1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Mau Nuklir Tapi Tak Mau Tahu Resikonya

28 Januari 2013

Demam nuklir masih melanda Asia. Kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia itu memilih membangun reaktor untuk kebutuhan energi. Indonesia juga semakin dekat dengan nuklir. Tapi apakah kita siap dengan resiko?

https://p.dw.com/p/17Spq
Foto: Reuters

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebut ada 41 reaktor yang sedang dibangun di Asia, 98 lainnya direncanakan dibangun dekade mendatang.

Cina adalah negara yang kini paling banyak membangun nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus melesat seiring pertumbuhan ekonomi. Vietnam akan membuat delapan reaktor. Malaysia berencana memiliki paling sedikit dua. Sementara pemerintah Indonesia berencana membangun empat reaktor nuklir pada tahun 2025.

Sulfikar Amir adalah sosiolog Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University, Singapura. Belakangan dia bergelut dengan isu nuklir dan akhir 2012, meluncurkan “Nuklir Jawa“, sebuah film dokumenter yang berisi kritik atas rencana Indonesia membangun reaktor di Gunung Muria, Jawa Tengah.

“Sebenarnya Indonesia adalah negara yang paling siap untuk mengembangkan nuklir di Asia Tenggara” kata Sulfikar Amir kepada Deutsche Welle.

Deutsche Welle

Apa yang membuat negara Asia kini berpaling ke nuklir?

Sulfikar Amir

Kalau melihat tren dunia, hingga 20 tahun setelah bencana Chernobyl, nuklir menjadi tidak populer. Awal tahun 2000 muncul apa yang disebut nuclear renaissance atau kebangkitan kembali nuklir. Ini wacana yang dikonstruksi industri nuklir global. Mereka memakai dua alasan: pertama adalah perubahan iklim yang terjadi akibat penggunaan energi fosil dan kedua adalah cenderung meningkat dan tidak stabilnya harga minyak dunia. Nah, nuklir ditawarkan karena pertama tidak mengeluarkan efek rumah kaca (yang menyebabkan perubahan iklim-red) dan kedua, secara ekonomi jangka panjang jauh lebih murah, meski butuh dana investasi awal sangat besar. Hitung-hitungan ekonominya: untuk sebuah reaktor yang bisa berproduksi hingga 50 tahun harga listrik yang dihasilkan 4 sen per kilowatt hour, sementara energi fosil hampir dua kali lipat, apalagi energi terbarukan yang harganya bisa berkali lipat, sangat mahal. Inilah yang menyebabkan nuclear renaissance menyebar ke Asia termasuk Indonesia.

Deutsche Welle

Bagaimana sejarah perkenalan Indonesia dengan nuklir?

Sulfikar Amir

Sejarah Indonesia dengan nuklir cukup tua. Indonesia membangun Lembaga Tenaga Atom tahun 1958, yang kelak tahun 1964 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Era Soekarno, Kepala BATAN adalah jabatan penting setingkat menteri. Ketika itu, Soekarno sangat serius mengembangkan nuklir antara lain karena politik: dia ingin mengembangkan bom atom untuk menakuti-nakuti Malaysia yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan Indonesia. Indonesia saat itu sempat meminta bantuan ke Cina untuk membangun senjata nuklir. Tapi rencana itu gagal karena tahun 65, Soekarno keburu digulingkan.

Deutsche Welle

Setelah itu apa yang terjadi dengan program nuklir Indonesia?

Sulfikar Amir

Pada era orde baru, BATAN dikembangkan untuk tujuan damai penelitian. Kita punya 3 reaktor: di Bandung yang dibangun atas bantuan Amerika, di Yogya bantuan Rusia dan di Serpong atas bantuan Jerman yang merupakan reaktor terbesar di Asia Tenggara. Meski desain awalnya Jerman, tapi sebagian besar reaktor, kecuali bagian intinya, kini sudah dimodifikasi oleh para ahli nuklir Indonesia.

Deutsche Welle

Apakah kita memang butuh nuklir?

Sulfikar Amir

Masalahnya itu sudah diputuskan pemerintah. Tahun 2025 kita akan membangun empat reaktor dengan kapasitas masing-masing seribu megawatt, yang jika dibandingkan dengan total suplai listrik nasional 2025, maka kontribusinya hanya dua persen. Itu sangat kecil jika dibanding dengan resiko.

Deutsche Welle

Bisa Anda jelaskan resiko itu?

Sulfikar Amir

Para teknokrat selama ini hanya menghitung aspek teknologi dan ekonomi. Tapi tidak bicara resiko sosial. Karena mengoperasikan sebuah sistem yang canggih seperti nuklir membutuhkan sistem kelembagaan yang kuat dan disiplin sangat tinggi. Bahkan dalam kasus tragedi Fukushima, Jepang, kesimpulan akhir menyebut tragedi itu terjadi bukan karena bencana alam tapi bencana akibat manusia, karena kalangan industri nuklir tidak cukup mengantisipasi situasi darurat (seperti bencana alam-red). Bayangkan jika Jepang yang terkenal punya disiplin sangat tinggi bisa kebobolan, bagaimana Indonesia: yang sistemnya korup dan tidak punya dukungan infrastruktur. PLTN itu butuh infrastruktur sangat solid, karena kalau tidak, maka akan sangat mengerikan jika terjadi bencana…

Deutsche Welle

Jadi Anda bilang rencana pembangunan reaktor nuklir harus ditolak?

Sulfikar Amir

Ya itu tidak masuk akal karena kalkulasi sosialnya sangat besar. Belakangan BATAN membatalkan rencana pembangunan empat reaktor di Gunung Muria dan memindahkannya ke Bangka. Mereka juga tidak jadi membangun empat tapi hanya dua reaktor dengan kapasitas maksimal 1.700 megawatt. Listrik yang dihasilkan nanti akan dipakai untuk memasok kebutuhan pulau Sumatera.

Deutsche Welle

Kenapa Anda membuat film dokumenter “Nuklir Jawa“?

Sulfikar Amir

Saya ingin membagi cara pandang sosiologis tentang interaksi masyarakat dengan teknologi. Nuklir itu isu teknokratik tingkat tinggi tapi bisa punya dampak sangat luas. Tujuan "Nuklir Jawa" adalah untuk memindahkan isu nuklir dari wacana energi menjadi wacana resiko. Selama ini perbincangan hanya berpusat pada kebutuhan energi. Lewat dokumenter itu saya membicarakan nuklir dari isu tata kelola resiko. Kita selama ini hanya bicara keuntungan: nuklir bagus untuk pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan lain-lain, tapi kita tidak banyak tahu tentang resikonya. Saya curiga, jangan-jangan kosakata resiko tidak ada dalam perencanaan pembangunan kita. Jadi saya ingin membuka mata agar kita membicarakan nuklir secara fair.

Deutsche Welle

Apakah Anda merasa sukses “menakut-nakuti“ orang lewat film?

Sulfikar Amir

Hahaha, tujuan saya bukan menakut-nakuti. Saya bukannya anti nuklir. Saya hanya tidak setuju Indonesia saat ini membangun nuklir karena resikonya sangat tinggi. Sistem kelembagaan kita belum siap.