1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Bekasi Cermin Intoleransi

Rizki Nugraha15 Februari 2013

Bekasi menjadi kawasan yang paling getol memberangus kebebasan beribadah warga minoritas. Pemerintah kota bahkan berani melanggar Undang-undang Dasar cuma sekedar untuk memuaskan segelintir masyarakat yang intoleran

https://p.dw.com/p/17eve
Foto: Fotolia/Sebastian Krüger

Bekasi adalah miniatur padat situasi kerukunan beragama di Indonesia saat ini. Penyegelan ilegal terhadap gereja dan pemberangusan hak minoritas untuk menjalankan ibadah adalah indikasi serius, betapa pemerintah takluk terhadap suara-suara fundamental di masyarakat.

Larangan menyelenggarakan ibadah terhadap jemaah Ahmadiyah di Jatibening misalnya menunjukkan, hukum tidak pernah menjadi landasan utama keputusan pemerintah. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang dijadikan landasan pemerintah kota, tidak melarang kegiatan beragama secara per se, melainkan larangan terhadap penyebaran faham dan ajaran. Namun pemerintah Bekasi secara sepihak menafsirkan larangan tersebut terhadap semua bentuk kegiatan jemaah Ahmadiyah.

Bahwa larangan itu juga berarti melanggar kebebasan berkumpul dan beribadah sesuai yang tertera dalam Undang-undang Dasar, seakan tidak menjadi masalah buat pemerintah kota.

Bekasi sekali lagi adalah contoh terbaik, bagaimana ketidakmampuan pemerintah untuk memahami azas-azas negara hukum dan prinsip netralitas yang diembannya, bisa berujung pada ketidakadilan bagi sekelompok orang. 

Contoh lainnya adalah sikap pemerintah kota yang mengabaikan perintah pengadilan dan tetap menyegel gereja HKBP Filadelfia. Kasus ini bahkan lebih menyedihkan, karena pemerintah dan kepolisian terlihat lebih gigih melarang jemaah gereja menjalankan ibadah, ketimbang menindak masyarakat setempat yang melakukan ancaman pembunuhan di muka umum, lemparan telur busuk dan air comberan atau gangguan-gangguan lainnya.

Ketika hukum berlaku sebatas memenuhi kepentingan sekelompok masyarakat, ketika pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk mengingkari eksistensi kelompok minoritas, maka Indonesia boleh meratapi kebebasan semu yang selama ini kita agungkan.