1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Susana Somali, Dokter Penyelamat Anjing Terlantar

Prihardani Ganda Tuah Purba
22 Juli 2020

Selain bekerja di garda terdepan dalam melawan pandemi COVID-19, dr. Susana Somali juga merelakan waktunya mengurus lebih dari seribu anjing terlantar di Pejaten Shelter miliknya. Pesannya: Setop makan daging anjing!

https://p.dw.com/p/3ffeK
dr. Susana Somali - Pendiri Pejaten Shelter
dr. Susana Somali - Pendiri Pejaten ShelterFoto: Pejaten Shelter

Sebagai seorang dokter spesialis patologi klinik, dr. Susana Somali (55) sejatinya bertanggung jawab atas tes COVID-19 untuk pasien di Jakarta. Namun, di tengah kesibukannya bekerja di garda terdepan dalam melawan pandemi, ia masih merelakan waktunya merawat lebih dari seribu anjing yang terlantar karena berbagai alasan.

Ada yang ia selamatkan dari perdagangan daging anjing untuk dikonsumsi, ada pula yang ia tampung dari pemilik yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi, sehingga tidak mampu lagi melakukan perawatan.

Susana mendirikan Pejaten Shelter sejak 11 tahun lalu, dengan harapan anjing terlantar yang ditampung bisa diadopsi dan memiliki rumah tetap. Namun, di masa pandemi COVID-19 saat ini, jumlahnya semakin meningkat.

“Saat ini sudah mencapai seribu,“ kata Susana ketika dihubungi DW, Rabu (15/07).

“Semua saya vaksin, semua betinanya disteril, jadi pertambahan jumlahnya betul-betul karena kita ngambil di jalanan bukan karena kita beranak di tempat,” tambahnya.

Susana mengaku bahwa ia sebenarnya terpanggil untuk melakukan perawatan terhadap hewan kesayangan domestik yang terlantar, termasuk kucing dan anjing.

Namun secara kultur, kucing menurutnya lebih bisa diterima oleh orang Indonesia, sehingga setelah kucing betina disterilkan, tidak menjadi masalah ketika mereka dikembalikan bebas ke lingkungan asal. 

“Kalau anjing tidak bisa,” kata Susana. “Setelah kita steril kita rawat dan kita membutuhkan adopter, anjing ini tidak bisa diletakkan di tempat awal karena orang Indonesia kalau lihat anjing pasti jerit-jerit ketakutan dan yang kedua anjing ini dimakan orang,” jelasnya.

Biaya tidak murah

Untuk kebutuhan hidup satu ekor anjing yang ditampung di Pejaten Shelter, Susana mengeluarkan biaya yang tidak murah, 250 ribu Rupiah per bulan. “Itu untuk makanannya”, kata Susana.

Susana juga harus mengeluarkan biaya perawatan kesehatan seperti cairan infus antibiotik dan obat bius untuk sterilisasi anjing-anjing betina, yang mana cukup sulit didapatkan di masa pandemi saat ini.

dr. Susana Somali keluarkan biaya 250 ribu rupiah untuk kebutuhan makanan satu ekor anjing per bulan
Untuk kebutuhan hidup satu ekor anjing yang ia rawat, Susana mengeluarkan biaya 250 ribu rupiah per bulan.Foto: Pejaten Shelter

Ia pun mengaku bahwa Pejaten Shelter sangat membutuhkan bantuan dari masyarakat. Dari segi pakan, bantuan yang diharapkan adalah berupa makanan anjing, daging, beras, dan susu. Sementara dari segi kesehatan, “yang kita butuhkan adalah membayar tagihan ke dokter hewan untuk steril dan beberapa anjing yang memang parah untuk operasi,” jelas Susana.

Setop makan daging anjing

Animo perdagangan anjing yang masih sangat tinggi juga menjadi salah satu alasan Susana mau merelakan waktunya melakukan penampungan dan perawatan terhadap mereka. Menurutnya, dalam semalam 50 hingga 100 ekor anjing diperdagangkan untuk dikonsumsi. Pandemi corona yang saat ini terjadi semakin memperburuk keadaan.

“Akhirnya banyak orang yang secara ekonomi turun dengan corona dia meninggalkan anjiingnya kemana-mana dan pulang ke kampung halaman, itu menjadi sasaran perdagangan daging anjing yang sangat meningkat,” pungkas Susana.

Foto ilustrasi perdagangan anjing untuk dikonsumsi
Animo perdagangan anjing yang tinggi jadi salah satu alasan Susana merelakan waktu merawat anjing-anjing terlantarFoto: Reuters/T. Siu

Salah satu solusi yang dapat dilakukan menurutnya adalah mulai membatasi jumlah populasi hewan peliharaan dengan sterilisasi, “sehingga tidak menjadi alasan mereka untuk dimakan, demikian pula kucing untuk daerah-daearah tertentu,” katanya.

“Kalau ini kejadian 100 tahun yang lalu, di mana pakan orang masih terbatas, orang masih berburu mungkin konsumsi daging anjing ini masih bisa diterima tapi sekarang di tiap satu meter sudah ada  warung makanan, sudah ada ayam di mana-mana, orang sudah pergi ke mal untuk food court saya kira kebudayaan makan anjing dan kucing harus mulai ditinggalkan,” tutupnya.

Ed: gtp/rap