1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

080811 Russland Georgien

9 Agustus 2011

Tiga tahun lalu Georgia terlibat perang lima hari dengan Rusia mempertikaikan Ossetia Selatan dan Abkhazia. Kedua wilayah itu memisahkan diri dari Georgia.

https://p.dw.com/p/12DWs
Russian President Dmitry Medvedev, center, and Georgian President Mikhail Saakashvili, right, smile and shake hands during the informal Commonwealth of Independent States ( CIS) summit in Strelna, outside St. Petersburg, Russia, Friday, June 6, 2008. Russian President Dmitry Medvedev is meeting with other leaders from a fractious grouping of former Soviet republics. (AP Photo/Dmitry Lovetsky)
Pertemuan antara Presiden Georgia Mikheil Sakashvili (kiri) bersama Presiden Rusian Dmitry Medvedev (kanan)Foto: AP

Sampai sekarang Presiden Rusia Dmitry Medvedev tidak bersedia menerima Presiden Georgia Mikheil Saakashvili. Mengapa demikian, ia menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan dua stasiun televisi Rusia dan satu dari Georgi, „di bawah perintah Saakashvili ratusan warga Rusia termasuk tentara perdamaian kami dibunuhnya. Ini tidak akan saya maafkan. Bagi saya, ia bukan manusia yang patut mendapat uluran tangan. Suatu ketika Mikheil Saakashvili tidak lagi menjabat sebagai presiden Georgia, karena begitulah aturan politik. Siapapun yang nantinya akan menjadi presiden baru Georgia, ia mendapat kesempatan untuk menjalin hubungan normal dan produktiv dengan Rusia.“

Namun, itu tidak akan semudah seperti yang dikatakan Medvedev. Banyak warga Georgia sependapat dengan presidennya, bahwa Rusia telah melanggar hukum internasional serta menduduki wilayah Georgia.

Seusai Perang Lima Hari dengan Georgia Agustus 2008, Presiden Medvedev mengakui wilayah-wilayah seperatis Ossetia Selatan dan Abkhazia merdeka dari Georgia. Sejak itu, di kedua wilayah tersebut, yang belum mendapat pengakuan internasional, Rusia menempatkan militernya. Kremlin memastikan, bahwa kedua wilayah Georgia itu mendapat bantuan dana.

Di Georgia ada ketakutan, perbatasan antara Rusia dengan kedua wilayah Georgia, yang memisahkan diri itu menghilang, sehingga suatu saat Rusia akan mengakui Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai wilayahnya. Ketika pekan lalu Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin mengatakan bersedia menggabungkan dua wilayah itu ke dalam Rusia, pernyataan tersebut menggemparkan Georgia. Tidak lama kemudian Presiden Medvedev mencoba untuk meredakan situasi.„Untuk hal itu, menurut saya, secara hukum dan faktis situasinya belum memungkinkan. Saya punya alasan mengapa saya mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut. Bagi saya, ini jalan normal untuk menjalin hubungan tetangga yang baik antara Rusia dengan Abkhazia dan Ossetia Selatan.“

Medvedev menambahkan, bahwa Georgia harus menerima kenyataan tersebut. Menurutnya, presiden Georgialah yang sebenarnya memisahkan kedua wilayah itu dengan ide-idenya yang tidak masuk akal.„Saya akan menyambut baik, bila pemerintah Georgia, pemimpin Abkhazia dan Ossetia Selatan bersedia berunding dan memikirkan bagaimana bisa hidup berdampingan, menciptakan perdamaian di kawasan tersebut, agar bisa hidup dengan rukun. Namun ini semua merupakan urusan mereka. Jika ada kesediaan untuk berunding, saya akan bahagia sekali. Rusia tidak akan menghalangi.“

Hanya sedikit warga Georgia yang percaya pada pernyataan Medvedev itu. Mengingat, infrastruktur perbatasan dan lalu lintas yang menghubungkan Ossetia Selatan, Abkhazia dan Rusia telah diperbaiki.

Christina Nagel/Andriani Nangoy Editor: Hendra Pasuhuk