1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Keadilan Tanpa Perdamaian di Darfur?

Ute Schaeffer6 Maret 2009

Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag untuk pertama kalinya dalam sejarah perhukuman, mengeluarkan perintah penangkapan seorang presiden yang sedang memangku jabatannya, yaitu Presiden Sudan Omar Al-Bashir.

https://p.dw.com/p/H6z4

Namun, keputusan MPI ini tidak akan dapat menggantikan kebijakan politik yang konsekuen dalam menghadapi pemerintah di Khartoum. Demikian menurut jurnalis DW Ute Schaeffer dalam komentarnya berikut ini:

Ribuan demonstran hari Rabu (4/3) turun ke jalan di ibukota Sudan, Khartoum untuk memprotes perintah penangkapan presidennya Omar Al-Bashir. Pada poster yang dikeluarkan kantor kepresidenan terpampang kalimat: "Seorang Sudan sejati tidak akan pernah menentang presidennya jika presiden memerlukannya." Semua ini terlihat seakan para demonstran hendak melancarkan propaganda presidennya. Sekitar 30 negara, kebanyakan dari Afrika, telah mengancam untuk tidak akan lagi mengakui Mahkamah Pidana Internasional. Melalui kasus Al-Bashir, masyarakat internasional kini berhadapan dengan sebuah konflik yang mengancam kesatuan.

Daftar negara yang tidak sepenuhnya mendukung Mahkamah Pidana Internasional akan bertambah panjang. Amerika Serikat, Rusia, India, Pakistan, China, Israel dan Iran termasuk dalam daftar itu. Warga Sudan juga akan merasakan dampak keputusan mahkamah. Situasi kemanusiaan yang sudah buruk, akan menjadi lebih parah. Sudan telah mengusir sejumlah organisasi bantuan. Upaya perdamaian akan bertambah sulit untuk dicapai. Untuk memprotes perintah penangkapan Bashir, sebuah kelompok pemberontak di Darfur membatalkan keterlibatannya pada perundingan perdamaian. Sudan akan menjadi tempat persembunyian bagi teroris islam radikal dan akan lebih terisolasi. Karena itu patutlah bila muncul pertanyaan: Apakah keadilan akan tercapai sebelum perdamaian diciptakan?

Tidak, kata sejumlah pihak, misalnya Uni Afrika dan negara-negara yang merasa mengetahui permasalahan. Lihatlah kasus Rwanda, bekas negara Yugoslavia atau Afrika Selatan. Dalam kasus-kasus tersebut, yang bertanggung jawab baru dapat dituntut setelah kesepakatan perdamaian tercapai, setelah perang dan genosida berakhir.

Sudah jelas bahwa Al-Bahir bertanggung jawab atas genosida, kejahatan melawan kemanusiaan dan kejahatan perang, seperti yang dituduh oleh MPI. Dia harus diadili. Tapi, kenapa sekarang? Apakah perintah penangkapan sarana yang tepat untuk mengakhiri perang dan kekerasan di Sudan? Ini diragukan. Ada banyak sarana lain. Misalnya, sanksi PBB, tekanan politis dan ekonomi dari mitra dagang terpenting, terutama China. Kenapa negara barat masih memasok senjata ke Sudan jika ingin perdamaian di negara itu?

Tak seorang pun ingin ketiadaan hukum, negara-negara Arab pun tidak, juga Uni Afrika yang mengkritik perintah penangkapan Bashir. Juga patut diperhatikan bahwa di negara yang sarat konflik seperti Sudan, hukuman tidak dapat dilaksanakan. Di negara itu, berbagai konflik regional meruncing secara bersamaan, lembaga politik sangat lemah, partisipasi warga kurang dan Sudan menghadapi pemilu. Apalagi kalau melihat kenyataan, MPI memang dapat mengeluarkan perintah penangkapan, namun tidak dapat melaksanakannya dan hanya bergantung dengan kerja sama negara-negara terkait.

MPI bertindak lebih konsekuen dibandingkan dengan masyarakat internasional yang mengingat kepentingannya sendiri, tidak dapat menyepakati langkah yang tegas terhadap Sudan. Perintah penangkapan menunjukkan bahwa seorang pemimpin pemerintah yang sedang memangku jabatan, bertanggung jawab agar hukum internasional ditaati semua orang. Ini merupakan sinyal politik yang penting.

Namun keputusan mahkamah di Den Haag tidak akan membawa keadilan dan perdamaian di Sudan. Untuk menunjukkan batas kepada Khartoum, sesungguhnya ada banyak jalan lain yang dapat dilakukan bersama dan secara tegas . Untuk saat ini, keputusan tim penuntut MPI pasti bukan merupakan sarana tepat untuk mencapai penyelesaian politik. (cs)