1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bukan Sekadar Tahun Politik

31 Mei 2018

Tahun 2018 secara aklamasi memperoleh predikat sebagai tahun politik. Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2y0AZ
Indonesien Wahlen Jakarta
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan

Dukungan media yang masif, telah menggiring opini publik untuk menyetujui sebutan tersebut, praktis tanpa wacana tandingan. Predikat yang langsung disetujui publik, merupakan penanda, bahwa sebagian masyarakat kita sudah begitu terperosok dalam jebakan kekuasaan. Hingga seolah tidak ada isu lain yang lebih penting ketimbang politik dan kekuasaan.

Dalam bahasa pergaulan remaja metropolitan, kekuasaan ibarat "jebakan betmen” (dari nama superhero Batman), yang bila sudah masuk, akan sulit untuk membebaskan diri. Itu terjadi karena berdasar asumsi yang kurang tepat, bahwa kekuasaan digunakan sebagai kendaraan menggapai kesejahteraan, bukan melalui kerja keras.

Penulis;: Aris Santoso
Penulis;: Aris Santoso Foto: privat

Dibutuhkan kreativitas tingkat tinggi bagi komunitas-komunitas yang kurang tertarik pada politik, khususnya terkait pilkada serentak dan Pemilu 2019. Tahun ini (dan tahun depan) akan menjadi tahun yang membosankan, karena publik setengah dipaksa untuk ikut memikirkan politik kontemporer. 

Tahun olahraga

Setidaknya ada dua event yang akan membebaskan kita dari belenggu pilkada, setidaknya untuk sementara: Asian Games dan Piala Dunia. Perjuangan para atlet pada perhelatan seperti itu, tak kalah penting ketimbang para politisi yang sibuk memburu kekuasaan dengan mengklaim diri sebagai pembawa aspirasi rakyat. Dengan kata lain, menyebut tahun 2018 sebagai tahun politik seolah menafikan peran para atlet, yang berjuang menjaga martabat bangsa.

Adalah anomali mengharapkan atlet generasi zaman now berprestasi hanya bermodalkan semangat nasionalisme, di tengah fasilitas olahraga dan bonus yang minim. Ketimbang dana politik dan korupsi terbuang sia-sia, alangkah baiknya sebagian dialokasikan bagi kesejahteraan para atlet

Perhelatan kedua adalah Piala Dunia Rusia 2018. Kegiatan akbar sepakbola sejagad tersebut menjadi semacam oase di tengah kebisingan isu pilkada. Menyaksikan para bintang sepakbola berlaga, menimbulkan imajinasi segar, kita bak menyaksikan dewa-dewa turun dari langit. Setelah lelah melihat manuver dan perilaku politisi di media elektronik.

Meski peluang tim Indonesia semakin kecil untuk tampil di putaran final PD (Piala Dunia), tapi kita tetap bisa menikmati keriaan yang dipancarkannya. Itu sebabnya PD bukan sekali ini saja menyelamatkan situasi negeri yang sedang panas, melalui daya sihirnya.

Seperti dua dekade lalu, di hari-hari awal masa reformasi,Piala Dunia Perancis 1998 telah meredakan sejenak turbulensi politik di Tanah Air. Piala Dunia Perancis 1998 memberi kita waktu untuk jeda sejenak, di tengah kebisingin pasca-lengsernya Soeharto.

Tahun ideologi kebangsaan

Tahun ini layak pula disebut sebagai tahun idelogi kebangsaan, berdasar perkembangan adanya penguatan kelembagaan terkait implementasi Pancasila. Peristiwa dimaksud ketika UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinanaan Ideologi Pancasila) ditingkatkan statusnya menjadi lembaga tinggi negara setingkat kementerian, dengan nama BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), pada awal Maret lalu.

Keberadaan BPIP diharapkan bisa merumuskan panduan berperilaku, khususnya bagi para pejabat publik dan politisi tamak, golongan yang tidak pernah merasa puas ketika hidup sudah berkecukupan atau sejahtera, mereka ingin lebih dan lebih lagi. Dalam konteks masyarakat sekarang, yang paling krusial diproses BPIP adalah sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Problem kebangsaan akut yang mendera bangsa, tersebab adanya pengingkaran terhadap sila kedua tersebut. Nilai-nilai kemanusiaan diabaikan oleh hampir seluruh komponen bangsa, sehingga terjadi kesenjangan sosial, koruptor yang tak tahu malu, penyerbuan ormas ke kantor redaksi, persekusi terhadap kelompok minoritas, dan seterusnya.

Selain BPIP, satu lagi lembaga yang sebenarnya bertanggungjawab terhadap implementasi Pancasila adalah MPR. Namun sayang MPR hari ini lebih sibuk dengan penambahan posisi wakil ketua. Artinya sama saja dengan lembaga yang lain, yakni lebih banyak mengurus soal kekuasaan ketimbang tugas utamanya.

Stanza Tiga

Masih soal idelogi kebangsaan, selain Pancasila, pada tahun ini lagu kebangsaan juga mengalami revitalisasi,dengan terbitnya peraturan menteri (Permendikbud) terkait tatacara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya Stanza Tiga. Versi yang sedikit lebih panjang dari yang kita kenal selama ini.

Saya sendiri berpendapat, gagasan program Stanza Tiga tersebut sedikit janggal. Boleh saja argumentasinya adalah guna menanamkan semangat kebangsaan sejak masih kanak-kanak, namun jangan dengan cara membebani (secara fisik) anak-anak kita. Bisa dibayangkan siswa-siswa SD yang bakal kelelahan, mengingat lagunya menjadi lebih panjang.

Juga berdasar observasi lapangan, salah satu lontaran gagasan yang disampaikan generasi milenial, mereka justru ingin agar lagu kebangsaan bisa dipadatkan. Yakni dibuat versi yang lebih ringkas, tanpa mengurangi esensinya. Versi ringkas ini lebih diperuntukan bagi kepentingan event internasional, agar  nantinya tidak  merepotkan panitia lokal, dan juga agar penonton (mancanegara) tidak terlalu lama menunggu.

Sebuah gagasan cemerlang, merupakan wujud kepedulian generasi milenial terhadap masa depan bangsa, sebagai antisipasi bila atlet Indonesia mampu berjaya di tingkat internasional.                                     

Menjadi rakyat sepenuhnya

Menyebut tahun ini sebagai tahun politik, seolah menafikan ikhtiar kelompok masyarakat lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pilkada. Bukan hanya atlet, tetapi komunitas lain, seperti anak muda yang sedang merintis usaha daring, petani kopi di pedalaman Wamena atau Flores, anak muda yang saat ini mungkin sedang menyuci piring di sebuah restoran guna membiayai kuliahnya, dan seterusnya.

Sebutan tahun politik seolah mendorong pada satu asumsi, bahwa semua orang ingin menjadi pejabat atau penguasa. Asumsi ini melawan nalar publik, bila semua orang ingin berkuasa, lalu siapa yang akan mengisi rumah besar  rakyat kebanyakan.

Sebagaimana metafora Piala Dunia di atas, dalam situasi politik  yang menjemukan, dibutuhkan oase untuk membangun imajinasi segar. 

Imajinasi tentang ruang yang tidak lagi membahas wacana kekuasaan dan harta, namun semata-mata hanyalah nilai kemanusiaan. Bila hanya terpaku pada "jebakan betmen” (baca: kekuasaan dan harta), dimensi kemanusiaan kita akan tergadai selamanya.

Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis