1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Senjata Wiji Thukul

Wahyu Susilo25 April 2016

Sejak diculik tahun 1998, keluarga dan para sahabatnya tak pernah lagi melihatnya. Kepedihan tersisa, namun perjuangan Wiji Thukul tak lekang ditelan masa. Dengan apa ia berjuang. Berikut guratan Wahyu Susilo.

https://p.dw.com/p/1IZye
Indonesien Widji Thukul
Foto: Wahyu Susilo

Sebulan yang lalu, pada mulanya beredar di grup-goup whatsapp secara terbatas sebuah postingan dari @ndorokakung di akun media sosial Path, isinya mengejutkan: mengutip pidato Xanana Gusmao bahwa Wiji Thukul dikabarkan dihilangkan oleh ABRI (saat itu) di wilayah konflik bersenjata Timor Timur karena diduga menjadi pemasok dan perakit amunisi bersenjata bagi kalangan gerilyawan Timor Timur.

Sebagai sebuah isu yang menghebohkan, postingan ini akhirnya menjadi viral dan semakin heboh oleh liputan media massa yang hampir semuanya mengutip mentah-mentah postingan tersebut tanpa pernah melakukan konfirmasi kepada Xanana Gusmao (yang juga membantah pernah berpidato perkara tersebut).

Awal mulanya, berita ini dikembangkan dari penghargaan kalangan veteran pejuang Timor Timur terhadap para aktivis Indonesia (khususnya anggota Partai Rakyat Demokratik) yang punya kontribusi besar terhadap perjuangan pembebasan nasional Timor Leste. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Xanana Gusmao di ibukota Timor Leste, Dili. Tapi entah kenapa berita yang beredar di Indonesia berkembang liar dan berfokus pada isu yang tidak berdasar pada sumber yang dipercaya: Wiji Thukul perakit dan pemasok amunisi bersenjata.

Tulisan ini TIDAK hendak memperpanjang atau mempersoalkan berita lawas sebulan yang lalu. Dengan bantahan resmi dari Associado Dos Combatentes Da Brigada negra (ABCN), seharusnya peletup pertama kabar tak benar tentang Wiji Thukul bergegas menunjukkan niatnya menyatakan maaf secara terbuka kepada publik dan keluarga Wiji Thukul yang sangat terlukai, namun hingga kini niat tersebut tak terwujud.

Jika kita simak puisi-puisi Wiji Thukul dalam dua dekade baik 80-an maupun 90-an mengkonfirmasi bahwa Wiji Thukul sangat membenci senjata sebagai instrumen kekerasan.

Pengalaman nyata yang dihadapinya adalah tentang kematian tetangganya, seorang gali (stigma kriminal yang diberikan aparat Orde Baru) dalam operasi penembakan misterius (Petrus) yang marak pada tahun 1983-1984 selepas Pemilu 1982.

Dalam puisinya “Sajak Bagong”, Wiji Thukul berkisah tentang nasib tragis tetangganya:

“ya ya.. Bagong namanya, pemilu kemarin besar jasanya

Bagong ya Bagong, tapi bagong sudah mati

Pada suatu pagi, mayatnya ditemukan orang di tepi rel kereta api”.

Di puisi Wiji Thukul yang lain, dengan judul Kuburan Purwoloyo mengkisahkan tempat dimana para korban pembunuhan misterius itu dimakamkan:

“disini,

gali-gali,

tukang becak,

orang-orang kampung yang berjasa dalam setiap pemilu

terbaring”

Jika di dekade 1980-an, senjata dan kekerasan dalam puisi-puisi Thukul adalah imajinasinya tentang apa yang dialami oleh tetangga-tetangganya yang mengakhiri hidupnya dalam operasi extra-judial killing penembakan misterius (Petrus), maka di dekade sembilanpuluhan puisi-puisinya tentang senjata adalah pengalaman pribadinya ketika merasa bahwa sebagai penyair, dia harus menerabas panggung, masuk dalam barisan perlawanan, tetapi tetap melawan kekerasan.

Periode akhir delapanpuluhan dan memasuki dekade 90-an, masa dimana Wiji Thukul masuk dalam dunia pergerakan, adalah periode perlawanan massa rakyat (buruh dan tani) yang dihadapi oleh represi militer. Di masa ini hanya segelintir mahasiswa, intelektual dan seniman berani menyuarakan protes. Situasi tersebut digambarkan Wiji Thukul dalam puisi yang sering dinyanyikannya Apa Guna:

“Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu

Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah

Kongkalikong dengan kaum cukong”

Pada periode tersebut, Wiji Thukul sangat produktif menulis puisi-puisi perlawanan dan semakin yakin bahwa senjatanya bukanlah mesiu amunisi tetapi adalah puisi. Sebagai seniman penulis puisi yang harus melawan, dia mendeklarasikan dalam puisinya berjudul Penyair:

Jika tak ada mesin tik, aku akan menulis dengan tangan

Jika tak ada tinta hitam, aku akan menulis dengan arang

Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding

Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!

Dengan penuh kesadaran, Wiji Thukul mengolah dan meracik kata (baca: bukan mesiu) untuk mengobarkan semangat kaum tani dan buruh memperjuangkan haknya, merebut tanah dan menuntut upah. Pergulatannya dalam pengorganisasian kaum buruh diberbagai kota melahirkan puisi Satu Mimpi Satu Barisan. Inilah penggalan puisinya:

“Dimana-mana ada Sofyan, ada Sodiyah, ada Bariyah

Tak bisa dibungkam KODIM, tak bisa dibungkam popor senapan

Dimana-mana ada Neni, ada Udin, ada Siti

Dimana-mana ada Eman

Di Bandung, Solo, Jakarta, Tangerang

Tak bisa dibungkam KODIM, tak bisa dibungkam popor senapan

Satu mimpi, satu barisan”.

Puisi ini ditulis tahun 1992 dan tiga tahun kemudian, tepatnya 10 Desember 1995, Wiji Thukul mengalami langsung apa yang pernah dia tuliskan: dipopor senapan! Dalam demonstrasi ribuan buruh PT Sritex di Sukoharjo, muka Wiji Thukul dipopor senapan hingga menimbulkan luka serius dimatanya.

Bait “cahaya sudah kaurampas dari biji mataku” di puisi Derita Sudah Naik Seleher dan bait “meski bola mataku diganti, ia tak mati-mati” dalam puisi Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa adalah kesaksian otentik apa yang dialaminya.

Penulis: Wahyu Susilo
Foto: privat

Dari penjelajahan puisi-puisi Wiji Thukul dalam masa-masa tersebut jelas terlihat bahwa dia sangat membenci penggunaan senjata, apalagi untuk tujuan kekerasan dan mempertahankan kekuasaan.

Wiji Thukul memang melawan, tetapi tidak dengan perlengkapan senjata yang mematikan, dia melawan tanpa kekerasan, dengan puisi-puisinya yang menggerakkan.

Ada baiknya, @ndorokakung membaca puisi Wiji Thukul yang berjudul Kucing, Ikan Asin dan Aku. Puisi ini menggambarkan, bahkan untuk membunuh kucing yang mencuri lauknya pun tangannya lunglai, tak mampu menggunakan pisau sebagai alat pembunuh.

Simaklah:

Seekor kucing kurus menggondol ikan asin, laukku siang ini

Aku meloncat, kuraih pisau, biar kubacok dia, biar mampus!

Ia tak lari, tapi menongak, menatapku tajam

Mendadak lunglai tanganku, aku melihat diriku sendiri

Lalu kami berbagi, kuberi ia kepalanya

Batal nyawa melayang, aku hidup, ia hidup

Kami sama-sama makan.

Penulis:

Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.

@wahyususilo

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Kami tunggu komentar Anda di sini.