1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sultan Perempuan dan Reformasi Yogyakarta

11 Juni 2018

Untuk pertama kalinya orang nomor satu di keraton Yogyakarta kini berpotensi diduduki seorang perempuan. Apa pula hubungannya dengan Jakarta? Bagaimana pendapat Anda? Simak opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/2zCzt
Hamengkubuwana X

Bentuk-bentuk pemerintahan yang menempatkan seorang raja sebagai penguasa absolut memang cenderung kesulitan untuk bertahan dan menunjukkan relevansi politiknya di tengah-tengah iklim demokrasi dan kuasa rakyat masa modern ini, terlebih di Indonesia. Kesultanan Yogyakarta adalah salah satunya, dan mungkin yang kekuasaannya paling diperhitungkan secara sosial dan politik dibandingkan raja-raja lokal lain, yang titelnya sudah menjadi sekedar simbol-simbol sosial-budaya semata. Dapat dikatakan, dalam bingkai keindonesiaan, pengaruh emosional tahta Yogyakarta masih terasa secara secara nasional.

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis:Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Belakangan ini, sebagaimana pemberitaannya yang kian ramai, untuk pertama kalinya orang nomor satu di keraton Yogyakarta kini berpotensi diduduki seorang perempuan. Penguasa incumbent sejak 1989, Sultan Hamengkubowono X, telah memutuskan mengangkat anak perempuan pertamanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, sebagai pewaris tahta; sebuah keputusan yang tidak pernah dilakukan oleh para leluhurnya di masa silam.

Para pakar dan publik memandang peristiwa tersebut sebagai angin segar dan simbol partisipasi perempuan yang kian besar di ruang-ruang publik Indonesia. Namun, faksi konservatif di dalam keraton menentangnya dengan keras. Sederhananya, mereka mengemukakan bahwa sultan haruslah seorang laki-laki. Faksi ini terdiri dari saudara-saudara sultan sendiri. Mereka menimbang-nimbang bahwa perempuan sebagai pemimpin Yogyakarta adalah anomali, baik secara religius (berdasarkan ajaran Islam), mistis (raja semestinya adalah pasangan spiritual Nyai Roro Kidul, dewi laut selatan Jawa) dan aspek-aspek kultural-historis lainnya.

Hal tersebut membuat polemik suksesi tahta Yogyakarta, yang setidaknya telah menjadi pembicaraan publik sejak tiga tahun silam, berpotensi menjadi titik balik sejarah tidak hanya bagi pihak keraton dan rakyat Yogyakarta, namun juga sebuah ujian politik bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Akankah polemik ini memicu perpecahan politik yang serius atau memicu reformasi damai?

Tahta Jawa, Perpecahan, dan Perempuan

Ada sebuah pepatah Jawa yang bunyinya "rukun agawe santosa, congkrah agawe bubrah”, yang artinya kurang lebih adalah "kerukunan menjadikan sentosa, cekcok menjadikan rusak”. Jika mengaitkannya dengan sejarah dinamika suksesi kekuasaan di Jawa, maka penggalan ungkapan yang terakhir agaknya lebih cocok; keruntuhan kekuasaan raja-raja Jawa kerap kali disebabkan oleh perpecahan di antara mereka sendiri dengan intervensi pihak ketiga, yang justru kerap muncul sebagai pihak yang paling untung.

Sebut saja Majapahit, kerajaan Jawa yang termegah dalam sejarah, memasuki fase keruntuhannya akibat polemik suksesi sebelum orang-orang Islam dari Demak memberikan pukulan penghabisan tahun 1518. Kesultanan Mataram yang pernah begitu tangguh dalam mengepung Batavia pada 1628 juga harus tunduk kepada keputusan VOC Belanda yang memutuskan untuk membagi-bago kutub politik tahta Jawa menjadi dua, yakni di Yogyakarta dan Surakarta. Ketika kolonialisme Belanda akhirnya hengkang dari Jawa, kini orang-orang Republik dengan payung demokrasinya yang menjadi partner politik senior bagi raja-raja Jawa.

Namun, rakyat Yogyakarta masih memiliki ego dan harga diri yang tinggi sebagai penduduk wilayah yang secara sosial-kultural masih begitu kental menganut budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari, karena itulah kharisma Sultan Hamengkubuwono X sebagai raja dan gubernur Yogyakarta tidak dipertentangkan sampai sekarang ini. Pertanyaannya, apakah pantas kharisma itu semata-mata dibanggakan hanya karena sang pemimpin adalah laki-laki dan menjadikan urusan gender penerusnya sebagai alasan penolakan?

