Per Henriksen 12.11.2010 #1_0934.jpg
Foto: DW

Jerman secara sadar tidak ikut dalam aksi militer terhadap Gaddafi. Tetapi diharapkan, Jerman di masa depan akan ambil bagian secara aktif dalam kerjasama politik.

Rainer Sollich

Editor: Marjory Linardy