1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suatu Pagi di Plaza van der Helst..

Lea Pamungkas19 Mei 2015

Surel dari Amsterdam..., kiriman Lea Pamungkas.

https://p.dw.com/p/1FSif
Niederlande Amsterdam Van der Helsplein
Foto: privat

Pada Plaza Van der Helst burung burung merpati terbang rendah, mematuk biji kastanya yang menebar. Beberapa orang junkies tengah memungut sisa puntung-puntung rokok, dan plastik-plastik dan masuk ke tong sampah. Sejak Eropa dilanda krisis tahun 2008, para tuna wisma dan pengidap narkoba ini, tak lagi seketika mendapat tunjangan dari Pemerintah Kota Amsterdam. Sebagai kompensasi, mereka diminta menjadi pekerja kebersihan kota, trotoar, dan taman-taman.

Dengan langkah terhuyung, seorang mereka yang berambut rasta, menyiulkan Don´t worry be happy Bobby McFerrin. ¨Hai Lady,¨ sapanya. Matanya tampak mengantuk, samar tercium bau bir dari mulutnya. Aku cuma nyengir.

Sinar matahari tipis mencoba sebisa mungkin menyelusup di antara dahan-dahan tanpa daun sisa musim dingin. Ah, tapi toh gagal membawa kehangatan. Udara di bawah minus 2 lebih gagah membelah pagi, hari ini. Kelembaban menyeruak pada gerumbul perdu.

Ketidaktentuan nasib merebak, terlebih bagi mereka yang telah berusia renta dan orang-orang cacad. Pengurangan tenaga kerja berlangsung di mana-mana, termasuk pada pekerjaan-pekerjaan yang selama ini diperuntukan bagi mereka, seperti di tempat-tempat pengemasan barang atau pekerjaan fisik ringan lainnya. Gelombang protes yang dilakukan hampir setiap bulan, tak melantakkan keputusan. Pemerintah tak mau lagi terlalu direpotkan oleh warganegara yang secara ekonomis, ´kurang berguna´.

Langkah teredam pada ketidakpastian arah. Waktu pada keseharian dicoba dibunuh atas nama kebosanan. Waktu –ukuran pada hidup, tidak lagi dihargai secara seharusnya. Uh, pikiran itu menelusup di kepala, kakiku menendang batu. Orang-orang merasa kelebihan enerji dan waktu, kenyataan ini menyiksa. Rutinitas kerja lepas dari tangan, sementara kebutuhan sehari-hari tak ada yang bisa dikurangi lagi. Dan aku adalah salah satu dari ribuan orang lain yang masuk data kaum pengangguran. Atau untuk mengenyahkan kesan kasihan, sekarang disebut kaum in between job.

Wangi roti hangat yang baru keluar dari pembakaran menghadirkan suasana yang lain. Beberapa bulan terselang, di sini di Van der Helstplein dibuka toko roti baru. Kecil dan menarik. Ah ya, waktu kanak-kanak aku pernah bercita-cita jadi tukang roti. Alasannya sederhana saja, urusan perut: aku sangat suka roti. Setiap pagi aku menunggu tukang roti yang datang dengan sepedanya ke rumah kami. Dan segenggam roti hangat, cukup untuk membawa kebahagiaan di sepanjang hari.

Sekelebat ingatan membuat kakiku melangkah mantap. Hmm, tentu menarik bekerja sebagai tukang roti: memilih dan mengayak tepung, memecahkan telur, menimbang mentega, lalu memilah butiran wijen, biji bunga matahari, kacang-kacang dan biji kenari. Menyiapkan berbagai roti: roti zaitun, roti biji bunga matahari, roti buah kenari, dan roti biji wijen. Memasukannya ke dalam loyang dan pembakaran yang memanas. Hidungku mengembung, perutku keroncongan.

Seorang lelaki berkacamata menyambutku dengan senyum lebar. Mendengarkan ocehanku dan tawaranku untuk bekerja. ¨Ya, tentu. Tentu,¨ katanya sambil meletakkan roti-roti yang mengepulkan asap tipis ke atas meja. ¨Bekerja di pabrik roti selain mengembangkan kreativitas juga membahagiakan. Karena setiap hari kita dikelilingi oleh kehangatan. Bukankah begitu ?¨ katanya sambil menoleh padaku.

Aku mengangguk. ¨Aku siap belajar dan mulai bekerja besok. Tidak apa-apa jika harus menjalankan masa percobaan¨.

¨Maaf sebentar,¨kata lelaki itu. Ia pamit untuk melayani beberapa pembeli yang tampak antri. Aku mengerti, tak ada yang lebih nikmat selain memulai pagi dengan sarapan roti yang segar dan baru keluar dari pembakaran.

Ia dibantu oleh beberapa orang yang tampak hilir mudik dengan suara agak ribut. Kekanakan. Sambil menunggu, aku melihat-lihat jenis roti yang dijualnya. ¨Dibuat dengan bahan organik dan dibungkus dengan kertas daur ulang¨, begitu keterangan sebuah poster di salah satu dindingnya.

