1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sepak Bola Dapat Dukung Integrasi

22 Juni 2011

Sepak bola merupakan salah satu sarana penting bagi asimilasi kaum muda dengan latar belakang migran di Jerman. Bahkan mampu mendorong kaum perempuan muda keluar dari nilai-nilai tradisional.

https://p.dw.com/p/11h7d
Foto: fotolia

"Banyak orangtua yang berkata anak perempuannya tidak boleh bercampur dengan anak lelaki, tidak boleh main sepak bola, harus memakai kerudung. Sangat disayangkan karena kaum muda menjadi terbatasi. Tapi memang itu menjadi masalah di sejumlah keluarga," dikatakan Hasret Kayikci, pemudi berusia 19 tahun yang bermain untuk timnas U-19 Jerman.

Kayikci menceritakan beragam masalah yang dihadapi teman-temannya. Masalah yang jauh darinya, karena keluarganya yang keturunan Turki selalu siap mendukung. Kayikci memang tergolong pengecualian. "Paman saya bermain sepak bola di Turki, kakak saya juga. Ibu saya sangat toleran. Kami tumbuh di sini dan hidup dengan aturan Jerman."

Menurut Ulf Gebke, dari Universitas Oldenburg mengepalai studi integrasi melalui olahraga dan pendidikan, saat ini kaum pemuda keturunan Turki jumlahnya sudah hampir sama banyak dengan pemuda Jerman yang bermain sepak bola. Sayangnya kenyataan yang sama tidak terjadi pada kaum pemudi. "Hanya sekitar 20 persen pemudi keturunan Turki yang aktif dalam klub olahraga. Ini berarti ada kebutuhan besar bagi lebih banyak lagi perempuan muda untuk ikut serta dalam klub olahraga secara reguler."

Hambatan terbesar memang kekhawatiran orangtua. Banyak yang keberatan secara finansial, waktu latihan yang terkadang terlalu larut atau banyak isu lainnya. Halangan terbesar tentunya juga bahasa. Komisaris Integrasi Asosiasi Sepak Bola Jerman DFB Gül Keskinler menyatakan, segala faktor penghambat ini harus dilewati, karena sepak bola memiliki potensi yang sangat besar.

"Dari tim olahraga, anak-anak mendapat rasa kebersamaan sehingga merasa sebagai bagian dari komunitas. Saya rasa ini perasaan paling penting bagi kaum migran dimasyarakat."

Olivia Fritz/Carissa Paramita/ dpa/rtr/afp

Editor: Agus Setiawan