1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sudahkah Kita Amalkan Pancasila?

31 Juli 2017

Kontroversi penerbitan Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) terus berlangsung. Apakah kita atau negara mengamalkan Pancasila dengan baik? Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2hRJJ
Indonesien Straßenkinder (Bildergalerie)
Foto: B. Ismoyo/AFP/Getty Images

Bagi yang tidak setuju, penerbitan Perppu no. 2/17 ini dianggap sebagai ancaman serius bagi  kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dengan kata lain, rezim Jokowi dianggap memutar jarum jam sejarah, dengan mundur kembali ke masa Orde Baru, periode paling gelap bagi masyarakat di negeri ini.

Satu hal yang menarik adalah, adanya paradoks terkait terbitnya perppu, ketika sejumlah pihak yang secara "tradisional” selalu berseberangan, kini mereka seakan kompak dalam menyikapi perppu. Titik singgung di antara mereka adalah, berdasar perppu dimaksud, sebuah ormas atau organisasi bentuk lain (semisal yayasan atau komunitas), bisa dibubarkan atau dibekukan pemerintah, tanpa melalui proses pengadilan.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Dua kutub dimaksud adalah, para pembela HAM dan aktivis CSO (civil society organization) di satu sisi, kemudian parpol dan ormas "garis keras” di sisi yang lain. Benar, organisasi pembela HAM, seperti KontraS, Imparsial, YLBHI, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dan seterusnya, kini seolah-olah menjadi satu kubu dengan Partai Gerindra atau FPI dalam menyikapi Perppu Ormas, yakni sama-sama menentang.

Adalah satu hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa figur pembela HAM garis depan seperti Haris Azhar (KontraS)  atau Al Araf (Imparsial), kini akan duduk berdampingan dengan Fadli Zon (Partai Gerindra, Wakil Ketua DPR) misalnya, sembari ngopi sore untuk membahas strategi perlawanan terhadap perppu. Fadli Zon adalah tokoh politik yang sudah menentang perppu sejak hari pertama.

Jelas pertemuan itu ibarat mimpi buruk. Secara kimiawi juga tidak nyambung. Bagaimana mungkin terjadi kolaborasi antara pembela HAM dengan seorang Fadli Zon, yang sepanjang karier politiknya selalu berada di bawah bayang-bayang Letjen TNI Purn Prabowo Soebianto. Sementara, KontraS dan Imparsial (dan CSO lainnya), tak lelah mempersoalkan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo di masa lalu.

Ruang Bagi Nalar

Pada titik ini ada ruang nalar yang berbicara, walau bagaimana pun tetap  ada garis demarkasi yang tegas antara organisasi pembela HAM dengan organisasi lain yang kebetulan sama-sama menentang penerbitan perppu. Jadi kekhawatiran akan terjadi sinergi antara Imparsial, Kontras, dan seterusnya, dengan organisasi semacam Gerindra, FPI, HTI (yang sudah resmi dibubarkan), tidak mungkin terlaksana.

Kekhawatiran berikutnya terkait soal kewenangan pemerintah yang bisa membubarkan ormas atau organisasi lain, tanpa melalui proses pengadilan, sekali lagi ada kesempatan bagi ruang nalar. Organisasi pembela HAM, dengan rekam jejak yang jelas, yang sudah teruji selama bertahun-tahun, bahkan ada yang melintasi zaman, seperti YLBHI, rasanya tidak mungkin dibubarkan. Lalu organisasi seperti KontraS dan Imparsial, yang didirikan almarhum Munir, seorang pembela HAM dengan reputasi internasional, rasanya tidak mungkin dibubarkan. Yang paling mungkin adalah masih munculnya intimidasi dari kelompok vigilante.

Termasuk apabila rezim yang akan datang, sebut saja pasca-Jokowi, adalah rezim yang sangat otoriter, organisasi semacam KontraS, Imparsial, YLBHI, dan seterusnya, tetap tidak akan dibubarkan. Meski struktur organisasinya adalah perkumpulan atau yayasan, beda dengan ormas pada umumnya, namun mereka memiliki dukungan dari publik, yakni apa yang disebut sebagai silent majority, termasuk dukungan publik internasional. Mereka hanya bisa "bubar” karena faktor internal, semisal ada konflik atau menurunnya dukungan dana.

Organisasi atau komunitas lain yang berbasis kegiatan spiritual dan  budaya lokal, seperti komunitas sunda wiwitan (Kuningan, Jabar), sedulur sikep (Blora dan Rembang), dan seterusnya, rasanya juga tidak akan dibubarkan. Termasuk bagi komunitas Ahmadiyah dan Syiah, yang bisa jadi akan terus menerima intimidasi dari kelompok intoleran, namun alasan formal untuk membubarkannya senantiasa sumir.

