1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sinema Indonesia Butuh Pertolongan

24 September 2013

Problem terbesar dunia perfilman Indonesia adalah tidak adanya aturan yang bisa mendukung perkembangan industri sinema. Sutradara Andibachtiar Yusuf menyampaikan pendapatnya tentang masalah ini.

https://p.dw.com/p/19mR3
Foto: Fotolia/raul_17

“Banyak cerita asli Indonesia yang pantas diangkat ke layar lebar, belum lagi keindahan alam kita yang mempesona adalah potensi yang tak ada habisnya,” ini adalah kalimat yang jika ia adalah website maka ialah pemilik rekor mendapat klik tertinggi! Nyaris dari semua orang yang pernah bertemu dengan saya baik di masa kini saat saya adalah seorang pekerja film atau di masa lalu saat saya masih sekedar penonton setia sinema dari manapun itu. Kalimat yang terus berdengung bahkan sejak saya masih SD.

Semudah itulah saat kita berbicara tentang sebuah karya sinema, karena memang pandangan seperti kalimat pembuka diatas adalah sebuah kepantasan. Indonesia jelas sungguh kaya dengan cerita-cerita rakyat yang beredar dari Sabang sampai Merauke (setara jarak Belfast ke Teheran). Alam kita walau tidak terlalu beragam, tapi karena ukurannya yang besar menjadi relatif jauh punya lebih banyak keindahan alam tropis dibanding banyak negara tropis lainnya.

Dua modal yang sungguh memikat, karena Amerika Serikat sampai harus menggali kisah-kisah dari Eropa untuk bisa menghasilkan karya sinema yang baik. Tapi apa iya semudah itu? Jika semudah itu saya jamin kisah Perang Bubat atau kisah klasik Sabai Nan Aluih sudah lama beredar di layar sinema kita. Karena nyatanya cara berpikirnya jadi tidak semudah itu.

Symbolbild Kino Flash
Industri film akan berkembang baik jika didukung aturan pemerintah yang baik untuk mendukung perfilmanFoto: AP

“Disana batasan mereka adalah ide, disini batasnya budget!” ujar Angga Sasongko seorang Sutradara muda dengan ketus. Ia jelas ada benarnya, walau kadang budget bukan alasan pada sebuah karya yang buruk tapi bahwa ide di masyarakat kita selalu ada batasnya, jelas ada benarnya. Belum lagi di negeri ini praktis tidak ada mekanisme film commission yang jelas. Tak ada sebuah pemerintahan daerah yang memberikan fasilitas ini kepada industri perfilman baik nasional maupun dunia.

Selanjutnya

Sebelumnya

Di banyak negara, film commission adalah sebuah kebijakan pemerintah (baik daerah maupun negara atau negara bagian) yang dibuat untuk mendukung kehidupan ekonomi di tempat yang bersangkutan. Misalnya saja Torino Film Commission di Italia memberikan bantuan “dana” pada sebuah produksi patungan Indonesia-Singapura dan Swiss. Komite perfilman kota Torino tidak semena-mena memberi dana segar pada produser, mereka akan memastikan apakah “uang yang diberikan” akan dihabiskan di kota kandang Juventus tersebut.

Symbolbild Kino Filmrolle NO FLASH
Foto: Fotolia/Alexander Vasilyev

Artinya harus ada produksi dan pengambilan gambar di kota Torino (alias Turin), yang berarti ada biaya akomodasi, transportasi, pekerja lokal sampai transaksi-transaksi bisnis—mulai dari sewa peralatan sampai logistik dan konsumsi—yang dilakukan di kota tersebut. Artinya pada akhirnya dana yang dimiliki telah menjalankan roda ekonomi kota yang bersangkutan di banyak bidang. Belum lagi di banyak kota atau negara ada kebijakan potongan pajak yang bisa mencapai 45% jika produksi mampu menggerakkan roda ekonomi dengan seperti ini.

Kita tidak memiliki mekanisme macam ini, jadi jika misalnya saya kemudian membuat film tentang kisah Sabai Nan Aluih dan berproduksi di Sumatra Barat yang otomatis akan merekam keindahan alam disana. Belum tentu pemerintah setempat memberi saya fasilitas sebanyak yang tadi diberikan oleh Torino. Dinas Pariwisata bisa saja memudahkan saya untuk menggunakan lokasi-lokasi tersebut, karena belakangan departemen ini sadar bahwa visual keindahan dalam sinema mampu mendongkrak jumlah wisatawan. Tapi belum tentu saya mendapatkan potongan pajak, perlengkapan yang bisa saya sewa dengan mudah, tenaga kerja pada standar yang tepat atau skema-skema lain yang memang membutuhkan keterlibatan departemen-departemen lain.

Di negeri ini, secara umum sinema bisa jadi masih dianggap sebagai sebuah pekerjaan selebriti, bukan sebagai produk budaya sehingga sekedar menciptakan aturan dasar untuk bisa memudahkan produksi menjadi hal yang tak juga selesai dirumuskan. Padahal kita telah menjadi sangat Amerika—musik, aksen bahasa Inggris, pola pikir, pilihan fast food dll—karena terlalu sering nonton film Hollywood.

Padahal, bayangkan ada berapa banyak kisah daerah serta pilihan visual jika sistem commissioning pemerintah daerah atau propinsi bisa terjadi disini. Jelas ini bukan cuma urusan satu-dua departemen tapi adalah urusan lintas departemen yang (sebenarnya hanya) membutuhkan hanya sedikit energi untuk bisa menyelesaikannya. Akan ada banyak biaya produksi bisa dihemat, ada banyak orang yang secara ekonomi telah diberdayakan dan tentu saja akan ada sebuah tempat/kota/lokasi yang dieksplorasi secara audio visual.

Benar jika saat ini di banyak pemerintah daerah atau propinsi yang telah melakukan pembiayaan penuh pada sebuah produksi untuk kepentingan daerahnya. Cara ini jelas tidak apa-apa, tapi apa iya semua bea produksi harus melulu ditimpakan pada propinsi/daerah?

Biaya produksi yang memang beragam membuat cara ini harus segera diubah menjadi sistem commissioning yang nantinya tak hanya akan membuat pemerintahan menjadi diuntungkan, tapi juga masyarakat dan banyak aspek lainnya dalam perekonomian dan industri di tempat yang bersangkutan.

Andibachtiar Yusuf

Filmmaker