Akhirnya, lelaki itu datang dengan senyum ramah di matanya. ¨Baik,¨katanya sambil membersihkan tangannya dengan serbet. ¨Sebelum kita mulai, aku mau bertanya berapa IQ (intelligence quotient, pen.) Anda ?¨ Wajahnya dibuat seserius mungkin.

Aku tersentak. Waduh, sepanjang hidupku ini adalah pertanyaan yang paling tidak sopan yang pernah aku terima selama aku malang melintang mendaftar untuk mencari kerja.

Jelas, aku tak bisa menyembunyikan ketersinggunganku. ¨Apa maksud Anda ?¨ suaraku seketika meninggi. Dengan isyarat tangan, lelaki itu memintaku untuk tetap tenang. Dengan tersenyum ia pun menjawab tenang, ¨Kami hanya menerima pekerja dengan IQ di bawah 80. Nah pertanyaanku, apakah Anda memenuhi prasyarat utama itu ?¨

Aku menatapnya tak mengerti. ¨Bas,¨panggilnya pada seorang pemuda berusia 20 tahunan. Dari perawakan, dan ekspresi matanya yang riang kekanakan, aku tahu bahwa ia hidup dengan down-syndrome. ¨Nah Bas, silahkan kau cerita bagaimana pengalamanmu bekerja di sini pada dia..,¨ lanjut lelaki itu sambil mengedipkan matanya.

Aku mengangguk dan tersenyum. Dan mengucapkan terima kasih padanya. Bas, dengan tangannya yang gempal menarikku duduk. Senyum mengembang, sinar matanya yang hangat, kalimatnya patah-patah, namun ia menyelimuti aku dengan kepercayaan diri. ¨Iambe (dibaca Jambe,pen.), artinya kegembiraan dan pemeliharaan, diambil dari bahasa Yunani,¨ begitu jelas Bas tentang toko roti tempat ia bekerja. ¨Saya sudah 6 bulan bekerja di sini, tiga kali seminggu dilatih oleh Amber. Bersama banyak teman lain, saya suka di sini. Bertemu banyak orang, berbicara, dan lebih lagi ketemu Astrid,¨ wajahnya bersemu dadu kala menyebut nama Astrid.

Iambe ternyata selama ini bekerjasama dengan CIZ (Centrum Indicatie Zorg), sebuah lembaga perawatan untuk orang-orang dengan kelainan mental. Dengan terjadinya krisis ekonomi, dan tunjangan bagi mereka yang hidup bersama kelainan mental, banyak inisiatif masayarakat dilakukan di Belanda. Antaranya dengan lebih banyak melibatkan mereka secara partisipatif dalam masyarakat. Lebih lagi, untuk membangun kepercayaan diri, bersosialisasi, dan membuktikan bahwa mereka pun lebih mampu mandiri secara finansial. Sekarang Iambe, telah membina puluhan orang. Saking banyaknya peminat, daftar tunggu untuk bekerja di Iambe sekarang lebih dari 6 bulan.

Selain dalam proses pembuatan roti, orang-orang yang hidup dengan kelainan mental ini juga diperbantukan pada peternakan, pandai besi, pembuatan keramik, percetakan dan pembuatan instrumen musik. Juga di taman-taman, gudang, di dapur, dan di ruang cuci hotel-hotel. ¨Tapi saya lebih suka di sini, selalu hangat dan harum, ¨ jelas Bas.

Bas menarik tanganku, ¨Lihat, aku sekarang boleh mulai membuat yang manis-manis... Ini jauh lebih sukar dari membuat roti¨. Sebuah taart apel dengan wangi kayu manis dan kismis, disodorkan Bas di depan hidungku.

Wangi kayu manis, membawaku pada sebuah rumah mentereng di Bandung. Pada seorang pemuda down-syndrome kakak kawan sekelasku dulu. Seorang, yang selama ini hanya jadi bahan bulan-bulanan kami. Kadang-kadang didorong masuk ke pojok ketika tindakannya sudah dianggap ¨memalukan¨. Aan, begitu namanya, pada masa dewasanya pernah ditangkap polisi karena mempertontonkan alat vitalnya di depan umum. Aan tak mengerti mengapa ´kebanggaan´nya, membuat orang menjerit-jerit dan dianggap menganggu ketertiban.

Aku mendarat kembali. Bas tersenyum lebar di depanku. ¨Kamu boleh mencoba sedikit,¨ katanya sambil memotong kuenya, dan memasukkan tanpa permisi ke mulutku. Airmataku mengalir. Mata Bas berkaca-kaca. ¨Terima kasih, Bas,¨ tanganku seketika memelukku. Dari jauh aku melihat Aan melambaikan tangannya. Kenangan terakhir tentang dia, sebelum mendengar bahwa dia meninggal tenggelam di sungai.

Lea Pamungkas, Amsterdam 2015

Niederlande Lea Pamungkas
Lea PamungkasFoto: DW/H. Pasuhuk