1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

241109 Kongo Strafgerichtshof

24 November 2009

Mulai Selasa ini (24/11) Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag menggelar proses pengadilan terhadap dua tersangka penjahat perang dari Kongo. Keduanya dituduh memerintahkan tentaranya untuk memusnahkan sebuah desa.

https://p.dw.com/p/KeHe
Germain Katanga di ruang sidang Mahkamah Internasional di Den Haag (24/11)Foto: AP

Germain Katanga alias Simba adalah penjagal terkejam di benua Afrika. Paling tidak itu menurut penggugat di Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Ketika Germain Katanga dan pasukannya menyerang serta menghancurkan desa Bogoro di Republik Demokratik Kongo, usianya juga masih sangat muda, baru 24 tahun. Germain Katanga bersama Mathieu Ngudjolo Chui dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan yang sama. Melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam pembantaian di desa Bogoro, lebih dari 8.000 orang dibunuh dan sedikitnya setengah juta orang terusir dari tempat tinggalnya. Eks Jenderal Katanga yang kini berusia 31 tahun adalah tersangka komandan Pasukan Perlawanan Patriotik untuk provinsi Ituri. Ia bersama eks Kolonel Ngudjolo didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan ketika menyerang desa Bogoro, juga pembunuhan massal terhadap warga sipil, perbudakan seks terhadap perempuan dan anak-anak serta melakukan penjarahan.

Selain itu, keduanya dituduh merekrut anak-anak di bawah 15 tahun dan dipaksa menjadi tentara. Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, yang sebelumnya mempertimbangkan cukup lama, akhirnya memutuskan untuk menggelar proses persidangan bersama.

Profesor Christoph Safferling dari Universitas Marburg sekaligus direktur Pusat Penelitian Kejahatan Perang menilai, "Dari segi efisiensi tentu sangat baik jika dua proses digabungkan. Namun tentu ada kemungkinan muncul masalah lain. Karena mungkin saja proses sederhana ini bisa menjadi besar. Apalagi mengingat jumlah korban yang cukup besar dapat dilibatkan dalam proses di Mahkamah Pidana. Sehingga dengan mudah diupayakan untuk menunda-nunda perkara lainnya.“

Namun tuduhan melakukan perbudakan seks tidak dicantumkan dalam dakwaan oleh penggugat Mahkamah Pidana di Den Haag. Hal ini sangat disayangkan. Namun strategi ini dilakukan sebagai konsekuensi dari proses pengadilan terhadap eks pemimpin Bosnia Serbia Radovan Karadzic. Kala itu proses terhadapnya gagal karena kesalahan strategi penggugat yang mengutamakan hal-hal yang rinci. Sehingga tanpa adanya bukti yang kuat tekanan penggugat terhadap pengadilan berkurang.

Dalam dakwaan terhadap Katanga dan Ngudjolo, penuntut hanya memasukkan poin-poin penting dengan bukti kuat. Profesor Safferling menuturkan, "Dibandingkan dengan proses Karadzic, kepentingan perkara Katanga dan Ngudjolo tentu berbeda. Sehingga perhatiannya bisa lebih ditujukan pada sebuah kasus saja."

Berbeda dengan kasus Karadzic, mulai hari ini (Selasa 24/11) keluarga korban genosida Bogoro dan kejahatan perang dapat ikut serta dalam proses pengadilan secara aktif misalnya dengan diwakili oleh pengacara.

Jürgan Kleikamp / Andriani Nangoy

Editor: Agus Setiawan