Solusi Konflik sebagai Jaminan Perdamaian Sudan
8 Juli 2011
Apa yang dikhawatirkan banyak pengamat menjadi kenyataan. Menjelang kemerdekaan Sudan Selatan terjadi pertempuran besar antar pasukan dari utara dan selatan, terutama di perbatasan, misalnya Abyei dan Kordofan Selatan. Masalah perbatasan itu belum terjawab dan tetap dipertikaikan di masyarakat. Akhir Mei lalu, pemerintah Sudan Utara menduduki daerah Abyei. Walaupun DK PBB memutuskan, bahwa daerah itu bebas militer, tetap belum jelas, apakah tentara helm biru dapat menjaga kelangsungan gencaran senjata.
Faisal Mohamed Salih, pakar Sudan berpendapat, "Partai-partai yang berkonflik bukan hanya pemerintah Sudan Utara dan Selatan. Ada kelompok etnis lainnya, misalnya Misseriya dari Utara dan Dinka-Ngok dari Selatan. Mereka adalah bagian masalah, tetapi harus menjadi bagian jalan keluar juga. Jika pemerintah mencapai kesepakatan tanpa keikutsertaan kelompok-kelompok ini, maka kesepakatan tidak dapat dilaksanakan.“
Harapan untuk Hidup Damai
Pendudukan Abyei terutama menyebabkan ribuan orang melarikan diri dari daerah itu ke bagian selatan. Di samping itu, hingga akhir tahun ini, lebih dari ratusan ribu orang diduga akan datang dari bagian utara. Mereka datang dengan harapan, akan dapat hidup dengan aman. Untuk itu Sudan Selatan tidak dapat menawarkan banyak, karena negara itu masih harus membangun infrastruktur.
Setelah perang 50 tahun dengan Sudan Utara, tidak ada jalanan, tidak ada penyediaan air bersih, listrik juga hanya sedikit, demikian halnya dengan layanan masyarakat. Namun demikian untuk masa depan ada harapan. Wartawan Josephine Achiro dari Juba mengenal masalah-masalah di Sudan Selatan dengan baik.
Menurutnya, Sudan selatan benar-benar mulai dari nol. Ia berharap pemerintah dan rakyat akan bekerja keras untuk menarik investor dari luar negeri. Rakyat akan mengolah tanah, dan minyak bumi dari Abyei akan mendukung kemajuan.
Sengketa Etnis
Di Kordofan Selatan, dekat perbatasan dengan Sudan Selatan, awal Juni lalu terjadi pertempuran antara militer Sudan Utara dan pasukan pembebasan Sudan, SPLM. Di daerah itu, yang termasuk bagian utara, tinggal masyarakat Nuba dan Dinka, juga berbagai kelompok etnis Arab. Nuba dan Dinka bertempur bertahun-tahun di pihak selatan. Oleh sebab itu pemerintah di Khartum tidak mempercayai mereka.
Kahlid Abdu Dahab, dari parlemen Pan Afrika, yang menjadi salah satu organisasi di bawah Uni Afrika mengatakan, "Perbedaan kebudayaan adalah masalahnya. Juga daerah itu sudah lama tidak berkembang, jadi itu perlu penanganan spesial. Itu juga masalah etnik. Kelompok masyarakat Nuba, yang menjadi mayoritas masyarakat di daerah itu punya kebutuhan dan tuntutan. Jadi Kordofan Selatan tidak dapat disamakan dengan Abyei yang sudah lama menjadi daerah pertikaian.“
Masalah Diskriminasi
Di samping itu, diskriminasi etnis kelompok masyarakat berkulit hitam dianggap penyebab konflik. Mereka ingin diperlakukan sama secara religius, etnis dan kultural. Ketidakadilan ini sampai sekarang mengganggu ketenangan, juga menjelang kemerdekaan. Josephine Achiro menyatakannya dengan jelas.
Menurutnya, Presiden Sudan Al Bashir menyesali pembagian negara. Tetapi penduduk Selatan ingin mengingatkan, bahwa ia sesungguhnya harus memperhatikan perkembangan yang merata, jika ingin agar Sudan tetap bersatu. Perbedaan antara utara dan selatan begitu besar, sampai mereka tampaknya seperti sudah lama terpisah.”
Pembagian keuntungan dari minyak juga masih dipertikaikan. Baru-baru ini Presiden Al Bashir mengancam akan menutup pipa minyak, jika kesepakatan pembagian minyak tidak dilanjutkan. Menurut kesepakatan, keuntungan harus dibagi dua dengan adil. Apakah Sudan Selatan benar-benar akan membagi keuntungan, itu masih menjadi masalah. Mengingat minyak menjadi satu-satunya pemasukan Sudan Selatan.
Kesepakatan Ditaati?
Sekarang, pemerintah Sudah Utara dan Selatan berhasil mencapai kesepakatan, yang mengintegrasikan para anggota pasukan pembebasan rakyat (SPLM) di Kordofan Selatan ke dalam militer Sudan Utara dan badan keamanan lainnya. SPLM juga akan menjadi partai politik legal. Sejauh mana perjanjian itu bisa mengantar rakyat menuju perdamaian, masih harus ditunggu.
Warga Sudan utara seperti Khalid Abdu Dahab tidak punya ilusi lagi. Menurutnya, rakyat percaya, pembagian Sudan bisa mendatangkan perdamaian. Sudah Selatan mendapat hak menentukan diri sendiri, maka perdamaian akan tercapai secara otomatis. Sayangnya, situasi tidak berkembang ke arah itu. "Kita kehilangan sebagian Sudan dan tidak mencapai perdamaian. Itu berbahaya," demikian dikatakan Dahab.
Jika perang kembali terjadi di Sudan, dampaknya akan sangat besar. Banyak orang akan mengungsi ke negara-negara tetangga, misalnya Kenya dan Ethiopia.
Lina Hoffmann / Marjory Linardy
Editor: Hendra Pasuhuk