Secara historis, sebagian kerajaan-kerajaan Nusantara memang pernah memiliki perempuan sebagai penguasa tahta, atau setidaknya pemegang posisi-posisi kunci dalam kemajuan kerajaan. Dalam konteks Jawa-Islam, nama-nama seperti Ratu Kalinyamat (pemimpin armada Jepara melawan Malaka-Portugis abad ke-16) dan Ratu Ageng Tegalrejo (komandan prajurit elit "korps srikandi” kesultanan Yogyakarta abad ke-18) adalah bukti bahwa keperkasaan perempuan dalam kronik Jawa adalah hal yang layak disimak publik Indonesia dan menjadi opsi pembelajaran lain di tengah-tengah dominannya narasi sejarah pejuang-pejuang perempuan Aceh.

Peter Carey dan Vincent Houben dalam bukunya, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX telah memberikan sedikit pencerahan perihal posisi sentral perempuan dalam kehidupan keraton. Misalnya mengenai permaisuri Hamengkubuwono II, Ratu Kencono Wulan, yang dilaporkan mampu membuat gubernur jendral Daendels ketakutan. Permaisuri Hamengkubuwono V, Ratu Kedaton, juga terkenal cerdik dalam memainkan politik suksesi walau pada akhirnya pemberontakan yang disulutnya gagal dan ia diasingkan Belanda ke Manado.

Posisi perempuan Jawa memang kerap ditenggelamkan dalam narasi sejarah karena begitu dominannya patriarki dalam feodalisme Jawa. Namun, sifat tersebut seharusnya cukup menjadi relik masa lalu dan tidak menjadi alasan penolakan terhadap kemungkinan munculnya seorang sultan perempuan dalam puncak kekuasaan Jawa modern. Bahkan, keputusan Sultan Hamengkubuwono X terhadap urusan suksesi tersebut mungkin adalah langkah modernisasi yang brilian dan selaras dengan nilai-nilai kekinian setelah sebelumnya ia memutuskan untuk menghentikan tradisi poligami dan selir.

Pengangkatan GKR Mangkubumi juga menjadi episode menarik karena melihat rekam jejaknya sebagai perempuan yang tumbuh dalam lingkungan gagasan keterbukaan modern. Tidak seperti leluhur-leluhurnya, perempuan berusia 46 tahun tersebut menempuh studi tingkat tingginya di luar negeri seperti Singapura, Amerika Serikat, dan Australia selain pendidikan tradisional di keraton. Ia juga menyatakan terbuka terhadap inovasi dan teknologi, dan media-media asing seperti BBC, Telegraph, Dailymail, Straitstimes, dan lain-lain melabelinya tidak hanya sebagai feminis namun juga seorang reformis terhadap citra perempuan, politik, dan Islam di Indonesia.

Banyak harapan bahwa GKR Mangkubumi akan memberikan pembaharuan dan menjadi inspirasi perubahan bagi status Yogyakarta sebagai institusi monarki dengan kekuatan politik yang sesungguhnya. Lantas, bagaimana pemerintah pusat di Jakarta harus menanggapinya?

Jakarta Pihak Ketiga?

Jika polemik suksesi tahta Yogyakarta ini kian tak terkendali, terlebih ketika faksi konservatif di dalam keraton secara terang-terangan ingin mengusir GKR Mangkubumi dari keraton setelah Hamengkubuwono X wafat, akankah pemerintah di Jakarta mengintervensi? Dahulu, tahun 2010, komentar pemerintah terhadap sistem monarki Yogyakarta, yang dianggap tidak cocok dalam iklim demokrasi Indonesia, dibalas kecaman oleh keraton. Jakarta akhirnya mundur setelah pernyataan kontroversial tersebut berujung protes dari masyarakat.

Jika ada hal yang patut diintervensi oleh Jakarta, maka itu adalah memastikan bahwa calon pemimpin Yogyakarta yang selanjutnya harus mampu menekan tingkat radikalisme dan intoleransi yang belakangan ini kian terasa. Pergulatan politik dengan simbol-simbol agama sebagai jubahnya kian mengkhawatirkan, belum lagi masalah persekusi terhadap kelompok LGBT dan aktivis-aktivis kiri yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis. Ditambah, masalah diskriminasi pelarangan kepemilikan tanah yang menimpa orang-orang Cina di Yogyakarta sangat layak untuk direvisi secara konstitusional.

Memang betul bahwasanya pemerintah Indonesia pernah berhutang terhadap Kesultanan Yogyakarta selama masa-masa perang kemerdekaan Indonesia, namun seharusnya hal itu tidaklah menjadi pembatas dialog antara kedua belah pihak. Yogyakarta memang istimewa, namun ia haruslah sadar akan perkembangan zaman. Melihat dari sejarah Jawa, dan segi kecocokannya dengan semangat modernitas, seharusnya gagasan sultan perempuan bukanlah alasan perpecahan, namun sebuah modal berupa langkah maju untuk menghadirkan Kesultanan Yogyakarta yang lebih baik bagi Indonesia.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.