Diktum Wiranto

Saat mengumumkan terbitnya perppu, Menkopolhukam Wiranto antara lain menyatakan: Perppu sebagai landasan hukum untuk mencegah kehadiran ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Diktum (versi) Wiranto tersebut bisa dijadikan argumentasi, bahwa organisasi pembela HAM, komunitas budaya lokal, dan organisasi sejenis tidak akan dibubarkan, karena tidak memenuhi batasan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Bila kita telusuri, Perppu Ormas ini merupakan satu rangkaian dengan pendirian lembaga UKP-PIP (Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi Pancasila), bagian dari tren meningkatnya kesadaran praktik Pancasila di level negara. Bila yang menjadi ukuran adalah praktik Pancasila, organisasi pembela HAM, sudah melakukan hal itu, utamanya untuk sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Terkait sila pertama, organisasi pembela HAM konsisten dalam memperjuangkan KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan), yang dijamin undang-undang.

Praktik konkret seperti itu pula yang semakin memperkuat argumen, bahwa organisasi pembela HAM tidak mungkin dibubarkan, mengingat sudah memenuhi diktum Wiranto, bahkan melampauinya. Sebagaimana ditunjukkan almarhum Munir, yang sampai mengorbankan nyawanya, demi membela hak asasi orang lain.

Implementasi Pancasila

Setiap elemen masyarakat dengan cara masing-masing sebenarnya telah mengamalkan Pancasila, hanya tidak perlu diungkapkan secara terbuka, biar rakyat saja yang menilai. TNI misalnya, kuat dalam pengamalan sila ketiga, itu sesuai dengan motto mereka yang membahana: NKRI Harga Mati.  Tanpa menafikan praktik pada sila lainnya, TNI juga kuat dalam pengamalan sila keempat, itu sebabnya TNI sangat responsif pada isu kedaulatan negara. Kita jadi paham sekarang, soal aspirasi TNI agar memperoleh peran yang jelas dalam RUU Antiterorisme yang kini masih dibahas di DPR RI, mengingat aksi terorisme merupakan ancaman serius bagi kedaulatan negara.

Elemen masyarakat yang paling sulit diidentifikasi dalam hal pengamalan Pancasila adalah para konglomerat, dan para elite di Jakarta, baik elite politik maupun ekonomi. Saya sudah memikirkannya berhari-hari namun belum juga memperoleh jawabnya. Mungkin ada juga sumbangsih mereka, meski sulit dilihat secara kasat mata.  Pengamalan Pancasila dari golongan ini menjadi buram, karena lebih menonjolnya gaya hidup hedonis mereka.

Negara Abai

Sejak rezim-rezim sebelumnya, ada kesan negara terlalu membebani masyarakat dalam implementasi Pancasila. Asumsi ini semakin relevan  dalam situasi sekarang, yang bagi sebagian masyarakat, hidup menjadi terasa berat. Sebab bila kita perhatikan secara seksama, ada kalanya negara juga abai dalam pengamalan Pancasila, utamanya pada sila kelima (keadilan sosial).

Untuk menjelaskan negara yang sesekali abai, izinkan saya  mengajukan potret masyarakat (kelas bawah) yang saya saksikan sendiri, khususnya di Jabodetabek. Salah satunya adalah soal nasib seniman jalanan (pengamen), yang ruang mereka untuk berekspresi semakin berkurang secara drastis, disebabkan moda transportasi umum model busway (transjakarta), melarang para pengamen naik. Kini pengamen yang biasa bermain di bus kota, sudah menyasar angkutan umum seukuran mikrolet, dimana pada beberapa kasus mereka terpaksa mengutip uang dari penumpang secara paksa.

Narasi tentang beratnya kehidupan golongan rentan ini, masih bisa kita tulis berlembar-lembar. Intinya adalah pada pertanyaan: adakah negara hadir secara riil pada kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai kaum miskin perkotaan ini, termasuk juga bagi para pemuda usia produktif "setengah pengangguran” yang selalu terlibat pada rangkaian aksi massa di Jakarta di hari-hari belakangan ini. Mengingat makna sila kelima, ada kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat.

Tampaknya kelompok-kelompok seperti  pengamen, pemulung, kaum tergusur, dan seterusnya, ibarat dunia yang tersembunyi. Bila negara saja abai, praktik Pancasila macam apa yang harus kita tuntut pada golongan marjinal tersebut?

Contoh kecil saja, bila sekali waktu diadakan tes dadakan pada mereka, untuk menguji kefasihan dalam melafalkan Pancasila atau menyanyikan lagu kebangsaan. Bila ternyata kurang fasih, sanksi seringan apapun tidak layak dijatuhkan pada mereka. Justru ketidakfasihan mereka bisa menjadi bahan refleksi bagi negara, bahwa begitulah respons alamiah golongan marjinal bagi negara yang abai.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis